BAB I
AQIDAH ISLAM AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH
A. Definisi ASWAJA
Ahlussunnah
Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata ,Ahlun ,sunah dan jama’ah
Ahlun menurut bahsa berarti keluarga,pengikut,penduduk.
Sunah menurut bahasa berarti wajah,muka,kening, jejak
langkah ,tauladan,tabiat. Kata sunah jika disandarkan kepada Allah maka
berarti hukum,perintah dan larangan Allah. Sedangkan menurut syara’
sunah berarti Jejak langkah dan
tauladan Nabi saw., atau hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw,atau Sesuatu
yang jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak disiksa.
Al Jama’ah menurut bahasa berarti kumpulan berjumlah
tiga atau lebih.Jama’ah menurut istilah syar’i adalah persambungan antara
shalatnya seseorang dengan sholatnya orang lain (ma’mum dan imam) dengan syarat
tertentu.Atau bersatunya golongan dalam kesatuan imam (pemimpin) melalui
bai’at (janji setia) dengan syarat-syarat tertentu.
Kata Ahlussunnah wal Jama’ah yang selama ini kita kenal adalah merupakan
kata yang yang mempunyai arti urfi
,bukan lughowi (bahasa) ataupun syar’i (syareat).Yaitu merupakan istilah yang
dibuat oleh empat kelompok ulama’.yaitu ulama’ ahli hadis,tasawuf dan ahli
kalam asy’ary ataupun maturidi sebagai
nama untuk golongan mereka.Karena keyakinan mereka bahwa akidah dan
amaliyahnya sesuai dengan sunah Nabi dan tingkah laku para shabatnya.Dan
sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah sampai sekarang adalah untuk nama golongan yang
mengikuti mazhab (jalannya) kelompok ulama’ tersebut diatas.Dalam kitab Al Ihya
,awal syarah risalah al Qudsiyah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah empat golongan,yaitu Ulama Ahli hadis,Ahli
tasawuf,Ahli kalam Asy’ariyah dan Ahli Kalam Maturidiyah. Tidak bisa nama
Ahlussunnah wal Jama’ah dipakai oleh selain empat kelompok tersebut.
Dalil-dalil yang bersifat umum dari Al Qur an dan sunnah
yang membuktikan bahwa mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi layak mewakili
golongan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah :
1. Mengikuti Mainstream al-Jamaah
Sebagian
hadits-hadits tentang perpecahan umat menjelaskan bahwa golongan yang selamat
ketika umat Islam terpecah belah menjadi beragam golongan adalah golongan
al-Jama’ah.Hal ini sesuai dengan hadits berikut :
عن معاوية بن أبي سفيان إن رسول الله صلى
الله عليه وسلم قام فينا فقال الا إن من قبلكم من اهل الكتاب افترقو على ثنتين ملة
وإن هذه الملة ستفترق على ثلاث وسبعين ثنتان وسبعون فى النار وواحدة فى الجنة وهي
الجماعة
Hadits diatas memberikan penjelasan bahwa golongan yang
selamat ketika kaum muslimin terpecah menjadi 73 golongan adalah golongan
al-jamaah.Dalam mengartikan al-jamaah
banyak pendapat :
1.Kata al-jamaah diartikan sebagai golongan mayoritas
muslimin.Pengertian demikian sesuai dengan realita bahwa semua kaum muslimin
menamakan pengikut al-Asy’ari dan al-Maturidi sebagai ahlussunnah wal
jamaah.Pengakuan bahwa madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi termasuk ahlussunnah
wal jamaah juga diakui oleh mayoritas ulamamadzhab Hanafi,Maliki,Syafi’i,dan
Hambali.
2.Mengikuti Ijma’ Ulama
عن ابن عمر ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إن الله
لا يجمع أمتي على ضلالة ويد الله مع الجماعة ومن ذ شذ الى النار (رواه الترمذى)
:Dari Ibny Umar ,Rasulullah saw bersabda :”Sesunggguhnya Allah tidak
akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan.Pertolongan Allah selalu bersama
jamaah.Dan barangsiapa yang mengucilkan diri dari jama’ah ,maka ia mengucilkan
dirinya ke neraka.” (HR.at Tirmidzi)
Sikap
seperti ini sesuai realita bahwa dalam menetapkan hukum islam baik Maturidiyah
maupun Asy’ariyah menggunakan dalil al-Qur’an,Hadits,Ijma’ dan Qiyas.Sedangkan
aliran selainnya banyak yang menolak
sebagian dari dalil-dalil tersebut.Diantaranya adalah Muhammad Abduh.
3.Memelihara Kebersamaan dan
Kolektifitas
Makna al-Jama’ah: menjaga kekompakan, kebersamaan dan kerukunan, kebalikan dari kata al-furqah (golongan yang berpecah belah dan bercerai berai).
Dikatakan al-jama’ah, karena
golongan ini selalu memelihara kekompakan, kebersamaan dan kerukunan terhadap sesama.
Meskipun terjadi perbedaan
pandangan di kalangan mereka, perbedaan tersebut tidak melahirkan sikap saling membid’ahkan,
memfasikkan dan mengkafirkan terhadap sesama mereka.
Sikap saling mengkafirkan
dan membid’ahkan dalam satu aliran justru telah menjadi trend di kalangan
intern ulama wahabi.Dahulu orang wahabi membid’ahkan ,mengkufurkan dan
mengatakan syirik terhaap kaum muslimin diluar golongan meeka .Namun kini
,mereka menyebarkan bid’ah dan kafir terhadap ulama sesama wahabi ,Misalnya
,Abdul Muhsin al-Abbad dari Madinah menganggap al-Albani berfaham
murji’ah.Al-albani juga memvonis tokoh wahabi di Saudi Arabia yang
mengkritiknya sebagai musuh tuhid dan Sunnah.Realita perpecahan tersebut
menjadi bukti bahwa wahabi memang bukan pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah.
4.Golongan
Mayoritas (al-Sawad al-A’dzom)
Dengan semakin jauhnya zaman kita saat ini
dengan zamannya baginda Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam dan para
sahabat, dan juga seiring dengan perkembangan dinamika masyarakat, maka dewasa
ini sering kita lihat peselisihan di antara kaum muslimin sendiri. Terhadap
permasalahan ini, Baginda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam sudah
memberikan pedoman bagi kita agar mengikuti as-sawaad al-a’zhom (jama’ah kaum muslimin yang
terbanyak), karena kesepakatan mereka (as-sawaad al-a’zhom) mendekati ijma’,
sehingga kemungkinan keliru sangatlah kecil.
حدثنا العباس بن عثمان الدمشقي . حدثنا الوليد بن مسلم . حدثنا معاذ بن رفاعة السلامي . حدثني أبو خلف الأعمى قال سمعت أنس بن مالك يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم : يقول إن أمتي لا تجتمع على ضلالة . فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم
“Sesungguhnya
umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian
melihat terjadi perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (as-sawad al
a’zham).”
(HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
(HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
al-Imam as-Suyuthi rahimahullaah menafsirkan kata As-sawadul A’zhom sebagai
sekelompok (jamaah) manusia yang terbanyak, yang bersatu dalam satu titian
manhaj yang lurus. (Lihat: Syarah Sunan Ibnu Majah:
1/283). Menurut al-Hafidz al-Muhaddits Imam Suyuthi, As-Sawad Al-A’zhom
merupakan mayoritas umat Islam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Atsqolani menukil perkataan Imam
Ath-Thabari mengenai makna kata “jamaah” dalam hadits Bukhari yang berbunyi,
“Hendaknya kalian bersama jamaah”, beliau berkata, “Jamaah adalah As-Sawad
Al-A’zhom.” (Lihat Fathul Bari juz 13 hal. 37)
Ibnu Hajar
al-Atsqolani pun memaknai “Jama’ah” sebagai As-Sawad Al-A’zhom (mayoritas umat
Islam).
Hadits di
atas juga senada dengan hadits yang masyhur dan shohih berikut ini
اختلفت اليهود على إحدى وسبعين فرقة سبعين من النار وواحدة في الجنة واختلفت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة إحدى وسبعون فرقة في النار وواحدة في الجنة وتختلف هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة اثنتان وسبعون في النار وواحدة في الجنة فقلنا : انعتهم لنا قال : السواد الأعظم
“Umat Yahudi terpecah menjadi 71 firqoh, 70 firqoh di neraka dan 1
firqoh di surga. Umat Nashoro
terpecah menjadi 72 firqoh , 71 firqoh di neraka dan 1 firqoh di surga. Umat
ini akan terpecah menjadi 73 firqoh, 72 firqoh di neraka dan 1 firqoh di surga.”
Kami (para sahabat) bertanya, “Tunjukkan
sifatnya untuk kami.” Beliau menjawab, “As-Sawad Al-A’zhom.”
Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir juz 8 hal. 273 nomor
8.051.
Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Tirmidzi
secara ringkas. Juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan rijalnya tsiqoh.”
(Majma’ Az-Zawaid juz 6 hal. 350 nomor 10.436)
Begitu juga
senada dengan hadits shohih berikut ini
لا يجمع الله أمر أمتى على ضلالة أبدا اتبعوا السواد الأعظم يد الله على الجماعة من شذ شذ فى النار
“Allah tidak akan membiarkan ummatku dalam
kesesatan selamanya. Ikutilah As-Sawad Al-A’zhom. Tangan (rahmah dan
perlindungan) Allah bersama jamaah. Barangsiapa menyendiri/menyempal, ia akan
menyendiri/menyempal di dalam neraka.”
Diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Ibnu Abbas juz 1 hal. 202 nomor
398 dan dari Ibnu Umar juz 1 hal. 199 nomor 391 (Jami’ul Ahadits: 17.515)
Selanjutnya perhatikan juga hadits shohih berikut ini:
قال أبو أمامة الباهلي : عليكم بالسواد الأعظم
رواه عبد الله بن أحمد والبزار والطبراني ورجالهما ثقات
Abu Umamah Al-Bahili berkata, “Hendaknya kalian bersama As-Sawad
Al-A’zhom. (golongan mayoritas umat Islam)”. Diriwayatkan oleh Abdullah bin
Ahmad dan Al-Bazzar dan Ath-Thabrani, rijal mereka berdua tsiqoh. (Lihat
Majma’uz Zawaid nomor 9.097)
Demikianlah nasehat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam kepada
kita, agar kita mengikuti mayoritas umat Islam dan jangan menyendiri/menyempal,
karena ancamannya neraka. Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam telah
menjamin bahwa mayoritas umat Islam tidak mungkin berada dalam kesesatan,
sebagai umat Islam sudah pasti kita wajib iman/percaya dan tidak ada
keragu-raguan setitikpun pada beliau.
Semoga kita semua tergolong dalam kelompok As-Sawad Al-A’zhom
(mayoritas umat Islam) yaitu kaum ahlussunnah wal jama’ah yang selalu
berpedoman kepada Al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma’ wa al-Qiyas, yang kemudian
pengamalan syari’atnya/fiqhnya berdasarkan salah satu dari 4 madzhab (Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hanbali), aqidahnya berdasarkan faham
Asy’ariyah-Maturidiyah, dan ihsannya mengikuti Syekh Imam Abu Qosim Al-Junaidi
Al-Baghdadi.
B. Fikrah ASWAJA
1) Aqidah
AKIDAH
ASWAJA
Mukadimah
Umat Islam awalnya pada masa Rasulullah
saw. adalah merupakan umat yang bersatu.Tidak terjadi perbedaan diantara mereka
baik dalam akidah ataupun amaliyahnya yang sampai menyebabkan perpecahan dan
fanatik dalam kelompok masing-masing.Begitu juga setelah Rasulullah wafat ,pada
masa khalifah Abu bakar ra. yang kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Umar ra,
tetap tidak tampak perpecahan di kalangan muslimin.Baru ketika masa khalifah
Utsman Bin Affan ra. maka mulailah banyak terjadi perselisihan dan perpecahan
.Disusul kemudian pada masa Khalifah Ali ra. perpecahan semakin meluas.Terbukti
dengan terpecah belahnya umat menjadi beberapa kelompok yang masing-masing
fanatik dengan pandangan dan pikirannya yang sarat dengan kepentingan.Mereka
keluar dari pemerintahan Ali ra. dan mengibarkan bendera perpecahan dan
peperangan.Mereka adalah golongan Khawarij yang sampai sekarang ajaran kelompok
tersebut (khawarij) masih melekat pada orang yang menempuh jalan konsep mereka
dan mengikuti pikiran,pandangan mereka.Kemudian ada lagi kelompok lain yang muncul ,yaitu orang-orang
yang berlebihan dalam mendukung Ali ra. dan mengkultuskannya ,yaitu kelompok
Syiah.Faham mereka masih ada sampai sekarang dan melekat pada orang-orang yang
menempuh jalan akidah mereka.Baik kelompok khawarij ataupun syiah masing-masing
terpecah-pecah kembali menjadi beberapa kelompok,masing-masing mencari dukungan
kepada umat muslimin untuk mengikuti pendapat dan mazhab mereka.Akhirnya
perpecahan demi perpecahan terus terjadi dan mengakibatkan banyaknya
kelompok-kelompok yang saling mengaku paling
haq dan benar.Ketika pada masa generasi tabi’in yang jumlahnya tinggal
sedikit, muncul lagi golongan lain yang menamakan dirinya dengan Ahlu al
Adli wa al Tauhid ,mereka adalah golongan Mu’tazilah.Sampai pada masa ini
maka kemudian lahirlah golongan yang disebut dengan Ahlussunnah Wal Jamaah,yaitu
golongan orang-orang yang konsisten dengan sunah Nabi saw dan Sahabatnya dalam
masalah akidah,amal badaniyah (ibadah) dan ahlak qolbiyah (tasawuf).Selanjutnya
dari mereka ada yang membidangi tentang pembahasan hujah-hujah (argumentasi)
dan dalil naqli maupun aqli dalam
masalah akidah yang dikenal dengan sebutan
Al Mutakallimin atau Ulama Ahli Kalam (tauhid).Mereka yang mendalami
bidang masalah ibadah,muamalah,munakahat,dan fatwa-fatwa hukum dan lainnya maka
disebut dengan Fuqoha atau Ulama ahli fikih. Mereka yang mendalami bidang
hadits dengan mengumpulkan hadis-hadis nabawi dan menjelaskan mana yang hadits sahih dan mana yang tidak, maka
dikenal dengan Al Muhadditsin atau Ulama Ahli hadits.Dan mereka yang membidangi
masalah amaliyah lahir dan ahlak budi pakerti maka disebut Ulama Ahli Tasawuf.
Ibnu.
Khaldun dalam mukadimahnya menjelaskan:
“Dikalangan mujtahid terjadi banyak
perbedaan pendapat dalam masalah hukum fikih yang disebabkan karena perbedaan
cara pandang dan pendapat mereka,sehingga perbedaan mesti terjadi.Tetapi hal
itu justru menjadikan luasnya agama pada waktu itu .“ Pada masa itu orang-orang
awam bisa taklid (mengikuti) pendapatnya mujtahid manapun yang mereka
kehendaki.Ketika pada akhirnya mazhab hanya tinggal empat maka berdasarkan
husnudzon kepada mereka umat Islam terbatas hanya dapat taklid kepada empat
mazhab saja.Untuk itu maka disepakatilah empat mazhab ini dijadikan sebagai
ushul (dasar) pedoman umat Islam dalam beragama.Keempat ulama mazhab tersebut
meskipun dikenal luas sebagai ahli fikih,tetapi sebenarnya merekapun sudah
sempurna dalam bidang ilmu tauhid,hadits dan tasawuf.Alasan kenapa mereka
memfokuskan pada bidang ilmu fikih adalah karena pada masa itu yang menjadi
kebutuhan urgen adalah bidang fikih.Sedangkan penyelewengan akidah dan segala
penyakitnya pada waktu itu walaupun sudah ada tetapi belum meluas sehingga
dianggap membahayakan umat.Akan tetapi ketika periode mazhab empat telah lewat
ternyata penyelewengan akidah bertambah parah dan semakin menyebar luas ke segala penjuru dunia Islam.Akhirnya
muncullah ulama-ulama dari penerus mazhab empat yang menjadi benteng yang kokoh dalam membela dan mempertahankan
akidahnya,yaitu akidah yang semenjak dulu
menjadi akidahnya para
salafussalih.Dari mereka muncul dua Ulama ahli kalam yaitu Imam Abu
Hasan Al Asy ari dan Imam Abu Manshur Al Maturidi.Keduanya mampu membentengi
ajaran-ajaran peninggalan Nabi saw dan
para Sahabatnya ra . Imam Abu Hasan Al Asyari bermazhab Syafiiy ,sedangkan Imam
Abu Manshur Al Maturidi bermazhab Hanafi.Kedua imam tersebut akhirnya mendapat
tempat di hati mayoritas umat Islam dan akhirnya mazhab keduanya tersebut
dipilih sebagai mazhab dalam bidang akidah dan dikenal sebagai golongan
Asyariyah dan Maturidiyah. Untuk membedakan golongan tersebut dari mu’tazilah
dan lainnya ,maka dikalangan Ulama Ahlul Ilmi para pengikut
Asy’ary dan Maturidi dikenal dengan sebutan golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Pengikut Abu Hasan Al Asy’ari dari zaman
Rasulullah saw. sudah disinggung kebenarannya sebagaimana riwayat Hadis :
عَنْ عِيَاضْ اْلأَشْعَرِيِّ قَالَ : لَمَّا نَزَلَتْ
فَسَوْفَ يَأتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ ويحبونه(المائدة : 54) ) قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:
هُمْ قَوْمُ هَذَا، وَأَشَارَ إِلَى أَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ ( رواه الحاكم
في المستدرك وصححه.)
قَالَ
الْقُشَيْرِيُّ: فَأَتْبَاعُ أَبِي الْحَسَنِ مِنْ قَوْمِهِ، لأَنَّ كُلَّ
مَوْضِعٍ أُضِيْفَ فِيْهِ قَوْمٌ إِلَى نَبِيٍّ أرِيْدَ بِهِ اْلاَتْبَاعُ. (تفسير
القرطبي).
Iyadh al-Asy'ari berkata: "Ketika ayat, "Allah I akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka
dan mereka pun mencintai-Nya", maka Rasulullah saw bersabda sambil
menunjuk kepada Abu Musa al-Asy'ari: "Mereka adalah kaumnya laki-laki
ini".
Al-Qusyairi berkata: "Pengikut madzhab Abi
al-Hasan al-Asy'ari termasuk kaum Abu Musa al-Asy'ari, karena setiap terjadi
penisbahan kata kaum terhadap seorang nabi di dalam al-Qur'an, yang dimaksudkan
adalah pengikutnya." (Tafsir Al Qurthubi)
Begitu pula terdapat kecocokan akidah
mazhab Al Asy’ari dengan akidahnya sahabat dalam kisah perdebatan antara Amru bin Ash dengan
Abu Musa Al Asy’ari,bahwa pernah Amru bin Ash bertanya kepada Abu Musa Al Asy’ari ,” Apa mungkin
Allah mentakdirku berbuat sesuatu,kemudian aku disiksa karenanya ? “ Jawab Abu Musa Al Asy’ari ,”Ya.” Amru bin Ash
bertanya kembali ,”menghapa bisa seperti itu ?” Jawab Abu Musa ,”Karena Allah
berbuat yang demikian itu kepadamu tidaklah zalim (aniaya)”.Akhirnya Amru bin
Ash terdiam tidak bisa membantah.(Al Milal wa Al Nihal:Al Syahrastani
:hal.94-Darul Fikr-)
KONTEKSTUALISASI
SIFAT WAJIB DUA PULUH BAGI ALLAH
Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah ada
konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus
diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang
mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan
tidak adanya teks dalam al-Qur'an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat
20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma'
al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat
yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99
sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma' al-Husna? Sebagaimana yang sering
dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.
Para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah dalam
menetapkan konsep sifat 20 tersebut sebenarnya berangkat dari kajian dan
penelitian yang mendalam. Ada beberapa alasan ilmiah dan logis yang dikemukakan
oleh para ulama tentang latar belakang konsep wajibnya mengetahui sifat 20 yang
wajib bagi Allah, antara lain:
Pertama, setiap orang yang beriman harus
meyakini bahwa Allah SWT wajib memiliki semua sifat kesempurnaan yang layak
bagi keagungan-Nya. Ia harus meyakini bahwa Allah mustahil memiliki sifat
kekurangan yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Ia harus meyakini pula bahwa
Allah boleh melakukan atau meninggalkan segala sesuatu yang bersifat mungkin
seperti menciptakan, mematikan, menghidupkan dan lain-lain. Demikian ini adalah
keyakinan formal yang harus tertanam dengan kuat dalam hati sanubari setiap
orang yang beriman.
Kedua, para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah
sebenarnya tidak membatasi sifat-sifat kesempurnaan Allah dalam 20 sifat.
Bahkan setiap sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan Allah, sudah barang
tentu Allah wajib memiliki sifat tersebut, sehingga sifat-sifat Allah itu
sebenarnya tidak terbatas pada 99 saja sebagaimana dikatakan al-Imam al-Hafizh
al-Baihaqi:
وَقَوْلُه صلى الله عليه وسلم :
«
إِنَّ للهِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا » لاَ
يَنْفِيْ غَيْرَهَا ، وَإِنَّمَا أَرَادَ وَاللهُ أَعْلَمُ أَنَّ مَنْ أَحْصَى
مِنْ أَسْماَءِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا دَخَلَ
الْجَنَّةَ.
Sabda
Nabi SAW: "Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan Nama",
tidak menafikan nama-nama selainnya. Nabi saw bermaksud –wallahu a'lam-, bahwa
barangsiapa yang memenuhi pesan-pesan sembilan puluh sembilan nama tersebut
akan dijamin masuk surga. (al-Baihaqi, al-I'tiqad 'ana Madzhab al-Salaf, hal.
