Jumat, 29 Juni 2012

aswaja



BAB I     
AQIDAH ISLAM AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH

A.      Definisi ASWAJA

            Ahlussunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata ,Ahlun ,sunah dan jama’ah
Ahlun menurut bahsa berarti keluarga,pengikut,penduduk.
Sunah menurut bahasa berarti wajah,muka,kening, jejak langkah ,tauladan,tabiat. Kata sunah jika disandarkan kepada Allah maka berarti hukum,perintah dan larangan Allah. Sedangkan menurut syara’ sunah berarti  Jejak langkah dan tauladan Nabi saw., atau hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw,atau Sesuatu yang jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak disiksa.
Al Jama’ah menurut bahasa berarti kumpulan berjumlah tiga atau lebih.Jama’ah menurut istilah syar’i adalah persambungan antara shalatnya seseorang dengan sholatnya orang lain (ma’mum dan imam) dengan syarat tertentu.Atau bersatunya golongan dalam kesatuan imam (pemimpin) melalui bai’at (janji setia) dengan syarat-syarat tertentu.
Kata Ahlussunnah wal Jama’ah  yang selama ini kita kenal adalah merupakan kata yang yang mempunyai arti  urfi ,bukan lughowi (bahasa) ataupun syar’i (syareat).Yaitu merupakan istilah yang dibuat oleh empat kelompok ulama’.yaitu ulama’ ahli hadis,tasawuf dan ahli kalam asy’ary ataupun maturidi sebagai  nama untuk golongan mereka.Karena keyakinan mereka bahwa akidah dan amaliyahnya sesuai dengan sunah Nabi dan tingkah laku para shabatnya.Dan sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah sampai sekarang adalah untuk nama golongan yang mengikuti mazhab (jalannya) kelompok ulama’ tersebut diatas.Dalam kitab Al Ihya ,awal syarah risalah al Qudsiyah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah empat golongan,yaitu Ulama Ahli hadis,Ahli tasawuf,Ahli kalam Asy’ariyah dan Ahli Kalam Maturidiyah. Tidak bisa nama Ahlussunnah wal Jama’ah dipakai oleh selain empat kelompok tersebut. 

Dalil-dalil yang bersifat umum dari Al Qur an dan sunnah yang membuktikan bahwa mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi layak mewakili golongan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah :
1. Mengikuti Mainstream al-Jamaah
      Sebagian hadits-hadits tentang perpecahan umat menjelaskan bahwa golongan yang selamat ketika umat Islam terpecah belah menjadi beragam golongan adalah golongan al-Jama’ah.Hal ini sesuai dengan hadits berikut :

عن معاوية بن أبي سفيان إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قام فينا فقال الا إن من قبلكم من اهل الكتاب افترقو على ثنتين ملة وإن هذه الملة ستفترق على ثلاث وسبعين ثنتان وسبعون فى النار وواحدة فى الجنة وهي الجماعة

Hadits diatas memberikan penjelasan bahwa golongan yang selamat ketika kaum muslimin terpecah menjadi 73 golongan adalah golongan al-jamaah.Dalam mengartikan al-jamaah  banyak pendapat :

1.Kata al-jamaah diartikan sebagai golongan mayoritas muslimin.Pengertian demikian sesuai dengan realita bahwa semua kaum muslimin menamakan pengikut al-Asy’ari dan al-Maturidi sebagai ahlussunnah wal jamaah.Pengakuan bahwa madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi termasuk ahlussunnah wal jamaah juga diakui oleh mayoritas ulamamadzhab Hanafi,Maliki,Syafi’i,dan Hambali.
2.Mengikuti Ijma’ Ulama

عن ابن عمر ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إن الله لا يجمع أمتي على ضلالة ويد الله مع الجماعة ومن ذ شذ الى النار (رواه الترمذى)

  :Dari Ibny Umar ,Rasulullah saw bersabda :”Sesunggguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan.Pertolongan Allah selalu bersama jamaah.Dan barangsiapa yang mengucilkan diri dari jama’ah ,maka ia mengucilkan dirinya ke neraka.” (HR.at Tirmidzi)

Sikap seperti ini sesuai realita bahwa dalam menetapkan hukum islam baik Maturidiyah maupun Asy’ariyah menggunakan dalil al-Qur’an,Hadits,Ijma’ dan Qiyas.Sedangkan aliran selainnya  banyak yang menolak sebagian dari dalil-dalil tersebut.Diantaranya adalah Muhammad Abduh.