14).
Pernyataan
al-Hafizh al-Baihaqi di atas bahwa nama-nama Allah SWT sebenarnya tidak
terbatas dalam jumlah 99 didasarkan pada hadits shahih:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ، قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم :
اللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ ... أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ
لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ
عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ
الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ
بَصَرِيْ، وَجَلاَءَ حَزَنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ.
Ibn
Mas'ud berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Ya Allah, sesungguhnya aku
hamba-Mu… Aku memohon dengan perantara setiap Nama yang Engkau miliki, baik
Engkau namakan Dzat-Mu dengan-Nya, atau Engkau turunkan nama itu dalam
kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang di antara makhluk-Mu, dan
atau hanya Engkau saja yang mengetahui-Nya secara ghaib, jadikanlah al-Qur'an
sebagai taman hatiku, cahaya mataku, pelipur laraku dan penghapus dukaku."
(HR. Ahmad, Ibn Hibban, al-Thabarani dan al-Hakim).
Ketiga,
para ulama membagi sifat-sifat khabariyyah, yaitu sifat-sifat Allah yang
terdapat dalam al-Qur'an dan hadits seperti yang terdapat dalam al-Asma'
al-Husna, terbagi menjadi dua. Pertama, Shifat al-Dzat, yaitu sifat-sifat yang
ada pada Dzat Allah SWT, yang antara lain adalah sifat dua puluh. Dan kedua,
Shifat al-Af'al, yaitu sifat-sifat yang sebenarnya adalah perbuatan Allah SWT,
seperti sifat al-Razzaq, al-Mu'thi, al-Mani', al-Muhyi, al-Mumit, al-Khaliq dan
lain-lain. Perbedaan antara keduanya, Shifat al-Dzat merupakan sifat-sifat yang
menjadi Syarth al-Uluhiyyah, yaitu syarat mutlak ketuhanan Allah, sehingga
ketika Shifat al-Dzat itu wajib bagi Allah, maka kebalikan dari sifat tersebut
adalah mustahil bagi Allah. Sebagai contoh, misalhnya ketika Allah SWT bersifat
baqa' (kekal), maka Allah SWT mustahil bersifat kebalikannya, yaitu fana'.
Dari
sini para ulama menetapkan bahwa Shifat al-Dzat ini bersifat azal (tidak ada
permulaan) dan baqa' (tidak berakhiran) bagi Allah. Hal tersebut berbeda dengan
Shifat al-Af'al. Ketika Allah memiliki salah satu di antara Shifat al-Af'al,
maka kebalikan dari sifat tersebut tidak mustahil bagi Allah, seperti sifat
al-Muhyi (Maha Menghidupkan) dan kebalikannya al-Mumit (Maha Mematikan),
al-Dhar (Maha Memberi Bahaya) dan kebalikannya al-Nafi' (Maha Memberi Manfaat),
al-Mu'thi (Maha Pemberi) dan kebalikannya al-Mani' (Maha Pencegah) dan lain-lain.
Di samping itu para ulama juga mengatakan bahwa Shifat al-Af'al itu baqa'
(tidak berakhiran) bagi Allah, namun tidak azal (ada permulaan).
Keempat,
dari sekian banyak Shifat al-Dzat yang ada, sifat dua puluh dianggap cukup
dalam mengantarkan seorang Muslim pada keyakinan bahwa Allah memiliki segala
sifat kesempurnaan dan Maha Suci dari segala sifat kekurangan. Di samping
substansi sebagian besar Shifat al-Dzat yang ada sudah ter-cover dalam sifat
dua puluh tersebut yang ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur'an, sunnah dan
dalil 'aqli.
Kelima,
sifat dua puluh tersebut dianggap cukup dalam membentengi akidah seseorang dari
pemahaman yang keliru tentang Allah SWT. Sebagaimana dimaklumi, aliran-aliran
yang menyimpang dari faham Ahlussunnah Wal-Jama'ah seperti Mu'tazilah,
Musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah SWT dengan makhluk), Mujassimah
(kelompok yang berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat makhluk),
Karramiyah dan lain-lain menyifati Allah dengan sifat-sifat makhluk yang dapat
menodai kemahasempurnaan dan kesucian Allah. Maka dengan memahami sifat wajib
dua puluh tersebut, iman seseorang akan terbentengi dari keyakinan-keyakinan
yang keliru tentang Allah. Misalnya ketika Mujassimah mengatakan bahwa Allah
itu bertempat di Arsy, maka hal ini akan ditolak dengan salah satu sifat
salbiyyah yang wajib bagi Allah, yaitu sifat qiyamuhu binafsihi (Allah wajib
mandiri).
Ketika Musyabbihah mengatakan bahwa Allah memiliki organ
tubuh seperti tangan, mata, kaki dan lain-lain yang dimiliki oleh makhluk, maka
hal itu akan ditolak dengan sifat wajib Allah berupa mukhalafatuhu lil-hawadits
(Allah wajib berbeda dengan hal-hal yang baru). Ketika Mu'tazilah mengatakan
bahwa Allah Maha Kuasa tetapi tidak punya qudrat, Maha Mengetahui tetapi tidak
punya ilmu, Maha Berkehendak tetapi tidak punya iradat dan lain-lain, maka hal
itu akan ditolak dengan sifat-sifat ma'ani yang jumlahnya ada tujuh yaitu
qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama', bashar dan kalam. Demikian pula dengan
sifat-sifat yang lain.
2)
Syari’at
Mazhab
empat adalah merupakan representasi dari empat kelompok ulama’ yaitu kelompok
Ahli hadis,ahli tasawuf dan ahli kalam Asy’ari dan Maturidi.Maka ketika orang
tidak bertaklid kepada salah satu dari empat mazhab tadi dengan sendirinya ia
ada diluar Ahlussunnah wal jama’ah.Karena orang atau kelompok tersebut tidak
memenuhi unsur dari ahli hadis,tasawuf
,ahli tauhid mazhab asy’ari dan
maturidi.Tidak termasuk ahli hadis karena mereka sangat jauh dari syarat-syarat
menjadi ahli hadis.Mengetahu hadis hanya sebatas mendengarkan saja belum
dikategorikan ahli hadis dan tidak bisa diambil ilmunya.Ibnu Al Subuki dalam
kitabnya Mu’idu al Ni’am wa Mubidu al Niqam menjelaskan “Al Muhaddis
(ahli hadis) adalah orang yang mengetahui dan hafal asanid (matarantai hadis)
dan ilal dan nama-nama periwayat hadis ,mengetahui al‘ali (sanad
tertinggi) dan al nazil (sanad terendah),hafal banyak matan hadits dan
mendengar langsung dari guru-ke guru kutub Al sitah (kitab enam) ,musnad nya
Imam ahmad,kitab sunan Al Baihaqi,Mu’jam Al Tahabarani.Untuk itu orang-orang
yang mencampakkan mazhab empat dan mengaku akan mengambil langsung dari hadis
padahal mereka tidak memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan maka secara
urfi tidak digolongkan sebagai ahli hadis.Tidak termasuk ahli tasawuf,karena
mereka yang menolak bermazhab umumnya adalah orang-orang yang sangat keras menolak ajaran tasawuf.Kemudian
mereka bukan pengikut Asy’ari ataupun Maturidi karena Mazhab empat semuanya
satu faham dalam masalah akidahnya
dengan Imam Al Asy ari atau Al Maturidi.Maka dapat disimpulkan bahwa orang yang
tidak taklid dengan salah satu mazhab empat maka dengan sendirinya mereka tidak
berfaham Asy’ari ataupun Maturidi.Jika seseorang tidak memenuhi keempat unsur
tadi maka secara ‘urfi tidak bisa dikatakan sebagai Ahlussunnah Wal
Jama’ah.
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam
lapangan syare’at menggunakan dalil-dalil Al qur an ,Hadis ,Ijmak dan kiyas
sebagai dasar amaliyahnya.
3)
Tasawuf
DR.Sayid Muhammad Alawi Al Maliki
dalam kitabnya Mafahim Yajibu an Tushohaha, menjelaskan sebagai berikut :
AJAKAN PARA A-IMMAT AT-TASHAWWUF
UNTUK BERAMAL DENGAN SYARI’AT
Tasawwuf, merupakan obyek yang teraniaya dan senantiasa dicurigai,
sangat minim mereka yang bersikap adil dalam menyikapinya. Justru sebagian
kalangan dengan keterlaluan dan tanpa rasa malu mengkategorikannya dalam daftar
karakter negatif yang mengakibatkan gugurnya kesaksian dan lenyapnya sikap
adil, dengan mengatakan, “Fulan bukan orang yang bisa dipercaya dan
informasinya ditolak.” Mengapa? Karena ia seorang sufi.
Anehnya, saya melihat sebagian mereka yang menghina tasawwuf,
menyerang dan memusuhi pengamal tasawwuf bertindak dan berbicara tentang
tasawwuf, kemudian tanpa sungkan mengutip ungkapan para imam tasawwuf dalam
khutbah dan ceramahnya di atas mimbar-mimbar Jum’at kursi-kursi
pengajaran. Dengan gagah dan percaya diri ia mengatakan, “Berkata Fudhail
ibn ‘Iyadh, al-Junaid, al-Hasan al-Bashri, Sahl at-Tusturi, al-Muhasibi, dan
Bisyr al-Hafi.”
Mereka semua (Fudhail ibn ‘Iyadh, al-Junaid, al-Hasan al-Bashri,
Sahl at-Tusturi, al-Muhasibi, dan Bisyr al-Hafi) adalah tokoh-tokoh tasawwuf
yang kitab-kitab tasawwuf mereka penuh dengan ucapan, informasi, kisah-kisah
teladan, dan karakter mereka. Jadi, saya tidak mengerti, apakah ia bodoh atau
pura-pura bodoh? Buta atau pura-pura buta?
Saya ingin mengutip pandangan para imam
tasawwuf menyangkut syari’ah Islam agar kita mengetahui sikap mereka
sesungguhnya. Karena yang wajib adalah kita mengetahui seseorang lewat
pribadinya sendiri dan manusia adalah orang terbaik yang berbicara mengenai
pandangannya dan yang paling dipercaya mengungkapkan apa yang dirahasiakan.
Al-Imam
Junaid radhiyallaah ‘anhu berkata: “Semua
jalan telah tertutup bagi makhluk kecuali orang yang mengikuti jejak
Rasulullah, sunnahnya dan setia pada jalan ditempuh beliau. Karena semua jalan kebaikan terbuka untuk Nabi dan mereka
yang mengikuti jejak beliau.“
Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Yazid al-Busthomi
suatu hari berbicara pada para muridnya, “Bangunlah bersamaku untuk melihat orang mempopulerkan
dirinya sebagai wali.” Lalu Abu Yazid dan murid-muridnya
berangkat untuk mendatangi wali tersebut. Kebetulan wali tersebut hendak menuju
masjid dan meludah ke arah kiblat. Melihat hal demikian Abu Yazid pun berbalik
pulang dan tidak memberi salam. Kata Abu Yazid: “Orang ini tidak dapat dipercaya atas
satu etika dari beberapa etika Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam maka
bagaimana mungkin ia dapat dipercaya atas klaimnya tentang kedudukan para wali
dan shiddiqin?“ .
Dzunnun al-Mishri berkata, “Poros
dari segala ungkapan (madar al- Kalam) ada empat: Cinta kepada Allah Yang Maha
Agung, benci kepada yang sedikit, mengikuti al-Quran, dan khawatir berubah
menjadi orang celaka. Salah satu indikasi orang yang cinta kepada Allah adalah
mengikuti kekasih Allah yaitu Rasulullaah shallallaah ‘alaih wa sallam dalam budi
pekerti, tindakan, perintah dan sunnahnya.”
As-Sirri as-Siqthi berkata, “Tasawwuf adalah identitas untuk tiga makna; Shufi(pengamal tasawwuf) adalah orang yang
cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya, tidak berbicara
menggunakan bathin menyangkut ilmu yang bertentangan dengan pengertian lahiriah
al-Kitab dan as-Sunnah, dan karomahnya tidak mendorong ia untuk menyingkap tabir-tabir
keharaman Allah Ta’aala”
Abu Nashr Bisyr ibn al-Harits al-Haafi berkata, “Saya bermimpi
bertemu Nabi shallallaah ‘alaih wa sallam: “Wahai Bisyr, tahukah kamu kenapa Allah meninggikan
derajatmu mengalahkan teman-temanmu? Tanya Beliau.“Tidak tahu, Wahai Rasulullah,” Jawabku. “Sebab Engkau mengikuti sunnahku,
mengabdi kepada orang salih, memberi nasihat pada teman-temanmu dan kecintaanmu
kepada para sahabat dan keluargaku. Inilah faktor yang membuatmu meraih derajat
orang-orang yang baik (Abror).”
Abu Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur al-Bushthomi berkata, “Sungguh terlintas di hatiku untuk
memohon kepada Allah Ta’aala agar mencukupi biaya makan dan biaya perempuan,
kemudian saya berkata. “Bagaimana boleh saya memohon ini kepada Allah Ta’aala
padahal Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam tidak pernah memohon demikian.”
Akhirnya saya tidak memohon ini kepada Allah Ta’aala. Kemudian Allah Ta’aala
mencukupi biaya para perempuan hingga saya tidak peduli, apakah perempuan
menghadapku atau tembok.”
Abu Yazid juga pernah berkata, “Jika engkau memandang seorang laki-laki diberi beberapa
karomah hingga ia mampu terbang di udara, maka janganlah engkau tertipu sampai
engkau melihat bagaimana sikapnya menghadapi perintah dan larangan Allah,
menjaga batas-batas yang digariskan Allah dan pelaksanaannnya terhadap
syari’ah.”
Sulaiman Abdurrahaman ibn ‘Athiah ad-Darani berkata, “Terkadang, selama beberapa hari terasa
di hatiku satu noktah dari beberapa noktah masyarakat. Saya tidak menerima isi dari hati saya kecuali dengan dua
saksi adil ; al-Qur’an dan as-Sunnah.
Abul Hasan
Ahmad ibn Abi al-Hawari berkata, “Siapapun
yang mengerjakan perbuatan tanpa mengikuti sunnah Rasulullah Shollallaah ‘alaih
wa sallam maka perbuatan itu sia-sia.”
Abu Hafsh Umar ibn Salamah al-Haddaad berkata, “Barangsiapa yang tidak mengukur semua
tindakannya setiap saat dengan al-Kitab dan as-Sunnah, dan tidak berburuk
sangka dengan apa yang terlintas dalam hatinya, maka janganlah ia dimasukkan
dalam daftar para tokoh besar (diwan ar-Rijal).“
Abul Qasim al-Junaid ibn Muhammad berkata, “Siapapun yang tidak memperhatikan
al-Qur’an dan tidak mencatat al-Hadits, ia tidak bisa dijadikan panutan dalam
bidang ini (tasawwuf), karena ilmu kita dibatasi dengan al-Kitab dan
as-Sunnah.”
Ia juga berkata, “
Madzhabku ini dibatasi dengan prinsip-prinsip al-Kitab dan as-Sunnah dan ilmuku
ini dibangun di atas fondasi hadits Rasulullah Shollallah ‘alaih wa sallam”
Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail al-Hairi berkata, “Saat sikap Abu Utsman berubah, maka
anaknya, Abu Bakar merobek-robek qamis yang melekat pada tubuhnya, lalu Abu
‘Utsman membuka matanya dan berkata, “Wahai anakku, mempraktekkan sunnah dalam
penampilan lahiriah itu indikasi kesempurnaan batin.”
Ia juga berkata, “Bersahabat
dengan Allah Ta’aala itu harus dengan budi pekerti yang luhur dan senantiasa
takut kepadaNya. Bersahabat dengan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam itu
harus dengan mengikuti sunnahnya dan senantiasa mempraktekkan ilmu lahiriah. Bersahabat dengan para wali itu harus dengan menghormati
dan mengabdi. Bersahabat dengan keluarga itu dengan budi pekerti yang baik.
Bersahabat dengan kawan-kawan itu dengan senantiasa bermuka manis sepanjang
bukan perbuatan dosa. Dan bersahabat dengan orang bodoh itu dengan
mendoakan dan rasa belas kasih.”
Ia juga berkata, “Barangsiapa
yang memposisikan as-Sunnah sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka
ia akan berbicara dengan hikmah. Dan barangsiapa memposisikan hawa nafsu
sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan
bid’ah. Allah Ta’aala berfirman:
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
“Jika
kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (QS.
an-Nur:54)
Abul Hasan
Ahmad ibn Muhammad an-Nawri mengatakan, “Jika
engkau melihat orang yang mengklaim kondisinya bersama Allah Ta’aala yang
membuatnya terlepas dari batasan ilmu syari’at maka janganlah engkau
mendekatinya.”
Abul Fawaris Syah ibn Syuja’ al-Karmani berkata, “Barangsiapa memejamkan matanya dari
hal-hal yang diharamkan, mengendalikan nafsunya dari syahwat, menghidupkan
bathinnya dengan senantiasa merasakan kehadiran Allah Ta’aala (muraqabat) dan menghidupkan keadaan lahiriahnya
dengan mengikuti sunnah, dan membiasakan diri memakan barang halal, maka
firasatnya tidak akan meleset.”
Abul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Sahl ibn Atha’ mengatakan,“Barangsiapa menekan dirinya untuk
mengamalkan etika-etika syari’at maka Allah Ta’aala akan menerangi hatinya
dengan cahaya ma’rifat dan dianugerahi kedudukan mengikuti al-Habib Rasulullah
Shollallaah ‘alaih wa sallam dalam segala perintah, larangan dan budi pekerti
beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam.”
Ia juga mengatakan, “Semua
yang ditanyakan kepadaku carilah pada belantara syari’at. Jika engkau tidak
menemukannya, carilah di medan hikmah.
Jika tidak menemukannya, takarlah dengan tauhid. Dan jika tidak menemukannya di tiga tempat pencarian ini,
maka lemparkanlah ia ke wajah setan.”
Abu Hamzah al-Baghdadi al-Bazzar mengatakan, “Siapapun yang mengetahui jalan Allah
Ta’aala maka Dia akan memudahkan untuk menempuhnya. Dan tidak ada petunjuk
jalan menuju Allah Ta’aala kecuali mengikuti Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa
sallam dalam sikap, tindakan dan ucapan beliau.”
Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud ar-Ruqi mengatakan, “ Indikator cinta kepada Allah Ta’aala
adalah dengan memprioritaskan ketaatan kepada Allah Ta’aala dan mengikuti
NabiNya Shollallah ‘alaih wa sallam”
Mumsyad ad-Dainuri berkata, “Etika murid adalah selalu dalam keadaan
menghormati masyayikh (guru), membantu kawan-kawan, terlepas dari
faktor-faktor penyebab, dan menjaga etika syari’at untuk dirinya.”
Abu Muhammad Abdullah ibn Munazil berkata, “Tidak ada seseorangpun yang
menelantarkan salah satu kefardhuan Allah Ta’aala kecuali Allah Ta’aala akan
menimpakan musibah dengan menyia-nyiakan sunnah. Dan Allah Ta’aala tidak
menimpakan musibah seseorang dengan menelantarkan sunnah kecuali ia hendak
diberi musibah dengan bid’ah.”
Sufi
adalah orang yang beramal ibadah dengan ihlas dengan berdasarkan ilmu
C.
Ajaran dan Cirikhas ASWAJA
AJARAN-AJARAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Diantara ajaran Ahlussunnah adalah:
1. Megimani dan mengamalkan semuaq yang datang dari
Rosulillah saw. Baik yang tercantum di al-Qur’an ataupun di Hadits sebagai
bukti dari sikap ‘ubudiyyah pada Allah SWT.
2. Tidak mencaci
makai para Sahabat Nabi, tetapi menghormati dan memintakan ampunan untuk
mereka.
3. Bersedia untuk taqlid pada Ijtihad para Ulama’ Madzahib
dalam berbagai masa’il diniyah fiqhiyyah, disamping mempelajari dalil-dalilnya.
4. Mengimani ayat-ayat mutasyabihat tanpa berusaha untuk
mena’wil yang sampai pada batas mentasybihan maupun penta’thilan (menafikan
sifat-sifat Allah)
5. Meyakini bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah al-Qadim, tidak
makhluk dan tidak mengalami perubahan.
6. Tidak beranggapan bahwa Imamah adalah rukum Iman, namun
sebagai kewajiban / dlarurah ‘aammah demi kemashlahatan ummat untuk menjalankan
syari’at Islam.
7. Mengakui kekhilafan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali).
8. Mencintai ahlul bait Rasulullah SAWdengan tanpa lewat
jalur Syi’ah (dibatasi pada 12 imam dan mengkafir-kafirkan sahabat).
9. Mempercayai bahwa besok di Akhirat orang mu’min dapat
melihat Allah SWT sebagaimana dalam firman-firmanNya.
10. Tidak mengingkari pada bolehnya tawassul dan adanya
karomah Auliya’.
11. Tidak membenarkan ajaran taqiyyah, yakni melahirkan
sesuatu yang bertentangan dengan nurani hanya untuk menipu ummat Islam.
12. Percaya bahwa sebaik kurun / periode adalah masa
Rasulullah SAW setelah itu adalah Sahabatnya, setelahnya adalah Tabi’in…Tabi’it
Tabi’in … dan seterusnya.
Dan masih banyak beberapa ajaran Ahlussunnah yang tercantum
dalam kitab-kitab salaf. Untuk itu, bagi kalangan pesantren (khususnya) dan
warga nahdliyyin (umumnya), kamu mohon untuk mengkaji kitab Sulam Taufiq,
‘Aqidatul Awwam, al-Jawahirul Kalamiyyah, Jauharotul Tauhid, al-Hushunul
Hamidiyyah, al-Aqidah at Thohawiyyah, an-Nashaa’ihud Diiniyyah, Riyadlus
Sholihin, Ibnu Abi Jamroh, Adzkaarun Nawaawi, Tasiirul Jalalain, dan lain
sebagainya. Dan sebagai permohonan, kami persilahkan para tokoh masyarakat
untuk menelaah kitab Syawahidul Haq dan kitab al-Asaaliib al-Badi’ah, Addurul
Fariid Syarah Jauharotut Taukhid dan juga kitab hadits tafsir yang kesemuanya
menutur jelas akan fadloilus Shohabah. Rodliyallahu ‘anhum ajma’in.