3.Memelihara Kebersamaan dan Kolektifitas

  Makna al-Jama’ah: menjaga kekompakan, kebersamaan dan kerukunan, kebalikan dari kata al-furqah (golongan yang berpecah belah dan bercerai berai).
  Dikatakan al-jama’ah, karena golongan ini selalu memelihara kekompakan, kebersamaan dan kerukunan terhadap sesama.
  Meskipun terjadi perbedaan pandangan di kalangan mereka, perbedaan tersebut tidak melahirkan sikap saling membid’ahkan, memfasikkan dan mengkafirkan terhadap sesama mereka.
  Sikap saling mengkafirkan dan membid’ahkan dalam satu aliran justru telah menjadi trend di kalangan intern ulama wahabi.Dahulu orang wahabi membid’ahkan ,mengkufurkan dan mengatakan syirik terhaap kaum muslimin diluar golongan meeka .Namun kini ,mereka menyebarkan bid’ah dan kafir terhadap ulama sesama wahabi ,Misalnya ,Abdul Muhsin al-Abbad dari Madinah menganggap al-Albani berfaham murji’ah.Al-albani juga memvonis tokoh wahabi di Saudi Arabia yang mengkritiknya sebagai musuh tuhid dan Sunnah.Realita perpecahan tersebut menjadi bukti bahwa wahabi memang bukan pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah.

4.Golongan Mayoritas (al-Sawad al-A’dzom)

Dengan semakin jauhnya zaman kita saat ini dengan zamannya baginda Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam dan para sahabat, dan juga seiring dengan perkembangan dinamika masyarakat, maka dewasa ini sering kita lihat peselisihan di antara kaum muslimin sendiri. Terhadap permasalahan ini, Baginda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam sudah memberikan pedoman bagi kita agar mengikuti as-sawaad al-a’zhom (jama’ah kaum muslimin yang terbanyak), karena kesepakatan mereka (as-sawaad al-a’zhom) mendekati ijma’, sehingga kemungkinan keliru sangatlah kecil.

حدثنا العباس بن عثمان الدمشقي . حدثنا الوليد بن مسلم . حدثنا معاذ بن رفاعة السلامي . حدثني أبو خلف الأعمى قال سمعت أنس بن مالك يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم : يقول إن أمتي لا تجتمع على ضلالة . فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم

 “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (as-sawad al a’zham).”
(HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim.
Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
al-Imam as-Suyuthi rahimahullaah menafsirkan kata As-sawadul A’zhom sebagai sekelompok (jamaah) manusia yang terbanyak, yang bersatu dalam satu titian manhaj yang lurus. (Lihat: Syarah Sunan Ibnu Majah: 1/283). Menurut al-Hafidz al-Muhaddits Imam Suyuthi, As-Sawad Al-A’zhom merupakan mayoritas umat Islam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Atsqolani menukil perkataan Imam Ath-Thabari mengenai makna kata “jamaah” dalam hadits Bukhari yang berbunyi, “Hendaknya kalian bersama jamaah”, beliau berkata, “Jamaah adalah As-Sawad Al-A’zhom.” (Lihat Fathul Bari juz 13 hal. 37)
Ibnu Hajar al-Atsqolani pun memaknai “Jama’ah” sebagai As-Sawad Al-A’zhom (mayoritas umat Islam).
Hadits di atas juga senada dengan hadits yang masyhur dan shohih berikut ini

اختلفت اليهود على إحدى وسبعين فرقة سبعين من النار وواحدة في الجنة واختلفت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة إحدى وسبعون فرقة في النار وواحدة في الجنة وتختلف هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة اثنتان وسبعون في النار وواحدة في الجنة فقلنا : انعتهم لنا قال : السواد الأعظم

“Umat Yahudi terpecah menjadi 71 firqoh, 70 firqoh di neraka dan 1 firqoh di surga. Umat Nashoro terpecah menjadi 72 firqoh , 71 firqoh di neraka dan 1 firqoh di surga. Umat ini akan terpecah menjadi 73 firqoh, 72 firqoh di neraka dan 1 firqoh di surga.”
Kami (para sahabat) bertanya, “Tunjukkan sifatnya untuk kami.” Beliau menjawab, “As-Sawad Al-A’zhom.”
Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir juz 8 hal. 273 nomor 8.051.
Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Tirmidzi secara ringkas. Juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan rijalnya tsiqoh.” (Majma’ Az-Zawaid juz 6 hal. 350 nomor 10.436)
Begitu juga senada dengan hadits shohih berikut ini

لا يجمع الله أمر أمتى على ضلالة أبدا اتبعوا السواد الأعظم يد الله على الجماعة من شذ شذ فى النار

“Allah tidak akan membiarkan ummatku dalam kesesatan selamanya. Ikutilah As-Sawad Al-A’zhom. Tangan (rahmah dan perlindungan) Allah bersama jamaah. Barangsiapa menyendiri/menyempal, ia akan menyendiri/menyempal di dalam neraka.”
Diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Ibnu Abbas juz 1 hal. 202 nomor 398 dan dari Ibnu Umar juz 1 hal. 199 nomor 391 (Jami’ul Ahadits: 17.515)
Selanjutnya perhatikan juga hadits shohih berikut ini:

قال أبو أمامة الباهلي : عليكم بالسواد الأعظم

رواه عبد الله بن أحمد والبزار والطبراني ورجالهما ثقات

Abu Umamah Al-Bahili berkata, “Hendaknya kalian bersama As-Sawad Al-A’zhom. (golongan mayoritas umat Islam)”. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dan Al-Bazzar dan Ath-Thabrani, rijal mereka berdua tsiqoh. (Lihat Majma’uz Zawaid nomor 9.097)
Demikianlah nasehat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam kepada kita, agar kita mengikuti mayoritas umat Islam dan jangan menyendiri/menyempal, karena ancamannya neraka. Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam telah menjamin bahwa mayoritas umat Islam tidak mungkin berada dalam kesesatan, sebagai umat Islam sudah pasti kita wajib iman/percaya dan tidak ada keragu-raguan setitikpun pada beliau.
Semoga kita semua tergolong dalam kelompok As-Sawad Al-A’zhom (mayoritas umat Islam) yaitu kaum ahlussunnah wal jama’ah yang selalu berpedoman kepada Al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma’ wa al-Qiyas, yang kemudian pengamalan syari’atnya/fiqhnya berdasarkan salah satu dari 4 madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali), aqidahnya berdasarkan faham Asy’ariyah-Maturidiyah, dan ihsannya mengikuti Syekh Imam Abu Qosim Al-Junaidi Al-Baghdadi.

 
B.      Fikrah ASWAJA

1)      Aqidah

AKIDAH ASWAJA

Mukadimah

Umat Islam awalnya pada masa Rasulullah saw. adalah merupakan umat yang bersatu.Tidak terjadi perbedaan diantara mereka baik dalam akidah ataupun amaliyahnya yang sampai menyebabkan perpecahan dan fanatik dalam kelompok masing-masing.Begitu juga setelah Rasulullah wafat ,pada masa khalifah Abu bakar ra. yang kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Umar ra, tetap tidak tampak perpecahan di kalangan muslimin.Baru ketika masa khalifah Utsman Bin Affan ra. maka mulailah banyak terjadi perselisihan dan perpecahan .Disusul kemudian pada masa Khalifah Ali ra. perpecahan semakin meluas.Terbukti dengan terpecah belahnya umat menjadi beberapa kelompok yang masing-masing fanatik dengan pandangan dan pikirannya yang sarat dengan kepentingan.Mereka keluar dari pemerintahan Ali ra. dan mengibarkan bendera perpecahan dan peperangan.Mereka adalah golongan Khawarij yang sampai sekarang ajaran kelompok tersebut (khawarij) masih melekat pada orang yang menempuh jalan konsep mereka dan mengikuti pikiran,pandangan mereka.Kemudian ada lagi  kelompok lain yang muncul ,yaitu orang-orang yang berlebihan dalam mendukung Ali ra. dan mengkultuskannya ,yaitu kelompok Syiah.Faham mereka masih ada sampai sekarang dan melekat pada orang-orang yang menempuh jalan akidah mereka.Baik kelompok khawarij ataupun syiah masing-masing terpecah-pecah kembali menjadi beberapa kelompok,masing-masing mencari dukungan kepada umat muslimin untuk mengikuti pendapat dan mazhab mereka.Akhirnya perpecahan demi perpecahan terus terjadi dan mengakibatkan banyaknya kelompok-kelompok yang saling mengaku paling  haq dan benar.Ketika pada masa generasi tabi’in yang jumlahnya tinggal sedikit, muncul lagi golongan lain yang menamakan dirinya dengan Ahlu al Adli wa al Tauhid ,mereka adalah golongan Mu’tazilah.Sampai pada masa ini maka kemudian lahirlah golongan yang disebut dengan Ahlussunnah Wal Jamaah,yaitu golongan orang-orang yang konsisten dengan sunah Nabi saw dan Sahabatnya dalam masalah akidah,amal badaniyah (ibadah) dan ahlak qolbiyah (tasawuf).Selanjutnya dari mereka ada yang membidangi tentang pembahasan hujah-hujah (argumentasi) dan dalil  naqli maupun aqli dalam masalah akidah yang dikenal dengan sebutan  Al Mutakallimin atau Ulama Ahli Kalam (tauhid).Mereka yang mendalami bidang masalah ibadah,muamalah,munakahat,dan fatwa-fatwa hukum dan lainnya maka disebut dengan Fuqoha atau Ulama ahli fikih. Mereka yang mendalami bidang hadits dengan mengumpulkan hadis-hadis nabawi dan menjelaskan mana yang  hadits sahih dan mana yang tidak, maka dikenal dengan Al Muhadditsin atau Ulama Ahli hadits.Dan mereka yang membidangi masalah amaliyah lahir dan ahlak budi pakerti maka disebut Ulama Ahli Tasawuf. Ibnu.