Budaya yang merupakan ciri khas Ahlussunnah
adalah:
1.
|
Meramaikan bulan suci Romadlon
dengan pengkajian kitab-kitab Hadits, Tafsir maupun lainnya serta bertadarus
al-Qur’an dan sholat Tarawih.
|
2.
|
Menjalankan qunut subuh biarpun
terdapat khilafiyyah antara para Ulama’ dalam masalah tersebut.
|
3.
|
Menempatkan putra-putri
sunniyyin di pondok-pondok pesantren maupun madrasah diniyyah untuk mengkaji dan
menghidupkan ilmu agama.
|
4.
|
Adanya beberapa thoriqoh demi
taqorrub ilalloh, namun dengan syarat tidak terjadi ikhtilath antara lelaki
dan perempuan atau fanatik berlebihan.
|
5.
|
Memperhatikan jama’ah sholat
fardlu di Masjid dan surau-surau pada awwal waktu, dan harus ikhlas serta
khusyu’ didalam menjalankanya.
|
6.
|
Ziarah kubur Auliya’ untuk
bertawassul dengan tanpa adanya hal-hal munkar, Tahlilan, Berzanjenan dan
manaqiban, namun dengan syarat tidak berlebihan dalam I’tiqodnya pada syekh
Abdul Qodir, seperti membaca dengan serentak “Syekh Abdul Qodir Waliyulloh”
setelah membaca dua kalimat Syahadat. Dan amalan-amalan di atas tidaklah
budaya Syi’ah, sebab ziarahnya orang syi’ah tidak memakai bacaan ayat-ayat
al-Qur’an, juga tidak membaca tahlil tasbih tahmid, bisanya cuma memberi
kata-kata pujaan berlebihan pada Imam-imam mereke. Dan dalam berzanji maupun
diba’ disebutkan pujian terhadap sahabat Nabi SAW. Di samping itu, Syekh
ad-Dziba’I mempunyai kitab hadits bernama Taisirul Wushul yang di dalamnya
disebutkan fadloilus shohabat, dan shohabat Abu Bakar ditempatkan pada
peringkat pertama. Sedangkan Qoshidah نحن جيران بذا الحرم إلخ itu adalah milik al-Habib Abdulloh
al-Haddad yang telah kami nukilkan aqidahnya yang berhaluan ahlussunnah wal
jama’ah.
|
7.
|
Menyantuni anak yatim, faqir
miskin maupun para janda yang punya anak banyak, serta melindungi mereka dari
penindasan.
|
8.
|
Bagi alumni pesantren hendaknya
sering sowan kepada gurunya untuk konsultasi dengan memohon petunjuk di dalam
menjalankan da’wahnya. Demikian pula bagi para kiainya hendaknya mengunjungi /
mengecek mereka; apakah benar-benar sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.
|
9.
|
Takbiran pada malam hari raya dengan
tanpa diikuti penabuhan beduk. Sebab mengiringi dzikrulloh dengan tabuhan adalah
bid’ah. Apalagi aalatul
malaahi.
|
10.
|
Mempermudah urusan Haji dan
Umroh sehingga tidak menimbulkan keresahan dikalangan kaum Muslimin.
|
11.
|
Mengadakan bahtsul masa’il
dengan dihadiri tokoh yang benar-benar ahli dalam bidang agama. Mengamalkan
ru’yatul hilal untuk mengetahui awwal Romadlon dan Syawwal.
|
12.
|
Mendirikan paguyuban keluarga
demi mempererat persaudaraan.
|
13.
|
Menghafalkan al-Qur’an dengan
memperhatikan tajwidnya, dan lain sebagainya.
|
BAB II DASAR-DASAR AMALIYAH NAHDLIYAH
(TRADISI NU)
A. Pengertian Bid’ah
A. PENGERTIAN BID’AH
Bid’ah secara bahasa adalah setiap perbuatan yang dilakukan tanpa ada
contoh sebelumnya. (Abu al-Baqa’ al-Kafawi, al-Kulliyyat, hal. 226).
وقال النووي في تهذيب الأسماء واللغات: البدعة بكسر الباء،
في الشرع، هي إحداث ما لم يكن في عهد
الرسول صلى الله عليه وسلم، وهي منقسمه إلى حسنة وقبيحة
Bid’ah menurut istilah syari’at: melakukan sesuatu yang tidak ada pada masa
Rasulullah . (al-Imam al-Nawawi, Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat).
Al-Imam al-Nawawi: Hadits وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ “Semua bid’ah adalah
sesat”, adalah teks general, yang jangkauan hukumnya dibatasi (عام مخصوص ), yakni maksudnya sebagian
besar bid’ah itu sesat. (Al-Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 6,
hal. 154).
Al-Imam al-Nawawi: Hadits الحديث
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا
“Barang siapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam ...”, adalah mentahsis
atau membatasi terhadap jangkauan hukum hadits yang berbunyi : وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“setiap perkara baru adalah bid’ah , dan setiap bid’ah adalah sesat”. (Al-Imam
al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 7, hal. 104).
Jadi dapat disimpulkan bahwa arti hadis tersebut adalah :Sebagian besar
bid’ah “yang tidak baik saja” itu adalah sesat.Adapun yang baik tidaklah
sesat.Karena lafadz bid’ah pada hadis tadi adalah menurut pengertian lughowi/bahasa ,yaitu setiap perbuatan yang dilakukan tanpa ada
contoh sebelumnya. Bukan arti yang menurut syari’at .
Ulama’-ulama’ yang berpendapat adanya pembagian bid’ah antara lain :
-Al-Imam al-Syafi’i: Bid’ah terbagi dua, 1) bi’ah mahmudah, yaitu bid’ah
yang seesuai dengan sunnah dan 2) bid’ah madzmmah, yaitu bid’ah yang menyalahi
sunnah. (Abu -Nu’aim al-Ashfihai, Hilyah al-Auliya’, 9/113)
-Al-Imam al-Syafi’i: Muhdatsat (bid’ah) ada dua macam, 1) bid’ah yang
menyalahi al-Qur’an, Sunnah, atsar atau ijma’, maka disebut bid’ah dhalalah
(tersesat), dan 2) bid’ah dalam kebaikan yang tidak menyalai hal tersebut,
maka disebut bid’ah yang tidak tercela.
(al-Baihaqi, Manaqib al-Syai’i, juz 2 hal. 469).
-Al-Imam al-Syafi’i: Muhdatsat (bid’ah) ada dua macam, 1) bid’ah yang
menyalahi al-Qur’an, Sunnah, atsar atau ijma’, maka disebut bid’ah dhalalah
(tersesat), dan 2) bid’ah dalam kebaikan yang tidak menyalai hal tersebut,
maka disebut bid’ah yang tidak tercela. (al-Dzahabi,
Siyar A’lam al-Nubala’, juz 10 hal. 70).
-Al-Imam al-Syafi’i: Muhdatsat (bid’ah) ada dua macam, 1) bid’ah yang
menyalahi al-Qur’an, Sunnah, atsar atau ijma’, maka disebut bid’ah dhalalah
(tersesat), dan 2) bid’ah dalam kebaikan yang tidak menyalai hal tersebut, maka disebut bid’ah yang tidak tercela. (al-Hafizh
Ibn Hajar, Fath al-Bari, juz 17 hal. 134-135).
-Al-Shan’ani: “Bid’ah terbagi lima, wajib, mandub, mubah, haram dan
makruh.” (Subul al-Salam, juz 2, hal. 148).
-Al-Syaukani: “Bid’ah ada dua, hasanah dan qabihah. Lalu bid’ah terbagi
menjadi lima.” (Nail al-Authar).
-Ibn Taimiyah: “Bid’ah ada dua, bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah.” (Ibn
Taimiyah, Majmu’ Fatawa Saikh al-Islam Ibn Taimiyah, juz 20, hal. 163)
dan masih banyak lagi lainnya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa para Ulama telah ittifaq /sepakat
pada pembagian bid’ah menjadi mahmudah (terpuji) dan mazmumah (tercela).Hanya
Imam Syatibi dalam kitab I’tishamnya yang menolak pembagian bid’ah
tersebut.Tetapi beliau tetap mengakui bahwa dalam bid’ah ada yang wajib dan
sunah .Hanya saja beliau menyebutnya sebagai “maslahah mursalah”.Jadi khilaf
disini sebenarnya hanya lafadznya /sebutannya saja.Bahwa bid’ah yang wajib
bukanlah bid’ah hasanah,tetapi disebutnya sebagai “al maslahah” .Jadi ,intinya
tidak ada perbedaan.
Dalam surat al-Hadid, 27, Allah tidak mencela Bani Israil karena
membuat-buat tradisi rahbaniyah dengan tujan mencari ridha Allah. Bani Israil
dicela karena meninggalkan tradisi rahbaniyah yang telah mereka tetapkan.
(Al-Hafizh al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, juz 3, hal. 339).Firman Allah :
§NèO $uZø¤ÿs% #n?tã NÏdÌ»rO#uä $oYÎ=ßãÎ/ $uZø¤ÿs%ur |¤ÏèÎ/ Èûøó$# zOtötB çm»oY÷s?#uäur @ÅgUM}$# $oYù=yèy_ur Îû É>qè=è% úïÏ%©!$# çnqãèt7¨?$# Zpsùù&u ZpuH÷quur ºp§ÏR$t6÷duur $ydqããytGö/$# $tB $yg»uZö;tGx. óOÎgøn=tæ wÎ) uä!$tóÏGö/$# ÈbºuqôÊÍ «!$# $yJsù $ydöqtãu ¨,ym $ygÏFt$tãÍ ( $oY÷s?$t«sù tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä öNåk÷]ÏB óOèdtô_r& ( ×ÏWx.ur öNåk÷]ÏiB tbqà)Å¡»sù ÇËÐÈ
27. kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan Rasul-rasul
Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya
Injil dan Kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun
dan kasih sayang. dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah[1460] Padahal
Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang
mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak
memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada
orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka
orang-orang fasik.
[1460] Yang dimaksud dengan
Rahbaniyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam
biara.
Contoh yang lain pada masa Sahabat ataupun salaf antara lain adalah :
-Mu’adz bin Jabal membuat cara baru dalam shalat bagi makmum masbuq, dan
Rasulullah saw membenarkannya. (Al-Hafizh al-Thabarani, al-Mu’jam al-Kabir, juz
20, hal. 134).
-Sahabat Bilal menentukan waktu ibadah berdasarkan ijtihadnya, tanpa ada
tuntunan sebelumnya dari Nabi saw, ternyata Nabi saw membenarkannya. (Shahih al-Bukhari,
1122).
-Sahabat Ibn Abbas ra, mundur dari shaf yang ditentukan oleh Nabi saw,
dengan alasan etika, tanpa ada tuntunan sebelumnya dari Nabi saw, dan ternyata
Nabi saw membenarkannya, bahkan mendoakannya. (Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid,
juz 9, hal. 462).
-Seorang sahabat ra membuat bacaan baru ketika bangun menuju i’tidal dalam
shalat, tanpa ada tuntunan sebelumnya dari Nabi saw, dan ternyata Nabi saw
membenarkannya. (Shahih al-Bukhari, juz 3, hal. 14).
-Seorang Sahabat ra membaca surat
al-Ikhlash dalam shalat secara berulang-ulang, tanpa ada tuntunan dari Nabi saw,
ternyata Nabi saw membenarkannya. (Al-Hafizh Ibn Hajar, Fath al-Bari,
juz 2, hal. 687).
-Para Sahabat menghimpun al-Qur’an dalam satu mushhaf, atas inisiatif Umar,
Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit ra, tanpa ada tuntunan dari Nabi saw.
-Sayidina Umar ra menggagas shalat tarawih pada seorang imam, dan beliau
anggap sebagai bid’ah paling hasanah. (Al-Hafizh Ibn Hajar, Fath al-Bari, juz
5, hal. 448).
-Sayidina Utsman ra menambah adzan dalam shalat Jum’at dan disetujui oleh
para sahabat. (Al-Imam al-Qasthalani, Irsyad al-Sari li-Syarh Shahih
al-Bukhari, juz 2, hal. 178).
-Sahabat Abdullah bin Umar ra menambah bacaan talbiyah dalam ibadah haji
dengan doa yang belum diajarkan oleh Rasulullah saw. (Shahih Muslim, 1184).
-Sahabat Abdullah bin Mas’ud ra menyusun redaksi bacaan shalawat Nabi saw.
(Sunan -Ibn Majah, 906, dan bn Qayyim al-Jauziyyah, Jila’ al-Afham).
-Sahabat Ibn Abbas ra menyusun redaksi bacaan shalawat Nabi saw. (Ibn
Qayyim al-Jauziyah, Jila’ al-Afham, hal. 138).
-Redaksi bacaan shalawat Nabi saw yang disusun oleh al-Imam al-Syafi’i dan dibenarkan oleh panutan kaum Wahhabi.
(Ibn Qayyim al-Jauziyah, Jila’ al-Afham, hal. 489).
-Al-Imam Ahmad bin Hanbal ra menambah bacaan doa dalam sujudnya setiap
menunaikan shalat dengan doa untuk kedua orang tua dan gurunya, al-Imam
al-Syafi’i . (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, juz 2, hal.
254).
1.BID’AH HASANAH
Bid’ah hasanah adalah persoalan
yang tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini di samping karena banyak inovasi
amaliah kaum Muslimin yang tercover dalam bingkai bid’ah hasanah, juga karena
adanya kelompok minoritas umat Islam yang sangat kencang menyuarakan tidak
adanya bid’ah hasanah dalam Islam. Akhirnya kontroversi bid’ah hasanah ini
selalu menjadi aktual untuk dikaji dan dibicarakan. Toh walaupun sebenarnya
khilafiyah tentang pembagian bid’ah menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan
bid’ah sayyi’ah, tidak perlu terjadi. Karena di samping dalil-dalil Sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah
cukup banyak dan sangat kuat, juga karena konsep bid’ah hasanah telah diakui
sejak generasi sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin. Namun apa boleh dikata,
kelompok yang anti bid’ah hasanah tidak pernah bosan dan lelah untuk
membicarakannya.
Perlu
diketahui, bahwa pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah
sayyi’ah, merupakan keharusan dan keniscayaan dari pengamalan sekian banyak
hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang shahih dan terdapat dalam
kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar). Karena
meskipun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَالْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ
(رواه مسلم)
“Jabir bin Abdullah berkata,
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik ucapan adalah
kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek
perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR.
Muslim [867]).
Ternyata Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam juga bersabda:
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
رواه مسلم
“Jarir bin Abdullah al-Bajali
radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh
pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi
sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek
dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang
melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR.
Muslim [1017]).
Dalam hadits pertama, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat.
Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan
pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan
mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan
demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu
bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh
al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi shallallahu
alaihi wa sallam menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai
perbuatan yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah
dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau
belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi
wa sallam. Di sisi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seringkali
melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah
diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq dalam
shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini:
عَنْ عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى قَالَ: (كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنَ الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوْا إِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم «سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ».وَفِيْ رِوَايَةِ سَيِّدِنَا مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ: (إِنَّهُ قَدْ سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ فَهَكَذَا فَاصْنَعُوْا). رواه أبو داود وأحمد ، وابن أبي شيبة، وغيرهم، وقد صححه الحافظ ابن دقيق العيد والحافظ ابن حزم
“Abdurrahman bin Abi Laila berkata:
“Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bila seseorang datang
terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang
lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah
dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu
terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada
suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan
kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi
Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat
mereka, namun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat,
maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz
bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi
wa sallam menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.”
Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
“Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat
yang harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi
Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq
al-’Id dan al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).
Hadits ini menunjukkan bolehnya
membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai
dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam
tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru
dalam shalat sebelum bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena
perbuatan Mu’adz sesuai dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus
mengikuti imam. Dalam hadits lain diriwayatkan:
وَعَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي الله عنه قَالَ : كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ : أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا»
رواه البخاري
“Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu
anhu berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa
sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman
hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu
hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih”. Setelah selesai shalat, beliau
bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”.
Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis
pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).
Kedua sahabat di atas mengerjakan
perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, yaitu menambah bacaan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi shallallahu
alaihi wa sallam membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira
tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan
syara’, di mana dalam i’tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu
al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267),
bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat,
selama dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan
dzikir selama tidak mengganggu orang lain. Seandainya hadits “kullu bid’atin
dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan, tentu
saja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan melarang setiap bentuk
inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup.
Selanjutnya pembagian bid’ah
menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh para
sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, termasuk Khulafaur Rasyidin.
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلى الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ t: إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ
رواه البخاري
“Abdurrahman bin Abd al-Qari
berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin
al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok.
Ada yang shalat
sendirian. Ada
juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar radhiyallahu anhu
berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu
akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam
berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka
melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar
berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir
malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang
menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari [2010]).
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya
melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula
melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk
melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu.
Kemudian Umar radhiyallahu anhu mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat
tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang
beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau
mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
وَعَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رضي الله عنه وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلىَ الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌ فِيْ سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ
رواه البخاري
“Al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu
anhu berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan
Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian
pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan
ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari
[916]).
Pada masa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam
telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk
semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum
imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di
Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan
shalat Jum’at, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada
waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi
bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula
menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang
sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.
Selanjutnya, beragam inovasi dalam
amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh para sahabat secara individu. Dalam
kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa sahabat seperti Umar bin
al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, al-Hasan bin Ali dan lain-lain
menyusun doa talbiyah-nya ketika menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi
talbiyah yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Para
ulama ahli hadits seperti al-Hafizh al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’
al-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan al-Hasan al-Bashri melakukan shalat
Qabliyah dan Ba’diyah shalat idul fitri dan idul adhha.
Berangkat dari sekian banyak
hadits-hadits shahih di atas, serta perilaku para sahabat, para ulama akhirnya
berkesimpulan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah
sayyi’ah. Al-Imam
al-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab al-Syafi’i berkata:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ
الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam;
pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan
itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan
yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang
tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Pernyataan al-Imam al-Syafi’i ini
juga disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam kitabnya, Majmu’
Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (juz. 20, hal. 163).”
Jika dipertanyakan :
firman Allah :
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ د ِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ
“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu
dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”
Ayat di atas
menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan
bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih
perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”
Jawabnya adalah : “Ayat 3 dalam surat al-Maidah disebutkan tidak berkaitan
dengan bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan penyempurnaan agama dalam
ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama tafsir, adalah bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan kaedah-kaedah agama. Seandainya yang
dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh melakukan bid’ah hasanah, tentu saja
para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak akan
melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina
Umar menginstruksikan shalat tarawih secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman
menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya
yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari
kalangan sahabat yang menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi.
Jadi, ayat yang disebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru
bid’ah hasanah masuk dalam kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya terdapat
dalam sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan perilaku para
sahabat.” Kemudian jika dipertanyakan
kembali , bahwa hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat
dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadits
tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah
redaksinya berbunyi, man sanna fil Islaam sunnatan hasanatan. Di samping itu,
hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah
maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi
hadits yang dijadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”
Jawabannya adalah: “Untuk memahami hadits
Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut haruslah melalui pemikiran yang jernih
dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam
teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa,
sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah
(perilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridhai atau pun tidak). Sunnah
dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah
ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin
au fi’lin au taqrir (segala sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi
terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah.
Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut
dimaksudkan dengan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi
ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba
kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama
kalimat man sanna sunnatan hasanatan.
Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan.
Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada
Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits tadi,
maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa
sallam itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja
ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam
al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan,
membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna
haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.
Selanjutnya, bahwa jika konteks yang menjadi
latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut hanya berkaitan dengan anjuran
sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih
telah kita kenal kaedah, al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab,
(peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan
melihat pada konteksnya yang khusus).”
Berikut keterangan dari DR Sayid Muhammad Alawi Al Maliki dalam kitab Mafahim Yajibu an
Tushohhaha :
ANTARA SEBAIK-BAIK BID’AH DAN SEBURUK-BURUK BID’AH
Di antara mereka yang mengklaim
memahami substansi permasalahan adalah orang-orang yang menilai diri mereka
sebagai salaf shalih. Mereka bangkit mendakwahkan gerakan salafiyah dengan cara
biadab dan bodoh, fanatisme buta, akal-akal yang kosong, pemahaman-pemahaman
yang dangkal dan tidak toleran dengan memerangi segala hal yang baru dan
menolak setiap kreativitas yang berguna dengan anggapan bahwa hal itu adalah
bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat tanpa memilah klasifikasinya padahal
spirit syariah Islam mengharuskan kita membedakan bermacam-macam bid’ah dan
mengatakan bahwa: “Sebagian bid’ah ada yang baik dan sebagian ada yang
buruk”. Klasifikasi ini adalah tuntutan
akal yang cemerlang dan pandangan yang dalam.
Klasifikasi bid’ah ini adalah hasil
kajian mendalam para sarjana ushul fiqh dari generasi klasik kaum muslimin
seperti al-Imam al-‘Izz ibn Abdissalam, an-Nawawi, as-Suyuthi, al-Mahalli dan
Ibnu Hajar. Hadits-hadits Nabi itu saling menafsirkan dan saling melengkapi.
Maka diharuskan menilainya dengan penilaian yang utuh dan komprehensif serta
harus menafsirkannya dengan menggunakan spirit dan persepsi syariah dan yang
telah mendapat legitimasi dari para pakar.