Khaldun dalam mukadimahnya menjelaskan: “Dikalangan mujtahid terjadi  banyak perbedaan pendapat dalam masalah hukum fikih yang disebabkan karena perbedaan cara pandang dan pendapat mereka,sehingga perbedaan mesti terjadi.Tetapi hal itu justru menjadikan luasnya agama pada waktu itu .“ Pada masa itu orang-orang awam bisa taklid (mengikuti) pendapatnya mujtahid manapun yang mereka kehendaki.Ketika pada akhirnya mazhab hanya tinggal empat maka berdasarkan husnudzon kepada mereka umat Islam terbatas hanya dapat taklid kepada empat mazhab saja.Untuk itu maka disepakatilah empat mazhab ini dijadikan sebagai ushul (dasar) pedoman umat Islam dalam beragama.Keempat ulama mazhab tersebut meskipun dikenal luas sebagai ahli fikih,tetapi sebenarnya merekapun sudah sempurna dalam bidang ilmu tauhid,hadits dan tasawuf.Alasan kenapa mereka memfokuskan pada bidang ilmu fikih adalah karena pada masa itu yang menjadi kebutuhan urgen adalah bidang fikih.Sedangkan penyelewengan akidah dan segala penyakitnya pada waktu itu walaupun sudah ada tetapi belum meluas sehingga dianggap membahayakan umat.Akan tetapi ketika periode mazhab empat telah lewat ternyata penyelewengan akidah bertambah parah dan semakin menyebar luas  ke segala penjuru dunia Islam.Akhirnya muncullah ulama-ulama dari penerus mazhab empat yang menjadi benteng  yang kokoh dalam membela dan mempertahankan akidahnya,yaitu akidah yang semenjak dulu  menjadi akidahnya para  salafussalih.Dari mereka muncul dua Ulama ahli kalam yaitu Imam Abu Hasan Al Asy ari dan Imam Abu Manshur Al Maturidi.Keduanya mampu membentengi ajaran-ajaran peninggalan   Nabi saw dan para Sahabatnya ra . Imam Abu Hasan Al Asyari bermazhab Syafiiy ,sedangkan Imam Abu Manshur Al Maturidi bermazhab Hanafi.Kedua imam tersebut akhirnya mendapat tempat di hati mayoritas umat Islam dan akhirnya mazhab keduanya tersebut dipilih sebagai mazhab dalam bidang akidah dan dikenal sebagai golongan Asyariyah dan Maturidiyah. Untuk membedakan golongan tersebut dari mu’tazilah dan lainnya ,maka dikalangan Ulama Ahlul Ilmi para  pengikut  Asy’ary dan Maturidi dikenal dengan sebutan golongan  Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Pengikut Abu Hasan Al Asy’ari dari zaman Rasulullah saw. sudah disinggung kebenarannya sebagaimana riwayat Hadis :

عَنْ عِيَاضْ اْلأَشْعَرِيِّ قَالَ : لَمَّا نَزَلَتْ فَسَوْفَ يَأتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ ويحبونه(المائدة : 54) ) قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: هُمْ قَوْمُ هَذَا، وَأَشَارَ إِلَى أَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ ( رواه الحاكم في المستدرك وصححه.)

قَالَ الْقُشَيْرِيُّ: فَأَتْبَاعُ أَبِي الْحَسَنِ مِنْ قَوْمِهِ، لأَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ أُضِيْفَ فِيْهِ قَوْمٌ إِلَى نَبِيٍّ أرِيْدَ بِهِ اْلاَتْبَاعُ. (تفسير القرطبي).

       Iyadh al-Asy'ari  berkata: "Ketika ayat, "Allah I akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya", maka Rasulullah saw bersabda sambil menunjuk kepada Abu Musa al-Asy'ari: "Mereka adalah kaumnya laki-laki ini".
Al-Qusyairi berkata: "Pengikut madzhab Abi al-Hasan al-Asy'ari termasuk kaum Abu Musa al-Asy'ari, karena setiap terjadi penisbahan kata kaum terhadap seorang nabi di dalam al-Qur'an, yang dimaksudkan adalah pengikutnya." (Tafsir Al Qurthubi)

Begitu pula terdapat kecocokan akidah mazhab Al Asy’ari dengan akidahnya sahabat dalam   kisah perdebatan antara Amru bin Ash dengan Abu Musa Al Asy’ari,bahwa pernah Amru bin Ash bertanya  kepada Abu Musa Al Asy’ari ,” Apa mungkin Allah mentakdirku berbuat sesuatu,kemudian aku disiksa karenanya ? “  Jawab Abu Musa Al Asy’ari ,”Ya.” Amru bin Ash bertanya kembali ,”menghapa bisa seperti itu ?” Jawab Abu Musa ,”Karena Allah berbuat yang demikian itu kepadamu tidaklah zalim (aniaya)”.Akhirnya Amru bin Ash terdiam tidak bisa membantah.(Al Milal wa Al Nihal:Al Syahrastani :hal.94-Darul Fikr-)

KONTEKSTUALISASI SIFAT WAJIB DUA PULUH BAGI ALLAH

Dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah ada konsep sifat 20 yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap orang Muslim. Akhir-akhir ini ada sebagian kelompok yang mempersoalkan sifat 20 tersebut dengan beberapa alasan, antara lain alasan tidak adanya teks dalam al-Qur'an dan hadits yang mewajibkan mengetahui sifat 20. Bahkan dalam hadits sendiri diterangkan bahwa nama-nama Allah (al-Asma' al-Husna) jumlahnya justru 99. Dari sini muncul sebuah gugatan, mengapa sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui itu hanya 20 saja, bukan 99 sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma' al-Husna? Sebagaimana yang sering dilontarkan oleh seorang tokoh Wahhabi di Radio lokal.

Para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah dalam menetapkan konsep sifat 20 tersebut sebenarnya berangkat dari kajian dan penelitian yang mendalam. Ada beberapa alasan ilmiah dan logis yang dikemukakan oleh para ulama tentang latar belakang konsep wajibnya mengetahui sifat 20 yang wajib bagi Allah, antara lain:

Pertama, setiap orang yang beriman harus meyakini bahwa Allah SWT wajib memiliki semua sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan-Nya. Ia harus meyakini bahwa Allah mustahil memiliki sifat kekurangan yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Ia harus meyakini pula bahwa Allah boleh melakukan atau meninggalkan segala sesuatu yang bersifat mungkin seperti menciptakan, mematikan, menghidupkan dan lain-lain. Demikian ini adalah keyakinan formal yang harus tertanam dengan kuat dalam hati sanubari setiap orang yang beriman.

Kedua, para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah sebenarnya tidak membatasi sifat-sifat kesempurnaan Allah dalam 20 sifat. Bahkan setiap sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan Allah, sudah barang tentu Allah wajib memiliki sifat tersebut, sehingga sifat-sifat Allah itu sebenarnya tidak terbatas pada 99 saja sebagaimana dikatakan al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi:

وَقَوْلُه صلى الله عليه وسلم :
« إِنَّ للهِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا » لاَ يَنْفِيْ غَيْرَهَا ، وَإِنَّمَا أَرَادَ وَاللهُ أَعْلَمُ أَنَّ مَنْ أَحْصَى مِنْ أَسْماَءِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.
Sabda Nabi SAW: "Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan Nama", tidak menafikan nama-nama selainnya. Nabi saw bermaksud –wallahu a'lam-, bahwa barangsiapa yang memenuhi pesan-pesan sembilan puluh sembilan nama tersebut akan dijamin masuk surga. (al-Baihaqi, al-I'tiqad 'ana Madzhab al-Salaf, hal. 14).

Pernyataan al-Hafizh al-Baihaqi di atas bahwa nama-nama Allah SWT sebenarnya tidak terbatas dalam jumlah 99 didasarkan pada hadits shahih:

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ، قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ ... أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ بَصَرِيْ، وَجَلاَءَ حَزَنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ.
Ibn Mas'ud berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Ya Allah, sesungguhnya aku hamba-Mu… Aku memohon dengan perantara setiap Nama yang Engkau miliki, baik Engkau namakan Dzat-Mu dengan-Nya, atau Engkau turunkan nama itu dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang di antara makhluk-Mu, dan atau hanya Engkau saja yang mengetahui-Nya secara ghaib, jadikanlah al-Qur'an sebagai taman hatiku, cahaya mataku, pelipur laraku dan penghapus dukaku." (HR. Ahmad, Ibn Hibban, al-Thabarani dan al-Hakim).

Ketiga, para ulama membagi sifat-sifat khabariyyah, yaitu sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur'an dan hadits seperti yang terdapat dalam al-Asma' al-Husna, terbagi menjadi dua. Pertama, Shifat al-Dzat, yaitu sifat-sifat yang ada pada Dzat Allah SWT, yang antara lain adalah sifat dua puluh. Dan kedua, Shifat al-Af'al, yaitu sifat-sifat yang sebenarnya adalah perbuatan Allah SWT, seperti sifat al-Razzaq, al-Mu'thi, al-Mani', al-Muhyi, al-Mumit, al-Khaliq dan lain-lain. Perbedaan antara keduanya, Shifat al-Dzat merupakan sifat-sifat yang menjadi Syarth al-Uluhiyyah, yaitu syarat mutlak ketuhanan Allah, sehingga ketika Shifat al-Dzat itu wajib bagi Allah, maka kebalikan dari sifat tersebut adalah mustahil bagi Allah. Sebagai contoh, misalhnya ketika Allah SWT bersifat baqa' (kekal), maka Allah SWT mustahil bersifat kebalikannya, yaitu fana'.