Karena itu kita menemukan banyak
hadits mulia dalam penafsirannya membutuhkan akal yang jernih, fikiran yang
dalam, pemahaman yang relevan, dan emosi yang sensitif yang digali dari
samudera syariah, yang mampu memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat, dan
mampu menyesuaikan kondisi dan kebutuhan tersebut dalam batasan kaidah-kaidah
syari’at dan teks-teks al-Qur’an dan hadits yang mengikat. Salah satu contoh
dari hadits-hadits di muka adalah hadits:
كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah itu sesat.”
Bid’ah dalam hadits ini harus ditafsirkan sebagai bid’ah
sayyi’ah (bid’ah tercela) yang tidak termasuk dalam naungan dalil
syar’i.
Penafsiran semacam ini terjadi pula dalam hadits lain
seperti:
لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ
“Tidak ada
sholatnya seseorang yang tinggal di dekat masjid kecuali dilakukan di masjid.”
Hadits ini meskipun menunjukkan pengkhususan akan tidak
sahnya sholat tetangga masjid kecuali di masjid namun keumuman-keumuman hadits
memberikan batasan bahwa sholat tersebut tidak sempurna bukan tidak sah, di
samping masih adanya perbedaan dalam kalangan ulama.
Dan seperti halnya hadits ini:
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ
“Tidak ada
sholat di hadapan makanan”.
Para ulama menafsirkan bahwa sholat tersebut tidak
sempurna.
Dan seperti halnya hadits ini:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak
beriman salah satu dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia
cintai untuk dirinya.”
Para ulama’ menafsirkan bahwa
yang dimaksud adalah kurangnya kesempurnaan iman.
Dan demikian juga dengan hadits ini:
واللهِ لا يُؤْمِن والله لا يؤمن والله لا يؤمن قيل: مَن يا رسول الله؟ قال:مَنْ لَمْ يَأْمَنْ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah,
tidak beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan
kepada beliau, “Siapakah wahai Rasulullah”. “Seseorang yang tetangganya merasa
terganggu dengannya”.
Para ulama menafsirkan
dengan tidak adanya iman yang sempurna.
Dan demikian juga dengan hadits berikut ini:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ….., لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ وعاق لوالديه
“Tidak akan masuk sorga orang yang
suka mengadu domba…….tidak akan masuk sorga orang yang memutus hubungan kerabat
dan yang durhaka kepada kedua orang tuanya.”
Para ulama menegaskan bahwa yang dimaksud tidak akan masuk
surga ialah tidak akan masuk pertama kali atau tidak masuk surga jika menilai
perbuatan tercela tersebut halal dilakukan. Alhasil, para ulama tidak memahami
hadits di atas secara tekstual tapi menafsirkannya dengan bermacam-macam
penafsiran yang sesuai.
Dan hadits di atas yang menjelaskan
bid’ah termasuk dalam kategori ini. Keumuman-keumuman hadits dan
keadaan-keadaan sahabat memberi kesimpulan bahwa bid’ah yang dimaksud adalah
bid’ah tercela yang tidak berada dalam naungan prinsip umum.
Dalam sebuah hadits dijelaskan:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَ أَجْر مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Siapapun
yang mengawali tradisi yang terpuji maka ia memperoleh pahala darinya dan dari
pahala mereka yang mengamalkannya sampai hari kiamat.”
Dan di dalam sebuah hadits:
عليكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدى
“Berpegangteguhlah dengan sunnahku
dan sunnah para khulafaurrasyidin sesudah wafatku.”
Umar ibn Khaththab berkomentar mengenai sholat
tarawih:
نعمت البدعة هذه
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini
(sholat tarawih berjama’ah dalam satu masjid dengan seorang imam)”.
2.BAHAYA VONIS BID’AH
Menuduh seseorang berbuat bid’ah, musyrik atau kafir bukanlah suatu perbuatanyang
ringan bahkan berbahaya bagi orang yang melakukannya.
Nabi SAW bersabda:
إِنَّمَا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رَجُلاً قَرَأَ الْقُرْآَنَ حَتىَّ رُؤِيَ عَلَيْهِ بَهْجَتُهُ وَكَانَ رِدْءَ اْلإِسْلاَمِ اعْتَزَل َإِلىَ مَا شَاءَ اللهُ وَخَرَجَ عَلىَ جَارِهِ بَسَيْفِهِ وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ
“Sesungguhnya yang aku takuti dari kalian adalah seorang lelaki yang membaca al-Quran sehingga tampak kecemerlangan kepada dirinya, dan ia penolong Islam, (kemudian) ia menyendiri sampai waktu yang dikehendaki Allah dan keluar kepada tetangganya dengan pedangnya dan menuduhnya musyrik,”. (HR al-Bazzar dari Hudzaifah dengan sanad yang sahih).
Dalam riwayat Ibnu Marduwaih
dan Ibnu Hibban :
أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ ثَلاَثاً، رَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ الْقُرْآَنَ حَتىَّ إِذَا رَأَيَ بَهْجَتَهُ وَتَرَّدَى اْلإِسْلاَمِ اَعَارَهُ اللهُ مَا شَاءَ، اخْتَرَطَ سَفَهٌ وَضَرَبَ جَارَهُ وَرَمَاهُ بِالْكُفْرِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّهُمَا أَوْلىَ بِالْكُفْرِ، الرَّامِي اَوِ الْمُرْمَى بِهِ ؟، قَالَ: الرَّامِى ..... الحديث
“Perkara yang paling aku takuti pada kalian ada tiga: Seorang lelaki yang Allah berikan (anugrah) al-Quran kepadanya sehingga tampak kecemerlangannya dan menolong Islam, Allah melepaskannya sampai waktu yang dikehendaki-Nya, ia bertindak serampangan, memukul (menyakiti) tetangganya dan menuduhnya kafir,” Para sahabat bertanya: “ Hai Rasulullah, manakah yang paling layak kafir di antara mereka, orang yang menuduh atau yang di tuduh?”, Rasulullah berkata: “Orang yang menuduh”.uh
Rasulullah SAW bersabda :
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ أَحَدُهُمَ
“Jika seorang lelaki
(Islam) mengkafirkan saudaranya (sesama Islam) , maka kembalilah kekafiran itu
pada salah seorang darinya.” (HR Muslim dari Ibnu Abbas)
Dalam riwayat lain :
Dalam riwayat lain :
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ ِلأَخِيْهِ : يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا
أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Siapapun yang mengatakan
pada saudaranya : Hai orang kafir, maka kembalilah kekafiran itu pada
salah seorang darinya, jika kekafiran itu ada pada saudaranya (maka
kembalilah kepada saudaranya itu), dan jika kekafiran itu tidak berada
pada saudaranya maka kembalilah kekafiran itu kepadanya”.
وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ : عَدُوُّ اللهِ، وَلَيْسَ
كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ
"Barang siapa yang
memanggil seorang laki-laki dengan kekafiran, atau berkata: "Hai
musuh Allah", dan orang laki-laki tersebut tidaklah demikian kecuali
kembalilah kekafiran itu pada dirinya."
Perhatikan wahai saudaraku,
betapa berat ancaman bagi seseorang yang menuduh saudaranya berbuat
kemusyrikan, kekafiran, atau bid’ah.
B.DOA UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL
TRADISI NGESUR TANAH (NGGEBLAG),SELAMATAN 7 HARI DAN 40 HARI.
Upacara
ngesur tanah (nggeblag) merupakan tradisi yang diselenggarakan pada saat hari
meninggalnya seseorang.Upacara ini diselenggarakan pada sore hari setelah
jenazah dikuburkan.Istilah sur tanah atau ngesur berarti menggeser tanah
(membuat lubang untuk penguburan jenazah).Makna tradisi sur tanah adalah
memindahkan dari alam fana ke alam baka dan wadag semula yang berasal dari
tanah akan kembali ke tanah juga.Esensi atau inti dari tradisi ini adalah
sedekah pada hari pertama. Hal ini diperbolehkan dalam syari’at Islam.
Keterangan diambil dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin
Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:
قال
الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له :
حدثنا هاشم بن القاسم قال:
حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان
الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام ,
قال الحافظ أبو نعيم فى الحلية:
حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا
أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال:
قال طاوس: ان
الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
Artinya:
“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallaah ‘anhu di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallaah ‘anhu di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim
di dalam kitab Al-Hilyah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik,
telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan
kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah
menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam
Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah
dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih
hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal
selama hari-hari tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194
diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى
الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها
خلفا عن سلف الى الصدر الأول
Artinya:
“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.”
“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.”
Pendapat
Imam Al Suyuthi dalam kitab Al Hawi lil Fatawi :
" المقرر في فن الحديث والأصول أن ما روي مما لا مجال للرأي فيه كأمور البرزخ والآخرة فإن حكمه الرفع لا الوقف ، وإن لم يصرح الراوي بنسبته إلى النبي صلى الله عليه وسلم " انتهى من " الحاوي " (2/217)
“
Telah menjadi pedoman dalam ilmu hadits
dan ushul bahwa suatu hadits ketika berkaitan dengah permasalahan yang tidak
bisa dijangkau akal sebagaimana permasalahan alam barzah/kubur dan akhirat,maka
hadits tersebut dikategorikan hadits marfu” (Al Hawi :2/217)
Jadi,tradisi ngesur tanah adalah
masih merupakan rangkaian dari acara
selamatan 7 hari setelah meninggalnya seseorang sebagaimana umum dilakukan oleh masyarakat muslim
tradisional di Indonesia .Hal tersebut sudah ada landasannya dari kalangan
salaf ash-sholih. Dan bukan bid’ah madzmuumah/dholaalah.
Hadits
yang dijadikan sandaran bahwa orang yang sudah meninggal berhenti disiksa
karena doa orang yang masih hidup :
1. Hadits jaridatain yang diriwayatkan al-Bukhori, Muslim dan Ashabus Sunan yaitu hadits yang menyebutkan Nabi SAW meletakkan 2 pelepah kurma basah di atas 2 kubur yang sedang disiksa agar diringankan siksanya.Hadits ini tidak hanya khusus pada nabi saja, karena al-Bukhori sahabat Baridah bin al-Hasib berwasiat agar saat ia meninggal agar dikuburnya ditaruh 2 pelepah kurma. (Sohih Al-Bukhori Kitab Jenazah)
An-Nawawi dalam Syarh Muslim (juz 1, hal 206) berkata: alasan dipilihnya pelepah kurma yang basah bukan yang kering karena pelepah kurma akan bertasbih selama dalam keadaan basah. Beliau juga berkata: Karena hadis inilah para ulama menganggap baik pembacaan al-Quran di sisi kubur, karena jika siksa kubur dapat diperingan dengan tasbih pelepah kurma, maka dengan pembacaan al-Quran itu lebih utama.
Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Ibnu Daqiqil 'Id dalam Ihkamul Ahkam (hal 63) , at-Tibiy dalam syarh al-Misykat (juz 1, hal 38) dan al-Qurtubi dalam Tadzkirahnya (hal 100).
2. Hadits Umamah tentang talqin mayyit yang diriwayatkan oleh At-Tabrani dan Abdul 'Aziz al-Hanbali dalam Asy-Syafi, Derajat hadits ini masih diperselisihkan, Ibnu Hajar dalam Talkhisul Khobir berkata: isnadnya baik bahkan dalam Hadyus Sari berpendapat bahwa hadits ini Sohih atau Hasan, tetapi al-Haitsamiy dalam Majmauz Zawaid berkata: dalam sanadnya ada rowi-rowi yang tidak aku kenal.Ibnul Qoyyim dalam ar-Ruh (hal 15) berkata: Hadits ini mesti tidak tsabit (lemah) akan tetapi amal yang terus menerus di seluruh kota dan setiap masa tanpa adanya pengingkaran cukup (sebagai dalil) dalam pemgamalannya. Lalu beliau menyebut beberapa riwayat dari ulama salaf tentang selamatnya beberapa arwah dari siksa kubur karena talqin atau bacaan orang yang masih hidup.
3. Hadits yang diriwayatkan an-Nasai, Ibnu Majah, Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Hibban dari Mi'qal bin Yasir al-Muzani dari Nabi SAW:
. ومما يشهد لنفع الميت بقراءة غيره حديث معقل بن
يسار: "اقرءوا يس على موتاكم" رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه وابن
حبان وصححه
Dalam hadits ini ada 2 pendapat:
-Pendapat mayoritas ulama
diantaranya adalah Imam Ahmad yang mengartikan bacakanlah surat Yasin untuk
orang-orang yang telah mati dari kalian.
-Pendapat kedua yang dipilih Ibnul Qoyyim mengartikan bacakanlah surat Yasin untuk orang-orang yang akan mati dari kalian.Kitab yang dapat dibaca untuk memperjelas masalah ini:
-Pendapat kedua yang dipilih Ibnul Qoyyim mengartikan bacakanlah surat Yasin untuk orang-orang yang akan mati dari kalian.Kitab yang dapat dibaca untuk memperjelas masalah ini:
a. Tahqiqul Amal Fiima Yanfa'ul
Mayyiti minal A'mal karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.
b.Ar-Ruh karya Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah
MEMBACA YASIN
FADHILAH DAN BACAAN SURAT ATAU AYAT TERTENTU DALAM AL QU RAN
Mayoritas umat muslim di Indonesia adalah penganut
Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka mempercayai keutamaan/Fadhilah membaca surat-surat atau ayat-ayat
tertentu dalam al-Qur’an, misalnya yang berupa surat secara utuh-utuh surat al-Baqoroh, surat al-Kahfi, surat Yasin, surat ad-Dukhon, surat al-Waqi’ah, surat al-Ikhlas, surat al-Muawwidzatain dan lain-lain.
Sedangkan yang berupa ayat al-Qur’an misalnya: Ayat Kursi, ayat-ayat yang ada
di akhir surat
al-Baqoroh atau yang ada di akhir surat
al-Kahfi dan lain-lain.
Surat-surat
atau ayat-ayat tersebut mereka baca secara rutin setiap hari/ setiap
malam atau secara berkala. Keterangan tentang keutamaan membaca beberapa surat/ ayat tersebut bisa
diperoleh dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh para muhadditsin antara
lain:
1. Hadits riwayat
Imam Baihaqi:
مَنْ
قَرَأَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ تُوِّجَ بِتَاجٍ فِى الْجَنَّةِ. رواه البيهقي
Artinya:
“Barangsiapa yang
membaca surat al-Baqoroh, maka akan diberi mahkota beruap mahkota di surga.” (HR. Baihaqi)
2. Hadits riwayat al-Hakim:
مَنْ
قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِيْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا
بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ. رواه
الحاكم
Artinya:
“Barangsiapa yang
membaca surat al-Baqoroh pada hari jum’at, maka akan bersinar baginya seberkas
cahaya sampai dua jum’at”. (HR. Al-Hakim)
3. Hadits riwayat Abu Nu’aim:
مَنْ
قَرَأَ يس فِي لَيْلَةٍ أَصْبَحَ مَغْفُورًا لَهُ. رواه أبو نعيم في الحلية
Artinya:
“Barangsiapa yang
membaca surat Yasin pada waktu malam, maka pada pagi harinya orang itu diampuni
dosanya”. (HR. Abu Nu’aim)
4. Hadits riwayat Ath-Thabrani:
مَنْ
قَرَأَ "حم" الدُّخَانَ فِي لَيْلَةِ جُمُعَةٍ أَوْ يَوْمَ جُمُعَةٍ بنى
اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ. رواه الطبراني
Artinya:
“Barangsiapa yang
membaca surat Hamim ad-Dukhon pada malam jum’at atau hari jum’at, maka Allah
akan mendirikan bangunan rumah untuk orang itu di surga”. (HR. Ath-Thabrani).
5. Hadits riwayat
Imam Baihaqi:
مَنْ
قَرَأَ سُوْرَةَ الْوَاقِعَةِ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ لَمْ تُصِبْهُ فَاقَةٌ أَبَداً.
رواه البيهقي
Artinya:
“Barangsiapa yang
membaca surat al-Waqi’ah setiap malam, maka tidak akan tetimpa kemiskinan
selamanya”. (HR. Baihaqi)
6. Dan lain-lain.
Di sebagian daerah yang masyarakatnya
mayoritas warga NU. Berlaku suatu amalan membaca surat Yasin namun bukan surat
Yasin biasa, akan tetapi Yasin Fadhilah (yakni surat Yasin yang di dalamnya
disisipi kalimat-kalimat yang berisi do’a atu bacaan tertentu selain
al-Qur’an).
Ada tiga maslaah yang dipertanyakan
sehubungan dengan amalan tersebut?
Pertama: Bagaimana hukum mencampur penulisan ayat
al-Qur’an dengan kalimat-kalimat lain yang bukan al-Qur’an?
Kedua: Bagaimana pula hukum membacanya?
Ketiga: Apakah surat-surat lain yang bukan surat Yasin juga boleh
dijadikan sebagaimana Yasin Fadhilah?
Mengenai masalah ini, ada perbedaan humum
antara menulis do’a-do’a tertentu di sela-sela ayat atau surat al-Qur’an dan hukum
membacanya. Perbedaan itu sebagai berikut :
Hukum menulisnya adalah makruh, karena hal
itu akan menimbulkan dugaan bahwa do’a-do’a atau bacaan-bacaan tersebut
termasuk ayat/surat Al-Qur’an. Sebagaimana tersebut dalam kitab “al-itqan” juz
III hal. 171 :
وَقَالَ
الْحَلِيْمِيْ: تُكْرَهُ كِتَابَةُ اْلأَعْشَارِ وَاْلأَخْمَاسِ وَأَسْمَاءِ
السُّوَرِ وَعَدَدِ اْلآيَاتِ فِيْهِ لِقَوْلِهِ: جَرِّدُوا الْقُرْآنَ. وَأَمَّا
النُّقَطُ فَيَجُوْزُ لَهُ لأَنَّهُ لَيْسَ لَهُ صُوْرَةٌ فَيُتَوَهَّمُ
لأَجْلِهَا مَا لَيْسَ بِقُرْآنٍ قُرْآناً. وَإِنَّمَا هِيَ دَلاَلاَتٌ عَلَى
هَيْئَةِ الْمَقْرُوْءِ فَلاَ يَضُرُّ إِثْبَاتُهَا لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهَا.
وَقَالَ الْبَيْهَقِيْ: مِنْ آدَابِ الْقُرْآنِ أَنْ يُفْخَمَ فَيُكْتَبُ
مُفَرَّجاً بِأَحْسَنِ خَطٍّ، فَلاَ يُصَغَّرُ وِلاَ يُقَرْمَطُ حُرُوْفُهُ، وَلاَ
يُخْلَطُ بِهِ مَا لَيْسَ مِنْهُ كَعَدَدِ اْلآيَاتِ وَالسَّجَدَاتِ
وَالْعَشَرَاتِ وَالْوُقُوْفِ وَاخْتِلاَفِ الْقِرَاءَاتِ وَمَعَانِي اْلآيَاتِ.
Artinya :
“Imam Halimi berkata
: makruh hukumnya menulis tanda sepersepuluh, seperlima, nama surat dan
bilangan ayat di tengah-tengah surat/ayat Al-Qur’an. Karena sabdanya :
bersihkanlah tulisan Al-Qur’an (dari hal yang bukan Al-Qur’an). Adapun memberi
titik maka hukmnya boleh, karena tidak merubah bentuk yang sekiranya menimbukan
dugaaan bahwa yang bukan Al-Qur’an dianggap Al-Qur’an. Hal itu hanyalah
petunjuk atas keberadaan huruf yang dibaca. Imam Baihaqi berkata : Di antara
tata krama terhadap Al-Qur’an adalah hendaklah bersikap serius kepada
Al-Qur’an, hendaklah menulisnya dengan hitam putih, tulisannya harus yang
indah, jangan dibuat terlalu kecil hurufnya, jangan terlalu rapat
baris-barisnya jangan mencampurnya degnan tulisan-tulisan yang bukan termasuk
Al-Qur’an, seperti bilangan ayat, tanda ayat sajdah, tanda sepersepuluh, tanda
waqaf, perbedaan bacaan dan makna kandungan ayat”.
Adapun membaca do’a atau kalimat lainnya
di tengah-tengah surat yasin atau surat yang lain, hukumnya sunnat apbila do’a
atau kalimat-kalimat tersebut relevan (ada keterkaitan) dengan tuntutan makna
ayat/surat yang dibaca itu. Tersebut dalam kitab Ihya’ Ulumiddin juz I hal. 279
:
وَفِيْ
أَثْنَاءِ الْقِرَاءَةِ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ تَسْبِيْحٍ سَبَّحَ وَكَبَّرَ،
وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ دُعَاءٍ وَاسْتِغْفَارٍ دَعَا وَاسْتَغْفَرَ، وَإِنْ مَرَّ
بِمَرْجُوٍّ سَأَلَ، وَإِنْ مَرَّ بِمَخُوْفٍ اسْتَعَاذَ. يَفْعَلُ ذَلِكَ
بِلِسَانِهِ أَوْ بِقَلْبِهِ.
Artinya :
“Di tengah-tengah
membaca Al-Qur’an, ketika seseorang melewati suatu ayat yang berisi mensucikan
Allah, dia bertasbih dan bertabir, ketika melewati ayat yang berisi permohonan
dan minta ampunan, dia berdo’a dan beristighfar, ketika melewati ayat yang
berisi harapan dia mengajukan permohonan dan ketika melewati ayat yang berisi
hal-hal yang menakutkan, dia memohon perlindungan. Itu semua dia lakukan dengan
ucapan lisannya atau digerakkan dalam hatinya”.