Dari sini para ulama menetapkan bahwa Shifat al-Dzat ini bersifat azal (tidak ada permulaan) dan baqa' (tidak berakhiran) bagi Allah. Hal tersebut berbeda dengan Shifat al-Af'al. Ketika Allah memiliki salah satu di antara Shifat al-Af'al, maka kebalikan dari sifat tersebut tidak mustahil bagi Allah, seperti sifat al-Muhyi (Maha Menghidupkan) dan kebalikannya al-Mumit (Maha Mematikan), al-Dhar (Maha Memberi Bahaya) dan kebalikannya al-Nafi' (Maha Memberi Manfaat), al-Mu'thi (Maha Pemberi) dan kebalikannya al-Mani' (Maha Pencegah) dan lain-lain. Di samping itu para ulama juga mengatakan bahwa Shifat al-Af'al itu baqa' (tidak berakhiran) bagi Allah, namun tidak azal (ada permulaan).

Keempat, dari sekian banyak Shifat al-Dzat yang ada, sifat dua puluh dianggap cukup dalam mengantarkan seorang Muslim pada keyakinan bahwa Allah memiliki segala sifat kesempurnaan dan Maha Suci dari segala sifat kekurangan. Di samping substansi sebagian besar Shifat al-Dzat yang ada sudah ter-cover dalam sifat dua puluh tersebut yang ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur'an, sunnah dan dalil 'aqli.

Kelima, sifat dua puluh tersebut dianggap cukup dalam membentengi akidah seseorang dari pemahaman yang keliru tentang Allah SWT. Sebagaimana dimaklumi, aliran-aliran yang menyimpang dari faham Ahlussunnah Wal-Jama'ah seperti Mu'tazilah, Musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah SWT dengan makhluk), Mujassimah (kelompok yang berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat makhluk), Karramiyah dan lain-lain menyifati Allah dengan sifat-sifat makhluk yang dapat menodai kemahasempurnaan dan kesucian Allah. Maka dengan memahami sifat wajib dua puluh tersebut, iman seseorang akan terbentengi dari keyakinan-keyakinan yang keliru tentang Allah. Misalnya ketika Mujassimah mengatakan bahwa Allah itu bertempat di Arsy, maka hal ini akan ditolak dengan salah satu sifat salbiyyah yang wajib bagi Allah, yaitu sifat qiyamuhu binafsihi (Allah wajib mandiri).

Ketika Musyabbihah mengatakan bahwa Allah memiliki organ tubuh seperti tangan, mata, kaki dan lain-lain yang dimiliki oleh makhluk, maka hal itu akan ditolak dengan sifat wajib Allah berupa mukhalafatuhu lil-hawadits (Allah wajib berbeda dengan hal-hal yang baru). Ketika Mu'tazilah mengatakan bahwa Allah Maha Kuasa tetapi tidak punya qudrat, Maha Mengetahui tetapi tidak punya ilmu, Maha Berkehendak tetapi tidak punya iradat dan lain-lain, maka hal itu akan ditolak dengan sifat-sifat ma'ani yang jumlahnya ada tujuh yaitu qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama', bashar dan kalam. Demikian pula dengan sifat-sifat yang lain.


2)       Syari’at

            Mazhab empat adalah merupakan representasi dari empat kelompok ulama’ yaitu kelompok Ahli hadis,ahli tasawuf dan ahli kalam Asy’ari dan Maturidi.Maka ketika orang tidak bertaklid kepada salah satu dari empat mazhab tadi dengan sendirinya ia ada diluar Ahlussunnah wal jama’ah.Karena orang atau kelompok tersebut tidak memenuhi  unsur dari ahli hadis,tasawuf ,ahli  tauhid mazhab asy’ari dan maturidi.Tidak termasuk ahli hadis karena mereka sangat jauh dari syarat-syarat menjadi ahli hadis.Mengetahu hadis hanya sebatas mendengarkan saja belum dikategorikan ahli hadis dan tidak bisa diambil ilmunya.Ibnu Al Subuki dalam kitabnya Mu’idu al Ni’am wa Mubidu al Niqam menjelaskan “Al Muhaddis (ahli hadis) adalah orang yang mengetahui dan hafal asanid (matarantai hadis) dan ilal dan nama-nama periwayat hadis ,mengetahui al‘ali (sanad tertinggi) dan al nazil (sanad terendah),hafal banyak matan hadits dan mendengar langsung dari guru-ke guru kutub Al sitah (kitab enam) ,musnad nya Imam ahmad,kitab sunan Al Baihaqi,Mu’jam Al Tahabarani.Untuk itu orang-orang yang mencampakkan mazhab empat dan mengaku akan mengambil langsung dari hadis padahal mereka tidak memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan maka secara urfi tidak digolongkan sebagai ahli hadis.Tidak termasuk ahli tasawuf,karena mereka yang menolak bermazhab umumnya adalah orang-orang yang  sangat keras menolak ajaran tasawuf.Kemudian mereka bukan pengikut Asy’ari ataupun Maturidi karena Mazhab empat semuanya satu faham  dalam masalah akidahnya dengan Imam Al Asy ari atau Al Maturidi.Maka dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak taklid dengan salah satu mazhab empat maka dengan sendirinya mereka tidak berfaham Asy’ari ataupun Maturidi.Jika seseorang tidak memenuhi keempat unsur tadi maka secara ‘urfi tidak bisa dikatakan sebagai Ahlussunnah Wal Jama’ah.  
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam lapangan syare’at menggunakan dalil-dalil Al qur an ,Hadis ,Ijmak dan kiyas sebagai dasar amaliyahnya.