Berdo’a di tengah bacaan Al-Qur’an juga
pernah dilakukan oleh Nabi SAW. sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Imam
Nasa’ai :
عَنْ
حُذَيْفَةَ أَنَّهُ صَلَّى إِلَى جَنْبِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَرَأَ فَكَانَ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ عَذَابٍ وَقَفَ
وَتَعَوَّذَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ وَقَفَ فَدَعَا وَكَانَ يَقُولُ فِى
رُكُوعِهِ: سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ. وَفِى سُجُودِهِ: سُبْحَانَ رَبِّىَ
الأَعْلَى.
Artinya :
“Diriwayatkan dari sahabat
Hudzaifah ra. bahwa dia melakukan shalat malam di samping Rasulullah SAW.
beliau membaca surat ketika sampai pada ayat yang menerangkan adzab, beliau
berhenti dan meminta perlindungan dan ketika sampai pada ayat yang menerangkan
rahmat beliau berhenti dan berdo’a meminta rahmat, ketika ruku’ beliau membaca
Subhana Rabbiyal Adzimi, dan ketika sujud beliau membaca Subhana Rabbiyal
A’la”. (HR. Nasa’i)
HAUL
Pengertian Haul
Haul dalam pembahasan ini diartikan dengan makna setahun. Jadi peringatan
haul maksudnya ialah suatu peringatan yang diadakan setahun sekali bertepatan
dengan wafatnya seseorang yang ditokohkan oleh masyarakat, baik tokoh
perjuangan atau tokoh agama/ulama kenamaan.
Tujuan Diadakannya Peringatan
Haul
Peringatan haul ini diadakan karena adanya tujuan yang penting yaitu
mengenang jasa dan hasil perjuangan para tokoh terhadap tanah air, bangsa serta
umat dan kemajuan agama Allah, seperti peringatan haul wali songo, para haba'ib
dan ulama besar lainnya, untuk dijadikan suri tauladan oleh generasi penerus.
Rangkaian
Kegiatan yang dilaksanakan dalam Acara Haul
a. Ziarah
ke makam sang tokoh dan membaca dzikir, tahlil, kalimah thayyibah
serta membaca Al-Qur’an secara berjama’ah dan do’a bersama di makam;
b. Diadakan
majlis ta'lim, mau'idzoh hasanah dan pernbacaan biografi sang tokoh/manaqib seorang wali/ulama atau haba’ib;
c. Dihidangkan
sekedar makanan dan minuman dengan niat selamatan/shodaqoh‘anil mayit.
Hukum Mengadakan Peringatan
Haul
Selama dalam peringatan haul itu tidak ada hal yang menyimpang dari tujuan
sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi atau yang difatwakan oleh para ulama,
maka haul hukumnya jawaz (boleh). Jadi, salah besar jika ada orang
yang mengatakan bahwa secara mutlak peringatan haul itu hukumnya haram atau
mendekati syirik.
Dalil diperbolehkannya
Peringatan Haul
Berikut ini ada beberapa dalil syar’i yang berkaitan dengan masalah
peringatan haul dengan serangkaian
mata acaranya.
a. Hadits
riwayat Imam Waqidi sebagaimana yang tersebut dalam kitab Nahjul Balaghoh hal. 399
كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم يزور قتلى أحد في كل حول، وإذا لقاهم بالشعب رفع
صوته يقول : السلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار. وكان أبو بكر يفعل مثل ذلك
وكذلك عمر بن الخطاب ثم عثمان بن عفان رضي الله عنهم. [رواه الواقدي]
Artinya:
“Adalah Rasulullah SAW. berziara ke makam syuhada’ Uhud
pada setiap tahun. Dan ketika beliau sampai di lereng gunung Uhud beliau
mengucapkan dengan suara keras “semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kamu
berkat kesabaranmu, maka alngkah baiknya tempat kesudahan”. Kemudian Abu Bakar,
Umar bin Khatthab dan Utsman bin ‘Affan juga melakukan seperti tindakan Nabi
tersebut”.
b. Hadits riwayat Imam Thabrani dan Imam
Baihaqi :
ما
جلس قوم يذكرون الله تعالى فيقومون حتى يقال لهم قوموا قد غفر الله لكم ذنوبكم
وبدلت سيئاتكم حسنات. [رواه الطبراني والبيهقي]
Artinya :
“Tiada
suat kaum yang berkumpul dalam satu majelis untuk berdzikir kepada Allah
kemudian mereka bubar sehingga diundangkan kepada mereka “bubarlah kamu”,
sungguh Allah telah mengampuni dosa-dosamu dan kejahatan-kejahatanmu telah
diganti dengan kebaikan-kebaikan”. (HR. Thabarani dan Baihaqi)
c. Hadits riwayat Imam Dailami :
ذكر
الأنبياء من العبادة وذكر الصالحين كفارة، وذكر الموت صدقة، وذكر القبر يقربكم إلى
الجنة. [رواه الديلمي] اهـ الجامع الصغير : 158
Artinya :
“Menyebut-nyebut
para Nabi itu termasuk ibadah, menyebut-nyebut para shalihin itu bisa menghapus
dosa, mengingat kematian itu pahalanya seperti bersedekah dan mengingat alam
kuburitu bisa mendekatkan kamu dari surga”. (HR. Dailami)
d. Fatwa Ulama (Syaikh Abdur Rahman
al-Jaziri) dalam kitabnya al-fiqih
ala madzahibil arba’ah :
وينبغي
للزائرالاشتغال بالدعاء والتضرع والاعتبار بالموتى وقراءة القرآن للميت، فإن ذلك
ينفع الميت على الأصح. اهـ [الفقه على مذاهب الأربعة 1/540]
Artinya :
“Sangat
dianjurkan bagi orang yang berziarah kubur untuk bersungguh-sungguh mendo’akan
kepada mayit dan membaca Al-Qur’an untuk mayit, karena semua itu pahalanya akam
bermanfaat bagi mayit. Demikian itu menurut pendapat ulama yang paling shahih”.
Memang begitulah doktrin
Ahlussunnah wal Jamaah tentang ziarah kubur dan haul. Kedua-keduanya merupakan
salah satu dari sekian banyak cabang amalan qurbah yang dianjurkan dalam agama. Namun
dibalik itu ada hal yang patut disayangkan karena di dalam pelaksanaannya
sering terjadi kemaksiatan yang sangat mencolok yang dilakukan oleh warga kita
sewaktu menghadiri acara tadi, yakni berbaurnya kaum laki-laki dan perempuan
dalam satu tempat : di sarean sewaktu mereka berziarah kubur, berjubel-jubel
dalam satu ruangan sewaku hadir pada acara haul atau berjejal-jejal dalam satu
kendaraan (truk) yang mengangkat sewaktu mereka berangkat dan pulang dari
tempat acra dll.
Maka alangkah bijaknya
jika masing-masing oknum, baik panitian atau warga yang hadir mau memperhatikan
fatwa ulama klasik yang menaruh rasa sayang kepada umat dengan maksud agar
amaliyah mereka ini tidak tercemar dengan noda-noda kemaksiatan.
Tersebut dalam kitab
Al-Fatawil Kubro juz II hal 24 :
(وسئل) رضي الله عنه عن زيارة قبور الأولياء في زمن معين مع الرحلة
إليها هل يجوز مع أنه يجتمع عند تلك القبور مفاسد كثيرة كاختلاط النساء بالرجال
وإسراج السرج الكثيرة وغير ذلك (فأجاب) بقوله : زيارة قبور الأولياء قربة مستحبة
... إلى أن قال : وما أشار إليه السائل من تلك البدع أوالمحرمات، القربات لا تترك
لمثل ذلك بل على الإنسان فعلها وإنكار البدع بل وإزالتها إن أمكنه. وقد ذكر
الفقهاء في الطواف المندوب فضلا عن الواجب أنه يفعل ولو مع وجود النساء وكذا
الرمل، لكن أمروه بالبعد عنهن وينهى عما يراه محرما، بل ويزيله إن قدر كما مر. اهـ
Artinya :
“Syaikh Ibnu Hajar ditanya tentang
ziarah kubur para wali pada saat tertentu dan menuju ke kuburan itu, apakah itu
diperbolehkan, sedangkan di situ terjadi banyak mafsadah/kemaksiatan, seperti
berbaurnya kaum laki-laki dan perempuan, menyalakan lampu dalam jumlah yang
banyak dan lain sebaigainya. Beliau menjawab : ziarah kubur para wali adalah
suatu amal kebaikan yang dianjurkan ….. sampai kata-kata kiyai mushonnif : apa
yang diisyaratkan oleh si penanya berupa tindakan bid’ah atau hal-hal yang
diharamkan, jangan menjadi sebab ditinggalkannya kebaikan tersebut. Bagi
seseorang tetaplah melakukannya dan ingkar/benci terhadap pelanggaran dan
menghilangkannya, kalau memang memungkinkan. Para
fuqaha’ menyebutkan mengenai thawaf sunat apalagi thawaf wajib agar dilakukan
walaupun di situ ada banyak perempuan demikian pula lari-lari kecil. Namun
mereka memerintahkan agar menjauh dari para perempauan tersebut. Demikian pula
ziarah kubur tetap dilakukan akan tetapi jauhilah (berdesak-desakan dengan)
kaum wanita dan cegahlah dan kalau bisa hilangkanlah hal-hal yang diharamkan
seperti keterangan yang telah lewat.
ZIARAH KUBUR
Di antara masalah furu’iyah yang diungkit-ungkit oleh kaum Wahabi adalah
masalah ziarah kubur. Memang amaliyah warga kita yang satu ini mereka gunakan
untuk menyerang kaum Ahlussunnah wal Jamaah dengan tuduhan-tuduhan yang lain.
Itu dulu, adapun sekarang apa yang mereka tuduhkan sudah berbalik arah, artinya
umat memahami bahwa ziarah kubur itu bukan bid’ah dlalalah karena mereka (umat)
telah benar-benar mendapat tuntunan dalam beragama sehingga mereka yakin bahwa
amaliyahnya itu baik dan benar.
Pengertian Ziarah Kubur
Ziarah kubur ialah
berkunjung ke makam/pesarean orang Islam yang sudah wafat, baik orang muslim biasa, orang shalih, ulama, wali atau
Nabi.
Hukum Ziarah Kubur
Ulama Ahlussunnah sepakat
bahwa hukum ziarah kubur bagi kaum laki-laki itu hukumnya sunat secara mutlak,
baik yang diziarahi itu kuburnya orang Islam biasa, kuburnya para wali, orang
shalih atau kuburnya Nabi.
Sedangkan hukum ziarah kubur
bagi kaum perempuan yang telah mendapat izin dari suaminya atau walinya, para ulama mantafsil sebagai berikut :
1. Jika ziarahnya tidak menimbulkan hal
yang terlarang dan yang diziarahi itu kuburnya Nabi, wali, ulama dan orang
shalih, maka hukumnya sunat;
2. Jika ziarahnya tidak menimbulkan hal
yang terlarang dan yang diziarahi itu kuburnya orang biasa, maka sebagian ulama
mengatakan boleh, sebagian lagi mengatakan makruh.
3. Jika ziarahnya menimbulkan hal yang
terlarang, maka hukumnya haram.
Dasar Hukum Ziarah Kubur
a. Had its Nabi SAW.
كنت
نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزورها فإنها ترق القلب وتدمع العين وتذكر الآخرة، ولا
تقولوا هجرا. [رواه الحاكم]
Artinya :
“Aku
(Nabi) dulu melarang kamu ziarah kubur, maka sekarang berziarahkuburlah kamu,
karena ziarah kubur itu bisa melunakkan hati, bisa menjadikan air mata
bercucuran dan mengingatkan adanya alam akhirat, dan janganlah kamu berkata
buruk”. (HR. Hakim)
b. Hadits Nabi SAW.
عن عائشة رضي الله عنها قالت : كان
النبي صلى الله عليه وسلم كلما كانت ليلتها يخرج من آخر الليل إلى البقيع فيقول :
السلام عليكم دار قوم مؤمنين وأتاكم ما توعدون غدا مؤجلون وإنا إن شاء الله بكم
لاحقون، اللهم اغفر لأهل بقيع الغقد. [رواه مسلم]
Artinya :
“Dari
A’isyah ra. ia berkata : “adalah
Nabi SAW. ketika sampai giliran beliau padanya (A’isyah) beliau keluar pada
akhir malam hari itu ke kuburan Baqi’ seraya berkata :“Assalamu’alaikum hai tempat
bersemayam kaum mukminin. Akan datang kepada kamu janji Tuhan yang ditangguhkan
itu besok, dan kami Insya Allah akan menyusul kamu. Hai Tuhan ampunilah ahli
Baqi’ al-Gharqad”. (HR. Muslim)
c. Fatwa Syaikh Amin al-Kurdi dalam
kitabnya Tanwirul Qulub :
تسن زيارة قبور المسلمين للرجال لأجل تذكر
الموت والآخرة وإصلاح فساد القلب ونفع الميت بما يتلى عنده من القرآن لخبر مسلم :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزورها. ولقوله عليه الصلاة والسلام : اطلع في القبور
واعتبر في النشور. رواه البيهقي خصوصا قبور الأنبياء والأولياء وأهل الصلاح. وتكره
من النساء لجزعنهن وقلة صبرهن، ومحل الكراهة إن لم يشتمل اجتماعهن على محرم وإلا
حرم، ويندب لهن زيارة قبره صلى الله عليه وسلم وكذا سائر الأنبياء والعلماء
والأولياء. اهـ [تنوير القلوب : 216]
Artinya :
“Disunatkan
bagi kaum laki-laki berziarah kuburnya orang-orang Islam untuk mengingat
datangnya kematian dan adanya alam akhirat, serta memperbaiki hati yang buruk
dan memberi manfaat kepada mayit dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an di tempat
yang dekat dengannya, karena ada hadits riwayat Muslim yang artinya : “Aku
(Nabi) dulu melarang kamu berziarahkubur, maka sekarang berziarahkuburlah
kamu”. Dan juga sabda Nabi yang artinya : “Berziarahlah kubur kamu dan ambillah
tauladan tentang adanya hari kebangkitan”. (HR. Muslism). Khususnya kuburan para
Nabi, para wali dan orang-orang shalih. Sedangkan bagi kamu wanita ziarah kubur
hukumnya makruh, karena mereka mudah meratap dan sedikit yang sabar. Makruh
bagi wanita tersebut apabila ziarah mereka itu tidak mengandung hal-hal yang
diharamkan, kalau mengandung hal-hal yang diharamkan, maka ziarah mereka
hukumnya haram. Bagi wanita berziarah kubur ke makam Nabi Muhammad SAW. dan
juga nabi-nabi yang lain demikian pula makam para ulama dan para wali hukumnya
sunat”.
d. Fatwa Syaikh Ali Ma’shum dalam kitabnya
“Hujjatu Ahlissunnah” bab ziarah kubur :
واختلف في زيارة النساء للقبور، فقال
جماعة من أهل العلم بكراهيتها كراهة تحريم أو تنزيه لحديث أبي هريرة أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم لعن زوارات القبور. رواه أحمد وابن ماجه والترمذي. وذهب
الأكثرون إلى الجواز إذا أمنت الفتنة، واستدلوا بما رواه مسلم عن عائشة قالت : كيف
أقول يا رسول الله إذا زرت القبور؟ قولي : السلام عليكم أهل ديار المسلمين. اهـ
[حجة أهل السنة للشيخ على معصوم : 58]
Artinya:
"Para
ulama berselisih
pendapat mengenai kaum wanita berziarah kubur, Segolongan
ulama mengatakan makruh tahrim atau tanzih, karena ada Hadits riwayat Abu
Hurairah bahwa Rusulullah SAW. mengutuk wanita-wanita yang berziarah kubur. (HR. Ibun Majah dan Tirmidzi). Sementara mayoritas ulama mengatakan boleh, apabila terjamin keamanannya
dari fitnah, Dalilnya yaitu hadits riwayat Muslim dari Siti
A’isyah ra dia berkata : apa yang say abaca ketika ziarah kubur, hai rasul?
Rasul bersabda : bacalah Assalamu’alaikum Ahla Diyaril Muslimin”.
Hikmah Ziarah Kubur
Ada
sebagian orang mengatakan “buat apa kita susah-susah datang ke kuburan untuk
menziarahi makam seseorang, toh ! berdo’a di rumah saja sudah cukup, sehingga saat-saat yang penting
tidak kita tinggalkan untuk berziarah saja.
Perkataan ini sepintas kilas
memang seakan-akann benar, tapi orang yang borkata tadi rupa-rupanya lupa
bahwa ziarah kubur itu mengandung banyak hikmah bagi orang yang berziarah dan
mayit yang
diziarahi.
Hikma-hikmah
itu antara lain:
a. Mengingatkan orang yang masih hidup di
dunia ini akan datangnya kematian yang sewaktu-waktu pasti tiba pada
saatnya;
b. Mernpertebal keimanan terhadap adanya
alam akhirat, sehingga orang itu meningkat ketaqwaannya kepada Allah SWT.;
c. Memperba'iki hati yang buruk/mental
yang rusak, sehingga pada akhirnya nanti orang itu sadar akan perlunya
mempererat hablum
minallah dan hablum minannas.
minallah dan hablum minannas.
d. Memberi manfaat kepada mayit secara
khusus dan ahli kubur secara umum berupa pahala dari bacaan Al-Qur’an, kalimah
Thoyyibah, Istighfar, shalawat Nabi dan lain-lain.
Adab Kesopanan Berziarah Kubur
Pada saat berziarah kubur, sebaiknya kita
melakukan adab kesopanan sebagai berikut:
a. Pilihlah
saat-saat yang afdlol, misalnya pada hari Jum’at, pada hari
raya dan lain-lain;
b. Bacalah
salam ketika masuk pintu pekuburan untuk para ahli kubur secara umum dan untuk
mayit yang diziarahi secara khusus;
c. Bacalah
surat Yasin atau ayat Al-Qur’an yang lain, kalimah thoyyibah serta do’a semoga
Allah SWT. menerima amal shalih si mayit dan mengampuni dosa-dosanya;
d. Mengambil
pelajaran, bahwa kita akan mengalami seperti apa yang dialami oleh mayit yang
kita ziarahi (masuk ke dalam liang kubur, berada di alam barzah sampai datang
hari kiamat nanti).
BERSHODAQOH DAN
TAHLIL UNTUK MAYIT
Pengertian Shodaqoh untuk
Mayit
Shodaqoh untuk mayit adalah
suatu istilah yang disebut juga oleh orang jawa“selametan’, yaitu dengan
cara menghidangkan makanan dan minuman dengan niat bersedekah yang lazimnya
dikaitkan dengan pembacaan tahlil setelah wafatnya seseorang.
Pengertian Bertahlil/Tahlilan
Bertahlil atau dalam bahasa
Iawa disebut tahlilan,
pada hakekatnya adalah pembacaan kalimat thayyibah, tasbih, tahmid, istighfar,
sebagian ayat-ayat Al-Qur'an dan shalawat Nabi yang
kemudian
diakhiri dengan do’a/permohonan ke hadirat Allah SWT. agar semua
amalan/bacaan kita tersebut diterima di
sisiNya, kemudian Allah berkenan melimpahkan pahala dari amalan-amalan tersebut kepada mayit yang kita tahlilkan.
sisiNya, kemudian Allah berkenan melimpahkan pahala dari amalan-amalan tersebut kepada mayit yang kita tahlilkan.
Bermanfaatkah Pahala Sedekah atau Tahlil/ Do'a bagi Si
Mayit?
Jika ada orang bertanya : Mungkinkah
sedekah dan bacaan tahlil/do’a itu bermanfaat untuk mayit? padahal Allah telah
berfirman :
br&ur }§ø©9 Ç`»|¡SM~Ï9 wÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ
Artinya:
“Dan bahwasanya manusia tidak akan mendapatkan pahala
melainkan dari usaha yang telah dikerjakan”. (QS. An-Najm : 39)
Kalau sudah jelas demikian masalahnya, mengapa kita masih juga bersedekah
atau bertahlil untuk orang yang mati? toh ... hanya sia-sia amalan kita
tersebut?
Maka untuk menjawab pertanyaan itu, mari bersama-sama kita kaji keterangan
di bawah ini, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, al-Hadits atau
fatwa ulama.
a. Firman
Allah SWT.
úïÏ%©!$#ur râä!%y` .`ÏB öNÏdÏ÷èt/ cqä9qà)t $uZ/u öÏÿøî$# $oYs9 $oYÏRºuq÷z\}ur úïÏ%©!$# $tRqà)t7y Ç`»yJM}$$Î/
Artinya :
“Dan orang-orang yang
datang sesudah mereka berkata : “Hai Tuhan kami, beri ampulah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami”. (QS.
Al-Hasyr : 10)
b.
Firman Allah SWT.
öÏÿøótGó$#ur Î7/Rs%Î! tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur 3
ª!$#ur ãNn=÷èt öNä3t7¯=s)tGãB ö/ä31uq÷WtBur ÇÊÒÈ
Artinya :
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan
bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”. (QS.
Muhammad : 19)
c.
Firman Allah SWT.
Éb>§ öÏÿøî$# Í< £t$Î!ºuqÏ9ur `yJÏ9ur @yzy _ÉLøt/ $YZÏB÷sãB tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur wur ÏÌs? tûüÏHÍ>»©à9$# wÎ) #I$t7s? ÇËÑÈ
Artinya :
“Ya Tuhanku! ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku
dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan”. (QS. Nuh
: 28)
Ketiga ayat di atas, jelas menunjukkan bahwa do'a dan
istighfar dari seorang yang masih hidup dapat berguna untuk orang yang telah
mati dari kalangan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.
d. Hadits Nabi
SAW.