3)       Tasawuf

 DR.Sayid Muhammad Alawi Al Maliki dalam kitabnya Mafahim Yajibu an Tushohaha, menjelaskan sebagai berikut :

 

 

AJAKAN PARA A-IMMAT AT-TASHAWWUF 

UNTUK BERAMAL DENGAN SYARI’AT


Tasawwuf, merupakan obyek yang teraniaya dan senantiasa dicurigai, sangat minim mereka yang bersikap adil dalam menyikapinya. Justru sebagian kalangan dengan keterlaluan dan tanpa rasa malu mengkategorikannya dalam daftar karakter negatif yang mengakibatkan gugurnya kesaksian dan lenyapnya sikap adil, dengan mengatakan, “Fulan bukan orang yang bisa dipercaya dan informasinya ditolak.” Mengapa? Karena ia seorang sufi.
Anehnya, saya melihat sebagian mereka yang menghina tasawwuf, menyerang dan memusuhi pengamal tasawwuf bertindak dan berbicara tentang tasawwuf, kemudian tanpa sungkan mengutip ungkapan para imam tasawwuf dalam khutbah dan ceramahnya di atas mimbar-mimbar Jum’at kursi-kursi pengajaran. Dengan gagah dan percaya diri ia mengatakan, “Berkata Fudhail ibn ‘Iyadh, al-Junaid, al-Hasan al-Bashri, Sahl at-Tusturi, al-Muhasibi, dan Bisyr al-Hafi.” 
Mereka semua (Fudhail ibn ‘Iyadh, al-Junaid, al-Hasan al-Bashri, Sahl at-Tusturi, al-Muhasibi, dan Bisyr al-Hafi) adalah tokoh-tokoh tasawwuf yang kitab-kitab tasawwuf mereka penuh dengan ucapan, informasi, kisah-kisah teladan, dan karakter mereka. Jadi, saya tidak mengerti, apakah ia bodoh atau pura-pura bodoh? Buta atau pura-pura buta?
Saya ingin mengutip pandangan para imam tasawwuf menyangkut syari’ah Islam agar kita mengetahui sikap mereka sesungguhnya. Karena yang wajib adalah kita mengetahui seseorang lewat pribadinya sendiri dan manusia adalah orang terbaik yang berbicara mengenai pandangannya dan yang paling dipercaya mengungkapkan apa yang dirahasiakan.
Al-Imam Junaid radhiyallaah ‘anhu berkata: “Semua jalan telah tertutup bagi makhluk kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah, sunnahnya dan setia pada jalan ditempuh beliau. Karena semua jalan kebaikan terbuka untuk Nabi dan mereka yang mengikuti jejak beliau.
Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Yazid al-Busthomi suatu hari berbicara pada para muridnya, “Bangunlah bersamaku untuk melihat orang mempopulerkan dirinya sebagai wali.” Lalu Abu Yazid dan murid-muridnya berangkat untuk mendatangi wali tersebut. Kebetulan wali tersebut hendak menuju masjid dan meludah ke arah kiblat. Melihat hal demikian Abu Yazid pun berbalik pulang dan tidak memberi salam. Kata Abu Yazid: “Orang ini tidak dapat dipercaya atas satu etika dari beberapa etika Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam maka bagaimana mungkin ia dapat dipercaya atas klaimnya tentang kedudukan para wali dan shiddiqin?“ .
Dzunnun al-Mishri berkata, “Poros dari segala ungkapan (madar al- Kalam) ada empat: Cinta kepada Allah Yang Maha Agung, benci kepada yang sedikit, mengikuti al-Quran, dan khawatir berubah menjadi orang celaka. Salah satu indikasi orang yang cinta kepada Allah adalah mengikuti kekasih Allah yaitu Rasulullaah shallallaah ‘alaih wa sallam dalam budi pekerti, tindakan, perintah dan sunnahnya.”
As-Sirri as-Siqthi berkata, “Tasawwuf adalah identitas untuk tiga makna; Shufi(pengamal tasawwuf) adalah orang yang cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya, tidak berbicara menggunakan bathin menyangkut ilmu yang bertentangan dengan pengertian lahiriah al-Kitab dan as-Sunnah, dan karomahnya tidak mendorong ia untuk menyingkap tabir-tabir keharaman Allah Ta’aala”
Abu Nashr Bisyr ibn al-Harits al-Haafi berkata, “Saya bermimpi bertemu Nabi shallallaah ‘alaih wa sallam: “Wahai Bisyr, tahukah kamu kenapa Allah meninggikan derajatmu mengalahkan teman-temanmu?  Tanya Beliau.“Tidak tahu, Wahai Rasulullah,” Jawabku. “Sebab Engkau mengikuti sunnahku, mengabdi kepada orang salih, memberi nasihat pada teman-temanmu dan kecintaanmu kepada para sahabat dan keluargaku. Inilah faktor yang membuatmu meraih derajat orang-orang yang baik (Abror).”