عن عائشة رضي الله عنها قالت أن رجلا قال
للنبي صلى الله عليه وسلم : إن أمي أقتتلت نفسها وأراها لو تكلمت تصدقت، فهل لها
من أجر إن تصدقت عنها؟ قال : نعم. [متفق عليه]
Artinya :
“Dari
A’isyah ra. bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW. bahwasanya ibuku
telah mati secara mendadak, dan saya mengira andaikan dia sempai berbicara
(sebelum mati) pasti dia bersedekah. Adakah dia memperoleh pahala andaikan saya
bcrsedekahuntuknya? Jawab beliau : ya”. (Muttafaq Alaih)
e. Syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’roni memberikan
keterangan dalam kitabnya Mizan Kubra :
واتفقوا على أن الاستغفار للميت والدعاء له
والصدقة والعتق والحج عنه ينفعه. فهذا ما وجدته من مسائل الاجتماع واتفاق الأئمة
الأربعة. اهـ [الميزان الكبرى 1/218]
Artinya:
“Dan teluh sepakat para ulama bahwa bacaan
istighfar dan do’a untuk mayit,
sedekah, memerdekakan budak, menghajikannya,
semua dapat bermanfaat untuknya. Demikianlah
yang saya temukan di antara masalah-masalah hukum yang telah disepakati oleh
para imam madzhab yang empat”.
Dalil seperti di atas itulah yang dijadikan
rujukan/referensi oleh kaum Ahlussunnah wal Jamaah untuk keyakinan mereka bahwa
menghadiahkan paha bacaan Al-Qur’an, dzikir, shalawat, atau sedekah itu bisa
sampai dan bermanfaat bagi mayit. Dan semua hal tersebut sudah barang tentu
atas izin Allah SWT.
Adapun ketentuan hukum yang ada pada ayat 39 An-Najm
tersebut adalah berlaku bagi umat Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Sedangkan bagi
umat Muhammad, mereka bisa mendapat pahala dari amalnya sendiri dan bisa juga
mendapat pahala dari amal orang lain. Hal
ini sesuai dengan bunyi ayat sebelumnya :
÷Pr& öNs9 ù'¬6t^ã $yJÎ/ Îû É#ßsß¹ 4ÓyqãB ÇÌÏÈ zOÏdºtö/Î)ur Ï%©!$# #®ûur ÇÌÐÈ wr& âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& ÇÌÑÈ br&ur }§ø©9 Ç`»|¡SM~Ï9 wÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ
Artinya :
“Apakah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa? Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang
selalu menyempurnakan janji? (yaitu)
bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS. An-Najm : 36-39)
Pemahaman
yang demikian ini sesuai dengan keterangan dalam kitab tafsir Khozin juz IV
hal. 268 :
كان ذلك لقوم إبراهيم وموسى، فأما هذه الأمة
فلهم ما سعوا وما سعى لهم غيرهم. اهـ [تفسير خازن 6/268]
Artinya :
“Adapun
yang demikian itu adalah bagi kaum Ibrahim dan kaum Musa. Sedangkan untuk umat
ini (umat Muhammad SAW), maka mereka dapat memperoleh pahala dari perbuatannya
sendiri dan pahala dari amal kebajikan orang lain”.
Ada
juga penafsiran versi lain mengenai ayat 39 surat an-Najm tadi, yaitu menurut as-Syaikh
Ibnul Qoyyim al-Jauziyah yang dikutip dan diterjemahkan oleh al-Mukarrom KH.
Muhyiddin Abd. Shomad dalam bukunya Hujjah NU hal 85, sebagai berikut :
“Jawaban yang baik tentang ayat ini, bahwa
menusia dengan amalnya sendiri dan juga karena pergaulannya sendiri dan juga
karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak
teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta menyintai
sesama. Maka semua teman, keturunannya dan keluarganya tentu akan menyayanginya
kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika telah meninggal dunia). Maka
hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri”.
Berdasarkan keterangan yang
akurat dari beberapa dalil syar’i di atas, warga kita pasti bisa menjawab
pertanyaan dari si penanya dengan jawaban tegas bahwa :
1. Menghadiahkan pahala amal kebaikan
kepada ahli kubur yang sama-sama muslim, baik ada hubungan kekerabatan atau
tidak antara yang menghadiahkan dengan si mayit yang di hadiahi, itu menurut
doktrin Ahlussunnah wal Jamaah bisa sampai pada mayit tadi;
2. Ukhuwwah
Islamiyah itu tidak terputus karena kematian. Oleh karenanya menolong ahli
kubur dengan do’a yang diwujudkan dalam bentuk tahlilan dan sebagainya itu akan
manfaat bagi mereka.
TALQIN MAYIT
Sebetulnya masalah TALQIN
dengan segala macam persoalannya itu sudah dikupas oleh para ulama mutaqaddimin
atau ulama mutaakhirin dalam berberapa kitab/karya tulisnya dan selalu
diamalkan oleh kaum Ahlussunnah wal Jamaah secara turun temurun.
Akan tetapi amaliyah warga kita tadi menjadi terancam kelangsungannya sejak
munculnya gerakan yang dimotori oleh kaum wahabi yang sangat berlebihan dalam
usaha memurnikan ajaran Islam, sampai-sampai mereka itu melarang amalan-amalan
umat Islam yang bersifatfuru’iyah, misalnya : tahlilan, bancakan, dan talqin untuk mayit.
Di bawah ini uraian yang sebenarnya tentang Talqin menurut Ahlussunnah wal
Jamaah.
Pengertian Talqin
Menurut bahasa, talqin artinya : mengajar, memahamkan secara lisan.
Sedangkan menurut istilah, talqin adalah : mengajar dan mengingatkan kembali kepada orang yang sedang naza’
atau kepada mayit yang baru saja dikubur dengan kalimah-kalimah tertentu.
Hukum Talqin
Orang dewasa atau anak yang sudah mumayyiz yang sedang naza’ (mendekati kematian)
itu sunat ditalqin dengan kalimat syahadat, yakni kalimat laa
ilaaha illallah. Dan sunat pula mentalqin mayit yang baru dikubur, walaupun
orang itu mati syahid,apabila meninggalnya sudah baligh, atau orang gila yang sudah pernah mukallaf sebelum dia
gila.
Mungkinkah Mayit yang Sudah
dikubur Bisa Mendengar Ucapan Orang yang Mentalqin?
Di Indonesia memang ada sebagian umat Islam yang tidak setuju mayit
ditalqin. Alasan mereka, menurut akal kita mayit yang sudah ada di kuburan itu
tidak mampu lagi mendengarkan ucapan orang yang ada di alam dunia. Mereka mengemumakan dalil dari Al-Qur'an :
y7¨RÎ) w ßìÏJó¡è@ 4tAöqyJø9$# wur ßìÏJó¡è@ §MÁ9$# uä!%tæ$!$# #sÎ) (#öq©9ur tûïÌÎ/ôãB ÇÑÉÈ
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar” (QS. An-Naml : 80)
$tBur ÈqtGó¡o âä!$uômF{$# wur ÝVºuqøBF{$# 4
¨bÎ) ©!$# ßìÏJó¡ç `tB âä!$t±o (
!$tBur |MRr& 8ìÏJó¡ßJÎ/ `¨B Îû Íqç7à)ø9$# ÇËËÈ
Artinya :
“Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang
didalam kubur dapat mendengar”(QS. Fathir : 22)
Kepada
mereka perlu kita beri pengertian mengenai hal yang berkenaan dengan masalah
Talqin.
a. Di dalam ajaran Islam itu ada hal-hal yang berdasarkan tauqifi (petunjuk dari Nabi). Artinya walau pun secara rasional hal itu tidak mungkin terjadi, namun karena Nabi SAW. memberi
petunjuk bahwa hal tersebut bisa terjadi, maka kita wajib menerimanya.
وكل ما أتى به الرسول
فحقه التسليم والقبول
[عقيدة العوام للشيخ أحمد المرزوقي]
Artinya :
“Semua hal/ajaran yang
dibawa Rasulullah SAW. maka hal itu harus dibenarkan dan diterima”.
b. Kedua
ayat yang meraka kemukakan, itu tidak menerangkan tentang larangan talqin mayit,
akan tetapi berisi keterangan bahwa orang kafir itu telinga hatinya sudah mati,
berpaling/tidak menerima apa-apa yang didakwahkan oleh Nabi kepada mereka.
Uraian ini sesuai dengan keterangan yang ada dalam
kitab Tafsir Munir :
قوله تعالى : إنك لا تسمع الموتى ولا تسمع
الصم الدعاء إذا ولوا مدبرين أي أنهم لفرط إعراضهم عما يدعون إليه كالميت الذي لا
سبيل إلى إسماعه. اهـ [تفسير منير 2/133]
Artinya :
“Firman Allah yang artinya : “sesungguhnya kamu tidak dapat
menjadikam orang-orang yang mati mendengar dan tidak pula menjadikan orang yang
tuli mendenganr panggilan, apabila mereka telah berpaling” jelasnya karena kaum kuffar sudah
berpaling dari apa yang didakwahkan kepada mereka, maka mereka itu seperti
orang yang sudah mati”.
قوله : وما أنت بمسمع من في القبور أي وما
أنت يا أشرف الخلق بمفهم من هو مثل الميت الذي في القبور. اهـ [تفسير منير 2/202]
Artinya:
“Firman Allah yang artinya : “dan kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikau orang yang di alam kubur dapat mendengar” jelasnya : hai Muhanunad, makhluk yang paling mulia, kamu tidak bisa memberi pengertian kepada orang yang seperti mayit yang ada dalam kubur”.
Dengan kata lain, Nabi
Muhammad SAW. tidak
dapat memberi petunjuk kepada orang-orang musyrikin yang telah mati hatinya.
Dalil-Dalil Tentang
Disunatkannya Talqin
a. Dalil
tentang disunatkannya mentalqin kepada seseorang yang sedang naza’ adalah
hadits Nabi SAW. seperti yang ditulis oleh sayyid Bakri dalam kitab I’anatut
Thalibin juz II hal. 138 :
ويندب أن يلقن محتضر ولو مميزا على الأوجه
الشهادة أي لا إله إلا الله فقط لخبر مسلم : لقنوا موتاكم أي من حضره الموت لا إله
إلا الله، مع الخبر الصحيح : من كان أخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة أي مع
الفائزين. اهـ
Artinya :
“Disunatkan
mentalqin orang yang akan meninggal walaupun masih mumayyiz menurut pendapat
yang kuat dengan
kalimat syahadat, karena
ada hadits Nabi riwayat Imam Muslim “talqinlah orang Islam di antara kamu yang
akan meninggal dunia dengan kalimah La Ilaha Illallah” dan hadits shahih “Barang
siapa yang paling akhir pembicaraannya itu La Ilaha Illallah, maka dia masuk
surga”, yakni bersama orang-orang yang beruntung”.
b. Sedangkan dalil disunatkannya talqin
mayit yang baru dikubur adalah :
Firman Allah, seperti keterangan dalam
kitab I’anatut Thalibin juz II hal. 140
وتلقين بالغ ولو شهيدا بعد تمام دفن (قوله
وتلقين بالغ) وذلك لقوله تعالى وذكر فإن الذكرى تنفنع المؤمنين [الذاريات : 55]
وأحوج ما يكون العبد إلى التذكير في هذه الحالة. اهـ
Artinya:
“Disunatkan mentalqin mayit yang sudah dewasa walaupun mati syahid
setelah sempurna penguburannya. Hal yang demikian ini karena firman Allah :
“dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat
bagi orang-orang yang beriman” (QS. Ad-Dzariyat : 55). Dan seorang hamba sangat
membutuhkan peringatan adalah saat-saat seperti ini”.
Hadits riwayat Thabarani :
إذا مات أحد من إخوانكم فسويتم التراب على
قبره فليقم أحد على رأس قبره ثم ليقل يا فلان ابن فلانة فإنه يسمعه ثم يقول يا
فلان ابن فلانة فإنه يستوي قاعدا ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يقول أرشدنا
يرحمك الله ولكن لا تشعرون. فليقل اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله
إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله وإنك رضيت بالله وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا
وبالقرآن إماما. فإن منكرا ونكيرا ياخذ كل واحد منهما بيد صاحبه. اهـ
Artinya :
“Apabila
salah seorang di antara saudaramu telah meninggal dan penguburannya telah
kamu sempurnakan (ditutup dengan tanah), maka berdirilah salah seorang di
penghujung kuburnya, dan berkatalah : “hai fulan bin fulanah” maka dia bisa
mendengarnya. Kemudian berkatalah “hai fulan bin fulanah” maka dia duduk dengan
tegak. Berkatalah lagi “hai fulan bin fulanah” maka dia berkata “berilah saya
petunjuk, semoga Allah memberi rahmat kepadamu”. Akan tetapi kamu sekalian
tidak mengerti. Seterusnya katakanlah kepadanya “ingatlah apa yang kamu pegangi
sewaktu keluar dari alam dunia, yakni bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, dan bahwa kamu rela
Allah sebagai Tuhan kamu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabi mu dan
Al-Qur’an sebagai imam mu. Maka sesungguhnya malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan
tangan mereka berdua”.
Hadits riwayat Thabarani seandainya
sanadnya dho’if ,tetapi menurut
ittifaqnya ulama’ ahli hadits masih ditolerir sekedar dipakai untuk melakukan
kebaikan (fadhoilul a’mal) karena secara umum tidak ada larangan.
Hadits
Nabi sebagaimana yang diterangkan dalam kitab I’anatut
Thalibin :
يندب التلقين بعد تمام دفنه لخبر : العبد
إذا وضع في قبره وتولى وذهب أصحابه حتى أنه يسمع قرع نعالهم أتاه ملكان. الحديث
اهـ [إعانة الطالبين 2/140]
Artinya :
“Disunatkan
mentalqin mayit setelah sempurna penguburannya, karena ada hadits : “Ketika
mayit telah ditempatkan di kuburnya dan teman-temannya sudah pergi
meninggalkannya sehingga dia mendengar suara sepatu mereka, maka datanglah dua
malaikat kepadanya”.
Dari keterangan ayat dan hadits Nabi tersebut, kita bisa menyimpulkan :
1. Talqin setelah mayit dikubur itu
bermanfaat
bagi si mayit.
bagi si mayit.
2. Mayit
yang ada dalam kubur bisa mendengar ucapan orang atau suara-suara yang ada di
alam dunia ini.
3. Karena
jelas ada dalil yang menganjurkan, maka hukum talqin adalah sunat tidak bid’ah dan tidak dilarang seperti apa yang dituduhkan oleh kaum wahabi.
KH. Ali Maksum dalam kitabnya Hujjah Ahli Sunnah
hal 20 menukil fatwa Ibnu Taimiyah: Talkin ini (talkin mayit setelah dikubur)
telah teriwayatkan dari sebagian sahabat, bahwa mereka memerintahkan talkin,
seperti Abi Umamah al-Bahili dan lainnya. dan dalam hal ini diriwayatkan hadis
dari Nabi Muhmmad Saw akan tetapi tidak mencapai derajat sahih dan tidak
banyak sahabat yang melakukannya. Imam Ahmad bin Hanbal dan ulama lain berkata:
“talkin tidaklah mengapa di lakukan.” Maka dalam hal ini para ulama memaklumi
adanya dan tidak memerintahkannya, sebagian ulama mengkategorikan sunnah yakni
dari mazhab Syafii dan Hanbali, sebagian ulama memakruhkannya yakni dari mazhab
Maliki.
Hadis tersebut adalah: Abu Umamah berkata: “jika aku mati maka lakukanlah
untukku sebagaimana Rasulullah Saw melakukan terhadap orang-orang mati.
Rasulullah Saw memerintahkan sembari bersabda: “ketika salah satu diantara kamu
meninggal maka ratakanlah makamnya, dan salah satu diantara kalian berdirilah
diujung kuburnya dan ucapkan: ya fulan bin fulanah, sesungguhnya ia mendengar
namun tidak menjawab. Kemudian ucapkanlah, ya Fulan bin bin fulanah
sesungguhnya ia duduk............. (sampai akhir hadis).”
Imam As-Syaukani berkata: Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya
At-Talhis: hadis ini sanadnya bagus.
KH. Ali Maksum menambahkan: talkin hanyalah polemik (khilafiyah) fikhiyyah
yang tidak perlu dipanjang lebarkan perdebatannya.
C.TAWASUL
Prof. DR Sayyid Muhammad Alawi menguraikan hakikat
Tasawul dalam kitab beliau Mafahim Yajib an-Tusahah sebagai
berikut:
Pertama: Tawasul adalah salah satu sarana dalam berdoa dan pendekatan diri
kepada Allah, dan hanya sebatas sarana dan perantara karena tujuan berdoa hanya
satu yaitu Allah.
Kedua: Seorang yang bertawasul tidaklah melakukan tawasul kecuali sebatas
cinta kepada figur yang digunakan sebagai wasilah, dan keyainannya bahwa Allah
mencintai figur tersebut (Nabi, Wali, Ulama).
Ketiga: Seorang yang bertawasul jika sampai meyakini bahwa figur yang
dijadikan wasilah (Nabi, Wali, Ulama) adalah yang memberi manfaat dan madharat
maka ia telah terjerumus dalam kemusyrikan.
Keempat: Tawasul bukanlah sebuah kelaziman atau “syarat wajib berdoa”dan terkabulnya
doa tidaklah tergantung pada tawasul, namun doalah yang memiliki kekuatan
terkabul dan tidaknya sebagaimana firman Allah :
#sÎ)ur y7s9r'y Ï$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=Ìs% (
Ü=Å_é& nouqôãy Æí#¤$!$# #sÎ) Èb$tãy (
(#qç6ÉftGó¡uù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 crßä©öt ÇÊÑÏÈ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al-Baqarah 186)
Adapun tawasul dengan amal kebaikan seperti puasa, shalat maka tidaklah ada
pertentangan (baik sunni maupun wahabi) sebagaimana hadis yang meriwayatkan 3
orang terjebak dalam gua yang pertama tawasul dengan birulwalidain,
kedua dengan menjauhi zina ketiga dengan amanah menjaga harta orang lain.
Namun pertentangan timbul mengenai tawasul dengan seseorang, sebagian
golongan (wahabi) melarang kita bertawasul kepada figur, namun jika kita kaji
lebih dalam maka akan kita temukan titik persamaan antara tawasul dengan amal
dan tawasul dengan figur dengan logika demikian:
Ketika kita tawasul kepada Syaikh Abdul Qadir, pendorong untuk tawasul
adalah kecintaan kita kepada Syaikh Abdul Qadir dan keyakinan kita terhadap
keilmuan, kewalian dan kecintaannya kepada Allah, dan kecintaan Allah
kepadanya. Dan cinta kita kepada Syaikh Abdul Qadir adalah “amal saleh” karena
cinta kepada ulama adalah diperintahkan, yang berhak kita jadikan wasilah.
Sehingga dalam bertawasul hakikatnya kita mengucapkan: Ya Allah, hamba
mencintai Syaikh Abdul Qadir, hamba meyakini ia mencintai-Mu dengan ikhlas, dan
hamba yakin Engkau mencintainya, maka hamba bertawasul kepada-Mu dengan cinta
hamba pada Syaikh Abdul Qadir agar Engkau mengabulkan hajat hamba......”
Allah berfirman:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#þqäótGö/$#ur Ïmøs9Î) s's#Åuqø9$# (#rßÎg»y_ur Îû ¾Ï&Î#Î6y öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÌÎÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah 35).
Kata wasilah (jalan mendekatkan diri) adalah kata umum yang mencakup
amal saleh, figur Nabi, ulama, wali baik masih hidup ataupun sudah wafat.
Imam Hakim dalam Al-Mustadrak meriwayatkan dari Zaid bin
Aslam dari Kakeknya Umar berkata: “Nabi bersabda: ketika Adam mengakui
kesalahannya, ia berkata: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu demi nama Muhammad
agar Engkau mengampuniku. Allah menjawab: hai Adam, bagaimana engkau tahu
Muhammad sedang aku belum menciptanya. Adam berkata: ya Allah, ketika Engkau
menciptakkanku dengan kekuasaan-Mu dan kau meniupkan padaku ruh, maka aku
menengadahkan kepalaku dan aku melihat tertulis pada tiang-tiang Arsy: tidak
ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, maka aku tahu bahwa
tidaklah engkau sandarkan pada Asma-Mu kecuali makhluk yang paling engkau
cintai. Allah menjawab: benar kau Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling
aku cintai, berdoalah atas namanya sungguh aku memaafkanmu, jika tidak
karena Muhammad tidaklah aku menciptakanmu.”
Diriwayatkan dari Usman bin Hanif berkata: “aku mendengar Nabi bersabda,
ketika seorang laki-laki buta mengeluhkan hilangnya penglihatannya dan berkata:
wahai Rasulullah aku tidak memiliki seorang yang menuntunku dan aku merasa
kepayahan. Nabi bersabda: “pergilah ketempat wudhu dan berwudhulah, kemudian
pergilah ke masjid dan shalatlah dua rakaat kemudian ucapkan: ya Allah, aku
memohon kepada-Mu dan aku menghadap-Mu dengan nama Nabi-Mu Muhammad Saw, Nabi
Rahmat, wahai Muhammad aku menghadap atas namamu kepada Tuhanmu agar Allah
mengembalikan penglihatanku, ya Allah limpahkanlah syafaat kepada Muhammad
untuk ku, dan syafatilah aku.” Usman berkata: demi Allah kami tidak berpisah
dan tidak memanjangkan percakapan sampai laki-laki itu masuk seolah tidak lagi
buta.
D.TABARUK
Berkah secara bahasa berarti “penambahan kebaikan,” sebagaimana tawasul, tabaruk
hanyalah sebuah sarana. Berkah dari nabi, wali, ulama, tempat suci, benda-benda
suci tertentu adalah sebatas keyakinan kita bahwa nabi, wali dan ulama adalah
orang yang dipilih Allah sebagai makhluk yang dekat dengan Allah, bukan dengan
meyakini bahwa mereka pemberi manfaat dan madharat, sebagaimana hajar aswad yang
kita disunnahkan menciumnya, bukan berarti kita menyembah hajar aswad dan
meminta kepadanya namun Allah telah memerintahkan kita menciumnya sebagai mana
yang dicontohkan nabi, sebagai bukti kepatuhan kita kepada Allah.
Argumen kita adalah bahwa figur, tempat, waktu, tulisan, nama dan apapun
yang dipilih Allah adalah memiliki keistimewaan khusus dan kedekatan kepada
Allah. Contoh jasad nabi Muhammad secara umum tentu sama dengan kita, namun
karena beliau adalah yang dipilih Allah maka jasad beliaupun tentu bukan
sembarang jasad, namun memiliki keistimewaan (Barokah) tersendiri. Begitu pula
Ka’bah yang merupakan batu yang sama dengan batu disekitar kita namun karena
dipilih Allah maka batu Ka’bah tersebut memiliki hukum dan konsekwensi beda
dengan lainnya.
Para sahabat ber-tabaruk:
At-Thabarani meriwayatkan dari Sufainah ra budak Nabi Saw berkata: Nabi
berbekam, kemudian berkata: “ambilah darah (bekam) ini, dan kuburlah darah ini
dari hewan, burung dan manusia.” Kemudian aku bersembunyi dan meminumnya,
kemudian aku meceritakan kepada Nabi dan Nabipun tersenyum.
Al-Bukhari meriwayatkan dalam bab al-Adab 144 dari Ibnu
Jad’an berkata: Tsabit bertanya kepada Anas ra: “apakah engkau menyentuh nabi
dengan tanganmu?,” Anas menjawab: “ya” maka Tsabit mencium tangan Anas.
E.HIZIB/IJAZAH
Hizib merupakan doa-doa yang dirangkai dan diajarkan oleh para sufi untuk
mendekatkan diri kepada Allah guna terkabulkannya sebuah maksud dan tujuan
tertentu. Doa-doa tersebut biasanya diambil dari Al-Quran, asma-asma Allah atau
lainya yang secara khusus tidak ditemukan dalam riwayat hadis Nabi.
Namun secara umum hizib tidaklah lain dari doa dengan bertabaruk melalui
ayat atau asma yang dimuliakan Allah sebagai media perantara, dan ini tidaklah
menyimpang dari apa yang diperintahkan Allah:
اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ
‘Berdoalah kamu, niscya Aku
akan mengabulkannya untukmu. (QS al-Mu’min: 60)
Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang
menjelaskan kebolehan ini. Di antaranya adalah:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:”
كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى
فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا
لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ”Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR Muslim [4079]).
Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ”Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR Muslim [4079]).
Al-Marruzi berkata, ”Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah
Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya.
Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu’awwidzatain
(surat
al-Falaq dan an-Nas).” Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Ahmad bin Hanbal yang menulis untuk orang
yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muthammad Rasulullah,
QS. al-Anbiya: 69-70, Allahumma rabbi jibrila dst. Abu Dawud menceritakan,
“Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih
kecil.” Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis QS Hud: 44 di dahinya orang
yang mimisan (keluar darah dati hidungnya), dst.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah
wal Minah al-Mar’iyyah, juz II hal 307-310).
F. AZIMAT
Sebagaimana yang kita kenal azimat adalah benda
atau tulisan yang diyakini memiliki kekuatan supranatural (secara sunnatullah)
dapat mengatasi berbagai macam masalah dan untuk mencapai sebuah tujuan. Azimat
tidaklah lebih dari sebuah perantara, yang tidak memiliki kekuatan memberi
manfaat dan madharat sebagai sebuah benda, namun kekuatan tersebut timbul dari
fadhilah-fadhilah benda suci atau tulisan yang dimulaikan Allah seperti
Al-Quran.
Dalam hal ini Ibnu Hajar menjelaskan kreteria azimat dalam Fatawi
al-Hadisiah hal 88: “Mazhab kita dalam masalah (azimat) berpendapat bahwa
segala macam azimat yang dibaca atau ditulis apabila ada asma yang tidak
diketahui maknanya maka haram menulis dan membacanya, baik untuk orang yang
kerasukan jin atau lainnya. Apabila azimat atau ruqya mengandung asma-asma
Allah, ayat-ayat-Nya, asma Nabi dan malaikat maka boleh membacanya baik untuk
orang kerasukan jin atau lainnya begitupula menulisnya.”
Diriwayatkan dari Ja’far bin Abdillah bin Al-Hakam, sesungguhnya Khalid bin
Walid kehilangan kopyahnya pada perang Yarmuk, ia berkata (kepada sahabat
lain): carillah kopiahku!, namun mereka tidak menemukan...kemudian berkata
lagi: carilah!, maka ketika mereka menemukannya ternyata hanyalah kopyah usang.
Khalidpun berkata: “ketika Rasulullah Saw melakukan umrah, kemudian memotong
rambut maka orang-orang berebut potongan rambut beliau.....namun aku berhasil
mendapatkan rambut ubun-Nya, lalu aku selipkan dikopyah ini, maka aku tidaklah
berperang kecuali aku diberi kemenangan.”
Ada riwayat hadis yang selalu digunakan hujjah penolakan hizib dan azimat
oleh sebagian golongan. Adalah sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ
وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ
Dari Abdullah, ia berkata,
Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “’Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet,
adalah perbuatan syirik.” (HR Ahmad [3385]).
Mengomentari hadits ini, kami nukilkan komentar pakar hadis Ibnu
Hajar yang dijelaskan oleh Al-Manawi
dalam karyanya Faidhul Qadir:
“Keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain, adalah
apabila yang digantungkan itu tidak mengandung Al-Qur’an atau yang semisalnya.
Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu
tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta
minta perlindungan dengan Nama Allah SWT, atau dzikir kepada-Nya.” (Faidhul
Qadir, juz 6 hal 180-181).
G.QUNUT
Ibnu Rusyd dalam Bidayah Al-Mujtahid menjelaskan
hilaf ulama dalam qunut subuh: Imam Malik berpendapat qunut subuh adalah mustahab,
Imam as-Syafi’i mengatakan sunnah, Abu Hanifah berpendapat bahwa qunut tidak
boleh dilakukan pada shalat subuh, namun qunut adalah pada shalat witir.
Dalam kitab Al-Hawi, menjelaskan bahwa As-Syafi’i meriwayatkan dari Yazid
bin Abi Maryam dari Abi Haura’ berkata: Hasan bin Ali berkata: “Rasulullah Saw
mengajarkanku kalimat yang aku baca dalam qunut..............”
Diriwayatkan dari Abu Ja’far Ar-Razi dari Anas bin Malik berkata:
مازال رسول الله عليه واله وسلم يقنت في الصبح
حتى فارق الدني
Hadis ini disahihkan oleh Muhammad bin Ali al-Balkhi dan Al-Hakim. Namun
hadis ini ditentang oleh Al-Jauzi dan lainnya.
Yang jelas qunut merupakan bagian dari polemik furu’iyah yang tidak perlu
dikembangkan menjadi konflik. Cukup kiranya teladan toleransi ketika Imam
Syafi’i berunjung di kediaman Abu Yusuf murid Abu Hanifah dimana As-Syafi’i
tidak melakukan qunut dalam shalat subuhnya sebagai penghormatan atas pendapat
guru sang tuan rumah.
H. ADZAN MAYIT
Dalam kitab I’antutholibin juz 1 hal 230, Sayid
Bakri menerangkan:
“ketahuilah bahwa
tidak disunnahkan azan ketika memasukan mayat dalam kubur, berbeda dengan
beberapa pendapat ulama yang berpendapat sunnah dengan meng-qiyas-kan keluarnya
dari dunia dengan hadirnya (lahir) manusia di dunia, Ibnu Hajar berpendapat
dalam syarh Al-Ubab: namun ketika memasukkan mayat dalam kubur bersamaan dengan
waktu azan maka mayat mendapat keringanan ketika menerima pertanyaan
(Munkar-Nakir).”
Al-Bajuri juz I hal 240:
“Tidak disunnahkan azan ketika memasukkan mayit dalam kubur, hal ini
bertentangan dengan ulama yang mengatakan sunnah karena mengkiaskan keluarnya
seseorang dari dunia dengan masuknya kedalam dunia (ketika lahir diazani maka
mati diazani).”
Dalam kitab Al-Fatawi
Al-Kubro juz 2 hal 17 Ibnu Hajar ditanya masalah ini, maka beliau menjawab: itu
adalah bid’ah yang tidak ada dalil sahihnya.
Walhasil, azan dalam kubur
bukan lah ajaran Rasulullah Saw, dan bukan salah satu fatwa dari ulama Syafi’iyyah.
Namun, meskipun demikian azan dalam kubur bukanlah perkara yang diharam, karena
haram pun membutuhkan dalil yang kuat. Sedang dalam hal ini tidak ada dalil perintah maupun larangan.
Syaikh Ismail Zain berfatwa dalam hal ini: bahwa
azan tersebut memiliki dua sisi yakni umum dan khusus, secara umum azan adalah
zikir pujian kepada Allah maka pahala bagi pengumandangnya.
Berangkat dari fatwa ini maka jika azan adalah zikir yang menghasilkan
pahala maka tidak ada salahnya jika kita mengumandangkannya kemudian pahalanya
kita hadiahkan kepada mayit. Namun jika kita tidak melakukannya maka itu yang
lebih dekat dengan sunnah.
I. ADZAN 2 JUMAT
Hadis tentang dua adzan Jumat:
“Bahwasanya adzan yang telah Allah sebutkan di
dalam al-Qur`an pada mulanya dikumandangan ketika imam duduk di atas mimbar dan
ketika sholat akan ditegakkan pada hari jum'at di depan pintu masjid pada masa
Nabi -shollallahu alaihi wa sallam-, Abu Bakar dan Umar. Kemudian ketika tiba
khilafah Utsman dan orang-orang semakin bertambah banyak serta rumah-rumah
saling berjauhan, Utsman memerintahkan pada hari jum'at untuk dikumandangkan
adzan yang ketiga (pada sebuah riwayat disebutkan: pertama. Dan di riwayat
lainnya disebutkan: adzan kedua) di atas sebuah rumah miliknya di sebuah pasar
yang bernama az-Zaura`. Lalu adzan dikumandangkan di az-Zaura` sebelum beliau
keluar untuk memberitahukan kepada orang-orang bahwa waktu jum'at telah tiba.
Maka demikianlah seterusnya hal tersebut berlangsung, dan orang-orang tidak
mencela beliau atas hal itu, akan tetapi mereka pernah mencela beliau lantaran
menyempurkana shalat (tidak mengqasharnya) ketika berada di Mina.”
[HR. al-Bukhari, jilid 2, hlm. 314, 316, 317, Abu Dawud, jilid 1, hlm. 171,
an-Nasa`i, jilid 1, hlm. 297, at-Tirmidzi, jilid 2, hlm. 392 dan Ibnu Majah,
jilid 1, hlm. 228. Juga diriwayatkan oleh asy-Syafi'i, Ibnul Jarud, al-Baihaqi,
Ahmad, Ishaq, Ibnu Khuzaimah, ath-Thabrani, Ibnul Munzdir, dll.]
Hadis sahih di atas cukuplah sebagai dalil amaliyah shalat Jumat di
masyarakat kita. Namun demikian dibawah ini akan kita kaji beberapa poin
penting sebagai jawaban polemik ditengah masyarakat:
Ada dua Alasan mengapa Utsman -radhiallohu anhu- berfatwa mengumandangkan adzan Dua
Kali:
1). Semakin banyaknya pemeluk muslim pada waktu itu, dan
2). Rumah-rumah mereka
yang saling berjauhan.
Jika dua alasan tersebut tidak ada, niscaya Usman
tidaklah menfatwakan dua adzan tersebut, dan pasti adzan akan dikumandangkan
satu kali saja seperti pada masa Nabi, Abu Bakar dan Umar.
Jika kita melihat kondisi pada masa sekarang maka
hampir dipastikan dua alasan tersebut tidak wujud, masjid ditiap desa telah ada
dan dengan kemudahan tekhnologi pengeras suara kita akan dengan mudah
memperdengarkan adzan keseluruh penjuru desa.
Jadi secara nalar fikih, adzan yang paling tepat pada saat ini adalah satu
kali adzan. Namun demikian ada alasan lain yang dipegang para ulama kita
sehingga tetap pada dua adzan tanpa mempertimbangan alasan kondisi, yaitu: agar
masyarakat awam tidak dibingungkan dengan perbedaan dan perubahan hukum,
menginggat dua adzan tanpa alasan diatas pun tidak diharamkan.
J. PERINGATAN HARI BESAR ISLAM
Sebagian golongan dalam Islam terlalu sempit
membaca kearifan lokal sebagai kekayaan budaya. Peringatan maulid, isra’mi’raj,
nisfu’ Syaban, nuzulul Al-Quran mereka sebut sebagai “Hari Raya” yang tidak
disyariatkan dan bid’ah yang diharamkan dengan dalih “tidak ada tuntunan dari
Nabi.” Dengan tegas mereka menyatakan bahwa hari raya hanyalah dua dan tidak
ada lainnya.
Menyikapi pandangan sempit, kolot dan fanatisme buta ini, kita memiliki
beberapa argumen sebagai berikut:
Pertama: Peringatan tersebut adalah Adat dan bukan Ibadat yang
disyariatkan. Tidak ada dalil khusus yang memerintahkan peringatan tersebut.
Jadi berkumpul untuk maulud, isra’ mi’raj dll tidalah beda dengan kita
mengadakan kumpulan rt/rw atau kumpulan keluarga. Jika berkumpul untuk membaca
maulid diharamkan maka kumpulan rt pun harus diharamkan.
Kedua: Keyakinan kita akan pahala
dari peringatan tersebut, bukanlah dari “peringatan itu sendiri” namun dari isi
acara tersebut. Kita beribadah bukan dengan “berkumpulnya sebagai peringatan”
namun kita beribadaah dengan isi acara didalamnya yang ada doa, ada pembacaan
sejarah Nabi, sejarah Isra’ mi’raj dan turunnya al-Quran. Bukankah jika kita
mengadakan kumpulan rt kemudian didalamnya kita membaca sejarah Nabi kita akan
mendapat pahala?.
Peringatan ini bukanlah “Hari Raya” hasil modifikasi agama namun hanyalah
media untuk dakwah, mengumpulkan masyarakat dengan semangat persatuan,
bersedekah dengan makanan dan minuman, mengundang orang saleh bersama berdoa,
dan yang terpenting adalah thalabul ilmi dengan membaca sejarah Nabi
Muhammad Saw.
kami nukilkan komentar Prof. Dr Sayid Muhammad Alawi dalam karangan beliau
Mafahim Yajib An-Tushahah: “adat kita dalam berkumpul untuk menghidupkan
acara-acara peringatan historis, seperti Maulud, Isra’mi’raj, nisfu sya’ban,
hijrah Nabi, nuzulul Quran, dan peringatan perang Badr, dalam pandangan kita
adalah sebatas adat yang tidak ada dasar dalam agama, maka tidaklah bisa disebut
sunnah atau disyariatkan...” lebih lanjut beliau menjelaskan: “saya
berkeyakinan dengan seyakin-yakinnya bahwa peringatan-peringatan tersebut
selama semata karena Allah dan dalam ajaran-Nya (tidak maksiat) maka akan
diterima oleh Allah walaupun tidak tepat pada waktunya.”
K. JABAT TANGAN SETELAH SHALAT
Dalam kitab Bugyah al-Mustarsyidin hal 50-51:
فائدة : المصافحة المعتادة بعد صلاتي الصبح
والعصر لا أصل لها ، وذكر ابن عبد السلام أنها من البدع المباحة ، واستحسنه النووي
، وينبغي التفصيل بين من كان معه قبل الصلاة فمباحة ، ومن لم يكن معه فمستحبة ،
إذ هي سنة عند اللقاء إجماعاً. وقال بعضهم : إن المصلي كالغائب فعليه تستحب
عقيب الخمس مطلقاً اهـ شرح التنبيه للريمي. ويسنّ تقبيل يد نفسه بعد المصافحة قاله
ابن حجر.
Faidah: berjabat tangan seperti yang dibiasakan
setelah shalat subuh dan asar tidak ada dalil sama sekali. Ibnu Abissalam
meyebutnya dengan bid’ah yang mubah. Dan an-Nawawi mennyabutnya bid’ah hasanah.
Dan seyogyanya di perinci sebagai berikut: jika sebeum shalat sudah bertemu
maka mubah, jika belum maka sunnah, karena berjabat tangan adalah sunnah ketika
bertemu secara ijma’. Sebagian ulama berpendapat: bahwa jamaah shalat itu
seperti orang yang telah pergi maka disunnahkan berjabat tangan setelah shalat
secara mutlak. (selesai keterangan dari at-Tanbih karya ar-Rimy).
Pendapat yang tepat untuk konteks disekitar kita adalah perincian seperti
ibarat diatas: bahwa mubah (boleh) jika kita telah bertemu sebelum shalat dan
sunnah jika belum ketemu sebelumnya.
ORGANISASI ISLAM DI INDONESIA
A. Nahdlatul Ulama
1.
Pengertian
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan (jam’iyah
diniyah islamiah) yang berhaluan Ahli Sunnah wal-Jamaah (Aswaja).
Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1334 H oleh
K.H. Hasyim Asy’ari beserta para tokoh ulama tradisional dan usahawan di
Surabaya Jawa Timur.
Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan
perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun
1924, Syarif Husain, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh
Abdul Aziz bin Saud (Ibnu Saud) yang beraliran Wahabi. Dalam kekuasaan Ibnu
Saud, semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni seperti tawasul, ziarah
kubur, maulid Nabi, dan lain sebagainya, yang sudah berjalan puluhan tahun di
Tanah Arab akan dihilangkan dan digantikan dengan amaliah yang sesuai dengan
paham Wahabi.
Raja Ibnu Saud berniat melebarkan pengaruh kekuasaannya
ke seluruh dunia Islam, dengan cara menyelenggarakan Muktamar Khilafah di Kota
Suci Makkah dan seluruh negara Islam di dunia akan diundang untuk menghadiri
muktamar tersebut, termasuk Indonesia. Atas dasar kenyataan ini, maka Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama didirikan.
Pendiri resminya adalah Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim
Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sedangkan
yang bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak adalah KH. Abdul Wahab
Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang.
Nahdlatul Ulama mendasarkan paham
keagamaannya kepada sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah,al-Ijma’,
dan al-Qiyas. Dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumber-sumber tersebut,
NU mengikuti paham Ahlussunnah Waljama’ah dan menggunakan jalan pendekatan
mazhab :
1.
Dalam bidang aqidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah
Waljama’ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur
al-Maturidi.
2.
Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan
(madzhab) salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin
Anas, Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal.
3.
Dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam Junaid
al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali, serta imam-imam lain.
NU mengikuti pendirian bahwa Islam adalah agama fitri
yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Paham
keagamaan yang dianut NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai kebaikan yang
sudah ada dan menjadi milik serta cirri-ciri suatu kelompok manusia seperti
suku maupun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tradisi tersebut.
Dalam pendekatan dakwahnya, NU lebih
banyak mengikuti metode dakwah Walisongo, yaitu menyesuaikan dengan budaya
masyarakat setempat dan tidak mengandalkan kekerasan. Budaya yang berada di
suatau daerah-bila tidak bertentangan dengan ajaran agama- akan terus
dilestarikan, sementara budaya yang jelas bertentangan dengan agama dan
mengakibatkan kerusakan maka harus ditinggalkan.
Secara garis besar, cirikhas NU
adalah :
1.
Tawassuth dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang
berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk
pendekatan dengan tatharruf (ekstrim).
2.
Tasamuh, yaitu
sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan
kemajemukan identitas budaya masyarakat.
3.
Tawazun, yaitu
sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan antara
sesame umat manusia dan antara manusia dengan Allah Swt.
4.
Amar
ma;ruf nahi munkar, yaitu memiliki kepekaan mendukung perbuatan baik dan
mencegah hal yang dapat merendahkan nilai kehidupan.
Karena prinsip dakwahnya yang moderat dan toleran
tersebut, kehadiran NU dapat diterima oleh sebagian besar kelompok masyarakat,
sehingga menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia. Bahkan dalam
perjalanannya terbukti mampu menjadi organisasi pelopor dalam ukhuwah wathoniyah (persatuan bangsa).
1.
Pengertian
Muhammadiyah adalah organisasi Islam terbesar kedua di
Indonesia yang melaksanakan dakwah dan tajdid untuk terwujudnya masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya. Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah mengajak umat
manusia untuk memeluk agama Islam (da’wah ila al-Khair), menyuruh pada yang
ma’ruf (al-amr bi al-ma’ruf), dan mencegah dari yang munkar (al-nahy ‘an
al-munkar) {QS. Ali Imran/3: 104}, sehingga hidup manusia selamat, bahagia, dan
sejahtera di dunia dan akhirat. Karena itu seluruh warga, pimpinan, hingga
berbagai komponen yang terdapat dalam Muhammadiyah, termasuk amal usaha dan
orang-orang yang berada di dalamnya, haruslah memahami Muhammadiyah serta
mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata.
2.
Sejarah Berdiri
Muhammadiyah didirikan pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18
November 1912 M, atas prakarsa KH. Ahmad Dahlan (lahir di Kauman Yogyakarta
pada tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abu Bakar). Dia
adalah imam dan khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti
Aminah adalah anak K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta.
3.
Paham/Ideologi
Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Bab II Pasal 4 dijelaskan bahwa identitas
dan asas bahwa :
1)
Muhammadiyah adalah
Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada
Al-Qur`an dan As-Sunnah.
2)
Muhammadiyah berasas
Islam.
Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Bab III pasal 6 tentang Maksud dan Tujuan
Organisasi Muhammadiyah adalah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga
terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
4.
Cirikhas
1)
Sebagai gerakan Islam
2)
Sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar
3)
Sebagai gerakan tajdid (pembaharu)
C. Ahmadiyah
1.
Pengertian
Aliran
Ahmadiyah adalah aliran Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad
al-Qadiyani yang lahir di Qodyan India tahun 1839 M. wafat tahun 1908 M. Dia
menyebarkan ajarannya dengan berbagai cara, ceramah, karya tulis dan
lainnya.
Ahmadiyah
didirikan di kota Qodian, India oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tanggal 23 Maret
1889. Dalam perkembangannya, Ahmadiyah terbagi menjadi dua aliran, Ahmadiyah
Qodian dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Qodian berkeyakinan bahwa Mirza Ghulam
Ahmad adalah seorang Nabi, sedangkan Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza
Ghulam Ahmad adalahs ebagai pembaharu.
Ahmadiyah
masuk ke Indonesia pada tahun 1925 dan terbentuk dalam 2 organisasi, yaitu
Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) sebagai organisasi pengikut Ahmadiyah Lahore,
dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai organisasi pengikut Ahmadiyah
Qodian.
1)
Meyakini bahwa ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW;
2)
Meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi, Masih
Mau’ud, dan Imam Mahdi;
3)
Meyakini isi buku Tadzkirah tentang kewahyuan dan
kebenarannya, termasuk klaim tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad di dalamnya;
4)
Menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan Buku Tadzkirah;
5)
Tidak bersedia menjadi bermakmum dalam shalat kepada
orang Islam non-Jama’ah Ahmadiyah karena dianggap kufur (ingkar) kepada
kenabian Mirza Ghulam Ahmad.
D. Negara Islam Indonesia (NII)
1.
Pengertian
NII adalah kependekan dari Negara Islam Indonesia.
Selanjutnya NII ini menjadi sebuah organisasi gerakan Islam yang hingga saat
ini masih beroperasi. Tujuan gerakan ini adalah menjadikan Indonesia negara
teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara.
NII dikabarkan dikabarkan berpusat di Pondok Pesantren
Al-Zaytun seluas 1.200 hektare di Indramayu yang didirikan Abu Toto alias Syekh
Abdus Salam Panji Gumilang. NII ini dikenal dengan gerakan Negara Islam
Indonesia Komandemen Wilayah 9 (NII KW9).
2.
Sejarah Berdiri
NII dulu dikenal dengan nama Darul Islam atau DI bermula
dari gerakan politik yang diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di
Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Tasikmalaya, Jawa Barat pada 7 Agustus
1949.
Dalam perkembangannya, NII kemudian menyebar di beberapa
wilayah, sementara sang pemimpin Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi
pada 1962. Gerakan ini kemudian terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam
hingga dianggap sebagai organisasi ilegal oleh Pemerintah.
3.
Paham/Ideologi
NII menghalalkan
segala cara mulai dari merampok, mencuri, menipu, memeras, merampas atau
melacur demi kepentingan negara atau madinah. Hal tersebut disandarkan pada
filosofi sesat atas kepemilikan wilayah teritori Indonesia oleh NII, atas dasar
proklamasi NII dan kekhalifahan Kartosoewirjo. Selain itu, konsep ini juga
untuk mempraktekkan ayat “Sesungguhnya bumi ini diwariskan kepada
hamba-hamba-Ku yang Shalih.”
NII berani menunjukkan eksistensinya dengan aksi cuci otak para mahasiswa.
Bahkan, Kepolisian RI berusaha mengungkap gerakan ini dengan mengejar sejumlah
nama yang ditengarai jadi otak perekrut dan pemberi materi doktrin kepada
mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Mantan pengikut NII sekaligus pendiri situs NII Crisis Center, Ken Setiawan
menjelaskan metode perekrutan mereka mulai dari pertemanan, lewat teman-teman
dekat. “NII punya identifikasi korban, siapa dia, apakah anak orang kaya, sudah
diincar,” kata Ken.
Mantan anggota
NII lainnya, Tikno, menjelaskan hal yang sama bahwa mahasiswa yang berhasil
digiring masuk jaringan akan didoktrin untuk menghalalkan segala cara dalam
mewujudkan negara Islam di Indonesia. Selain itu, Tikno mengaku didoktrin bahwa
semua pimpinan di Indonesia adalah kafir.
4.
Cirikhas
1)
Pengajian tertutup, dan dalam tempo singkat,
terkesan pemaksaan.
2) Calon Pengikutnya Diajak
Ke Suatu Tempat Tertentu Untuk Di Bai'at
3) Mata Sang Calon Ditutup
Rapat Dan Penutup Baru Dibuka Ketika Mereka Sampai Di Tempat Tujuan
4) Mereka Berdakwah Dengan
Menjual Ayat-Ayat Al Qur'an Dan Dienul Islam, Tetapi Dalam Pelaksanaannya
Sangat Jauh Dari Dienul Islam Yang Diungkapkan
5) Mereka Suka Melakukan
Penyedotan Dana Jamaahnya, Sedikit-Sedikit Bayar Uang
6) Tidak Berkewajiban Menutup
Aurot Bagi Perempuan
7) Tidak Mewajibkan Shalat
Dengan Alasan Belum Futuh Mekkah, Padahal Nabi Muhammad Saw Wafat Setelah
Terjadi Futuh Mekkah
8) Tidak Mampu Membayar Infaq
Dianggap Berhutang
9) Mengkafirkan Orang Diluar
Kelompoknya
10) Menghalalkan Bentuk
Pencurian
11) Isra' Mi'raj, Ketika Nabi
Naik Langit Ke Tujuh Mereka Artikan Tentang Tingkatan Struktur Pemerintahan,
Yaitu Rt, Rw, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur Dan Presiden
12) Mengatasnamakan Nii Untuk
Menjaring Aktivis Muslim, Tetapi Disisi Lain Menghalalkan Darah Muslimin.
E. Lembaga Da’wah Islam Indonesia (LDII)
1.
Pengertian
LDII adalah kelompok atau aliran Islam di Indonesia yang
pendiriaannya diprakarsai oleh Nurhasan
Ubaidah Lubis Amir. Adapun kata Lubis
menurut dia sendiri adalah “Luar Biasa”
atau “Superman”. Sedangkan nama
kecilnya adalah Madekal atau Madigol. Dia asli pribumi Jawa Timur,
lahir pada tahun 1915 di desa Bangi Kecamatan Purwo Asri Kabupaten Kediri.
LDII didirikan pada tanggal 3 Januari 1972 di Surabaya,
Jawa Timur dengan nama Yayasan Karyawan Islam (YAKARI). Pada Musyawarah Besar
(MUBES) YAKARI tahun 1981, nama YAKARI diganti menjadi Lembaga Karyawan Islam
(LEMKARI). Pada MUBES LEMKARI tahun 1990, sesuai dengan arahan jenderal Rudini
sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri), nama LEMKARI yang sama dengan akronim
Lembaga Karate-Do Indonesia, diubah menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Pada awalnya, organisasi YAKARI itu dinilai kelanjutan
dari Islam Jamaah karena pimpinannya memang tokoh Islam Jamaah, yaitu almarhum
KH. Nurhasan Al Ubaidah, pendiri Pondok Pesantren LDII, Banjaran, Burengan,
Kediri, Jawa Timur, seorang ulama yang selama 11 tahun belajar ilmu agam di
Makkah dan Madinah.
3.
Paham/Ideologi
1)
Wajib Beramir
Yang
dimaksud dengan beramir adalah amir dan imam mereka sendiri yakni Nurhasan Ubaidah.
Kedudukan amir dalam kalangan mereka sangat istimewa, meskipun ucapan amir
mereka itu bertentangan dengan al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam masalah wajib
beramir mereka mengambil hujjah kalimat Ulil ‘Amri pada surat Annisa’ ayat 59 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
2)
Wajib Bai’at
Yang
dimaksud Bai’at menurut mereka adalah Bai’at kepada amir mereka sendiri
yakni Nurhasan ubaidah. Dalam keyakinan mereka, semua orang yang belum
berbai’at kepadanya dianggap belum beriman, masih kafir. Dan Bai’at harus
diucapkan di depan amir.
Dalil
yang mereka gunakan adalah :
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ
مِيْتَتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa
mati dalam keadaan tidak terdapat pada lehernya bai’at, maka ia mati dalam
keadaan mati jahiliyyah.
3)
Wajib Manqul
Manqul menurut
mereka ialah barangsiapa yang memepelajari al-Qur’an dan Hadits tidak dengan
cara manqul, artinya bersambung dari murid ke guru sampai kepada amir, maka
belajarnya tidak sah. Menurut mereka belajar agama wajib dengan cara manqul
serta harus dalam kalangan dan lingkaran sendiri, sebab di luar itu masih
kafir.
Jadi,
ilmu itu harus mempunyai sandaran yang disebut sanad, dan sanad itu harus
muttashil (bersambung) sampai ke rasulullah. Sehingga manqul musnad muttashil
diartikan belajar / mengaji al-qur’an dan hadits dari guru, dan gurunya
bersambung terus sampai Rasulullah. Akan tetapi dalam wajib manqul itu adalah
ke Nurhasan Ubaidah. Jika tidak kepadanya, namanya bukan manqul, maka ilmunnya
tidak sah, ibadahnya ditolak, dan masuk neraka. Alasannya karena hanya dia yang
mempunyai sanad manqul musnad muttashil.
مَنْ قَالَ فِى كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ
فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
Hadits
tersebut mereka artikan dengan :
Barang
siapa yang mengucapkan kitab Allah Yang Maha Mulia dengan pendapatnya (secara
tidak manqul) walau benar, maka sungguh ia telah salah. (HR. Abu
Dawud)
4)
Wajib Jama’ah
Perkataan
jama’ah artinya himpunan, perkumpulan atau organisasi. Menurut mereka yang
dimaksud dengan jama’ah adalah jama’ah mereka sendiri, bukan yang lain, di luar
mereka adalah kafir.
Dalil
yang digunakan adalah :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا
Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) allah. (QS. Ali Imran 103).
F. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)
MMI didirikan pada saat Kongres Majelis Mujahidin
Indonesia I tanggal 5-7 Agustus tahun
2000 di Yogyakarta. Organisasi ini berkantor pusat di Yogyakarta dan
kelahirannya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor :
1)
Obsesi kalangan muda terhadap terwujudnya Negara Islam
(Daulah Islamiyah), baik dalam pengertian nasional maupun internasional.
2)
Adanya stigma buruk yang dilabelkan kepada gerakan Islam
Indonesia yang ingin membentuk Daulah Islamiyah yang melahirkan Islam phobia dan selalu dihubungkan dengan
DI/TII Kartosuwiryo.
3)
Penialian pemnggiran Islam baik dalam pengertian hokum
(syariat) maupun perilaku penganutnya.
4)
Krisisi multidimensi yang menimpa Indonesia yang tidak
bias dieslesaikan oleh pemerintah .
1)
Keharusan mendirikan Daulah
Islamiyah (Negara Islam)
2)
Pelaksanaan hukum Islam harus komprehensif termasuk
pidananya, karena Islam mengurus dunia dan akhirat. Dan secara historis Daulah
ISlamiyah dari masa Nabi, Khulafaur Rasyidin, hingga Daulah Utsmaniyah telah
terbukti mampu mengawal supremasi syariat secara komprehensif.
1)
Struktur organisasinya terbagi atas Ahl al-Hall wa al-‘Aqd (lenbaga legislative, yang diketuai oleh
Ustazd Abu Bakar Ba’asyir), dan Lajnah
Tanfidziyah (lembaga eksekutif, yang diketuai Irfan Suryahadi Awwas).
2)
Metode gerakannya dilakukan dengan dua cara (manhaj),
yaitu pertama, dengan dakwah (nasyr
al-din), yaitu usaha untuk menyebarkan ajaran Islam dan hikmahnya. Kedua, dengan jihad (perang) untuk tamkin al-din (pemantapan agama). Dalam
hal ini MMI diberitakan telah mengirimkan lascar Mujahidin ke daerah-daerah
konflik seperti Ambon dan Poso.
G. Front Pembela Islam (FPI)
FPI dideklarasikan pada 17 Agustus
1998 (atau 24 Rabiuts
Tsani 1419 H) di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat,
di Selatan Jakarta
oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan disaksikan ratusan
santri yang berasal dari daerah Jabotabek. Tokoh yang memelopori berdirinya FPI adalah Habib
Muhammad Rizieq Shihab.
Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja
sama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Ma'ruf dan Nahi
Munkar di setiap aspek kehidupan. Hal-hal yang melatar belakangi pendirian
FPI sebagaimana diklaim oleh organisasi tersebut antara lain:
1.
Adanya penderitaan panjang ummat Islam di Indonesia
karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa.
2.
Adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin
merajalela di seluruh sektor kehidupan.
3.
Adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat
dan martabat Islam serta ummat Islam.
Berdasarkan dokumen Risalah
historis dan garis perjuangan FPI, asas FPI adalah Islam ala Ahlussunah wal Jama’ah. Menurut para
pemimpin FPI, Aswaja yang dipahami oleh FPI tidak sama dengan yang dipahami
oleh NU dan Muhammadiyah. Aswaja dalam pemahaman FPI lebih mendekati pemahaman
Aswaja kelompok Salafi yang dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib di Yogyakarta.
Menurut kelompok ini, Aswaja adalah mereka yang telah sepakat untuk
berpegang dengan kebenaran yang pasti sebagaimana tertera dalam Al Qur’an dan
al hadits. Bagi FPI, mengikuti jejak salafus
shalih harus dilakukan secara total, baik dalam bidang akidah, hokum, dan
tingkang laku keseharian, seperti cara berpakaian, makan, minum, dan shalat.
Dalam pemahaman mereka, tidak ada pembagian antara yang ushul (pokok) dan yang furu’
(cabang), antara yang substantive dan yang simbolik. Pandangan seperti ini bagi
mereka adalah bid’ah.
H. Majelis Terjemah Al Qur’an (MTA)
1. Pengertian dan Sejarah Berdiri
Majlis Terjemah Al-Quran atau disingkat MTA adalah lembaga dakwah dalam
bentuk yayasan
yang didirikan oleh Al-Ustadz Abdullah
Thufail Saputra pada tanggal 19 September
1972. Pendirian Yayasan MTA ini selanjutnya dikukuhkan dengan akte notaris
R. Soegondo Notodisoerjo, nomor 23, tanggal 23 Januari
1974 di Surakarta.
2. Perkembangan dan Paham
Ketua Umum sekaligus pendiri MTA
itu wafat pada tanggal 15 September 1992, setelah 20 tahun menumbuhkan dan
mengembangkan MTA. Kepemimpinan
selanjutnya diteruskan oleh murid beliau Al-Ustadz Drs Ahmad Sukina. MTA berkembang dengan pesat ke seluruh pelosok
tanah air dan saat ini telah memiliki lebih dari 50 perwakilan dan lebih dari
170 cabang.
MTA berkembang
dari bawah, yakni atas permintaan warga masyarakat untuk mengadakan pengajian
rutin, lalu setelah mekar dan merasa mantap akan kebenaran ajaran yang dikaji
mereka mengajukan permohonan untuk menjadi bagian dari keluarga besar MTA. Permohonan ini baru dikabulkan kalau para
siswa setempat telah dinilai oleh Pimpinan Pusat membuktikan kesungguhan mereka
dalam mengamalkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam kehidupan sehari-hari.
Seluruh kegiatan MTA
didanai oleh warga MTA sendiri.
Tidak ada sama sekali bantuan dari Pemerintah atau lembaga lain dari dalam
maupun luar negeri. Kesadaran warga MTA
berinfak fii sabilillah cukup tinggi demi pengamalan Islam. Al-Ustadz sering
menjelaskan secara diplomatis : MTA
bukan partai politik atau organisasi masa yang berada dibawah kendali sebuah
partai politik. Namun lembaga dakwah islamiyyah terbuka yang bersifat
independen. Ketua Umum MTA pernah
menyampaikan bahwa MTA bukan
partai politik dan tidak akan pernah menjadi partai politik.
Ahlussunnah Wal Jama’ah Dan
Tantangannya
Pandangan Hidup atau Isme-isme Ciptaan Manusia
Pandangan hidup buatan manusia yang
berpangkal kepada materi pada prosesnya menuju kepada Atheisme terutama faham-faham
yang telah datang sedang berkembang di dunia dewasa ini.
Faham-faham
ini mula pertama muncul karena reaksi terhadap ketidak beresan sistem agama
di Barat (gereja) yang membantai segala kemajuan dan kecerahan berfikir
manusia.Yang akhirnya agama menjadi sandaran utamanya walaupun agama
yang dimusuhinya itu sendiri telah lepas dari dasar fundamennya,namun semua
agama apa saja (termasuk Islam) disamaratakan sebagai penghambat dan
penghalang.
Faham-faham
yang bersumber Materialisme antara lain :
1)
Humanisme
Humanisme
merupakan salah satu falsafah hidup buatan manusia “man made”,maka ia bersifat
nisbi atau relatif.Yang paling menyolok dari watak humanisme ialah bahwa
manusia adalah otonom.Karena itu masalah benar atau salah ,baik atau
buruk,terserah kepada penilaian manusia masing-masing,dengan demikian akan
terjadi bahwa kebenaran waktu yang lalu bisa relatif salah dimasa
sekarang.Lebih sempitnya ,kebenaran menurut A bisa salah menurut B,walaupun
sama-sama humanis.
Demikianlah
humanisme modern dimana Renaissance dianggap sebagai landasannya telah
mendasarkan dirinya kepada kepercayaan penuh akan kemampuan manusia yang tak
terbatas,yang tujuannya seorang yang berkepribadian .Disini nilai
perikemanusiaan tetap diakui tetapi lepas dari kehendak Allah.
Maka
tidak heranlah suatu saat Humanisme bisa menerima ajaran Kristen ,bisa suatu
saat menerima Hindu,bisa juga Islam.Kalau ajaran-ajaran itu bisa diterima
,adalah karena itu sesuai bagi kemanusiaan baginya,bukan dari Allah.Namun yang
terang Humanisme adalah Ateis dan banyak juga yang berpendapat bahwa Allah itu
ada atau tidak (agnosticisme) dan banyak pula yang mengaku bahwa Allah sebagai
hakekat yang transenden,tetapi yang terang tidak mengakui bahwa Allah telah
mengutus nabi ataupun menurunkan kitab.
Karena
Humanisme tidak ada pedoman yang jelas baik sejak munculnya abad V SM di
Hellos,Yunani,Romawi yang dalam perkembangannya terdapat bermacam-macam aliran
Humanis,maka yang jelas bahwa Humanis menitik beratkan kepada kemampuan
manusiawi.
2) Sekularisme
Semua
isme-isme atau faham hidu ciptaan manusia adalah mengarah kepada
sekularisme,dimana sekularisme telah menjalar ke seluruh dunia yang menandai
kebudayaan di abad ini.
Sekularisme berasal dari perkataan Yunani
“saeculum” yang berarti zaman atau abad.Saeculum itu sendiri adalah lawan dari
“aeternum” yang berarti kekal.Dalam perkembangannya saeculum berarti
dunia,duniawi dengan pengertian “hidup tanpa Allah”,dunia tanpa Allah. Menurut
DR J Verkuyl sekularisme mempunyai pengertian :
1.
Sekularisme
adalah aliran dalam kultur dalam mana seluruh perhatian dituntut untuk dunia
ini dan untuk zaman ini dengan mengucilkan Allah dan kerajaan-Nya.
2.
Sekularisme
adalah cara hidup ,bekerja dan berfikir dalam mana perihal Allah tidak
disentuh-sentuh,dalam mana doa itu dihentikan,dalam mana nisbahmanusia dan
dunia terhadap Allah dilupakan.
3.
Sekularisme
adalah cara hidup dalam mana secara praktis dan teoritis dikatakan,”Diamilah
rumah dunia ini tanpa memikir kepada Arsiteknya.”
Semboyan kaum sekularis :-manusia adalah bebas ,manusia adalah sebagai
pencipta bagi kehidupannya,tidak kenal apa itu yang dikatakan hidayah,apa itu kitab Allah.Ia mencampakkan
agama dan penghargaannya terhadap agama.Agama adalah untuk pencipta agama
,sedangkan negara/tanah air adalah urusan kita semua.
Jelaslah
dari pendapat-pendapat tersebut bahwa sekularisme telah mamsuki di dalam segala
aspek kehidupan manusia yang melepaskan antara hidup ber agama dengan hidup
menurut kehendak manusia sendiri.
[1] Penjelasan tentang sejarah berdirinya NU ini diambil dari buku Antologi NU, Sejarah Istilah Amaliah
Uswah, Buku I, H. Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, S.Sos, Khalista dan LTN
NU Jawa Timur, Surabaya, 2010, hlm. 1-3
[2] Ibid, hlm. 12
[3] Ibid, hlm. 12-13
[4] Profil oraganisasi Muhammadiyah ini diambil dari situs resmi Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, www.muhammadiyah.com
[5] Penjelasan tentang sejarah berdirinya NU ini diambil dari tulisan H.M.
Atho Mudzhar berjudul Mengkritisi Lingkungan Sosial Keagamaan Pengikut Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah dalam buku Kumpulan Naskah Ceramah Tahun Baru Hijriyah,
Direktorat Penerangan Agama Islam Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam Kementerian Agama Republik Indonesia 2010, hlm. 91.
[6] Ibid, hlm. 99
[7] Penjelasan tentang sejarah berdirinya NU ini diambil dari tulisan H.M.
Atho Mudzhar berjudul Mengkritisi Lingkungan Sosial Keagamaan Pengikut Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah dalam buku Kumpulan Naskah Ceramah Tahun Baru Hijriyah,
Direktorat Penerangan Agama Islam Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia 2010, hlm. 86-87.
[8] Ibid, hlm. 70-71
[9] Ibid, hlm.71
[10] Ibid, hlm. 71-72
[12] Ulasan tentang paham/ideology FPI ini diambil dari buku Gerakan Islam
Simbolik, Politik Kepentingan FPI, Al Zastrouw Ng, LKis, Yogyakarta, 2006, hlm.
96-97