Abu Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur al-Bushthomi berkata, “Sungguh terlintas di hatiku untuk memohon kepada Allah Ta’aala agar mencukupi biaya makan dan biaya perempuan, kemudian saya berkata. “Bagaimana boleh saya memohon ini kepada Allah Ta’aala padahal Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam tidak pernah memohon demikian.” Akhirnya saya tidak memohon ini kepada Allah Ta’aala. Kemudian Allah Ta’aala mencukupi biaya para perempuan hingga saya tidak peduli, apakah perempuan menghadapku atau tembok.”
Abu Yazid juga pernah berkata, “Jika engkau memandang seorang laki-laki diberi beberapa karomah hingga ia mampu terbang di udara, maka janganlah engkau tertipu sampai engkau melihat bagaimana sikapnya menghadapi perintah dan larangan Allah, menjaga batas-batas yang digariskan Allah dan pelaksanaannnya terhadap syari’ah.”
Sulaiman Abdurrahaman ibn ‘Athiah ad-Darani berkata, “Terkadang, selama beberapa hari terasa di hatiku satu noktah dari beberapa noktah masyarakat. Saya tidak menerima isi dari hati saya kecuali dengan dua saksi adil ; al-Qur’an dan as-Sunnah.
Abul Hasan Ahmad ibn Abi al-Hawari berkata, “Siapapun yang mengerjakan perbuatan tanpa mengikuti sunnah Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam maka perbuatan itu sia-sia.”
Abu Hafsh Umar ibn Salamah al-Haddaad berkata, “Barangsiapa yang tidak mengukur semua tindakannya setiap saat dengan al-Kitab dan as-Sunnah, dan tidak berburuk sangka dengan apa yang terlintas dalam hatinya, maka janganlah ia dimasukkan dalam daftar para tokoh besar (diwan ar-Rijal).
Abul Qasim al-Junaid ibn Muhammad berkata, “Siapapun yang tidak memperhatikan al-Qur’an dan tidak mencatat al-Hadits, ia tidak bisa dijadikan panutan dalam bidang ini (tasawwuf), karena ilmu kita dibatasi dengan al-Kitab dan as-Sunnah.” 
Ia juga berkata, “ Madzhabku ini dibatasi dengan prinsip-prinsip al-Kitab dan as-Sunnah dan ilmuku ini dibangun di atas fondasi hadits Rasulullah Shollallah ‘alaih wa sallam”
Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail al-Hairi berkata, “Saat sikap Abu Utsman berubah, maka anaknya, Abu Bakar merobek-robek qamis yang melekat pada tubuhnya, lalu Abu ‘Utsman membuka matanya dan berkata, “Wahai anakku, mempraktekkan sunnah dalam penampilan lahiriah itu indikasi kesempurnaan batin.”
Ia juga berkata, “Bersahabat dengan Allah Ta’aala itu harus dengan budi pekerti yang luhur dan senantiasa takut kepadaNya. Bersahabat dengan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam itu harus dengan mengikuti sunnahnya dan senantiasa mempraktekkan ilmu lahiriah. Bersahabat dengan para wali itu harus dengan menghormati dan mengabdi. Bersahabat dengan keluarga itu dengan budi pekerti yang baik. Bersahabat dengan kawan-kawan itu dengan senantiasa bermuka manis sepanjang bukan perbuatan dosa. Dan bersahabat dengan orang bodoh itu dengan mendoakan dan rasa belas kasih.”
Ia juga berkata, “Barangsiapa yang memposisikan as-Sunnah sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan hikmah. Dan barangsiapa memposisikan hawa nafsu sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan bid’ah.  Allah Ta’aala berfirman:  

وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا

Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. an-Nur:54)
Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad an-Nawri mengatakan, “Jika engkau melihat orang yang mengklaim kondisinya bersama Allah Ta’aala yang membuatnya terlepas dari batasan ilmu syari’at maka janganlah engkau mendekatinya.”
Abul Fawaris Syah ibn Syuja’ al-Karmani berkata, “Barangsiapa memejamkan matanya dari hal-hal yang diharamkan, mengendalikan nafsunya dari syahwat, menghidupkan bathinnya dengan senantiasa merasakan kehadiran Allah Ta’aala (muraqabat) dan menghidupkan keadaan lahiriahnya dengan mengikuti sunnah, dan membiasakan diri memakan barang halal, maka firasatnya tidak akan meleset.”
Abul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Sahl ibn Atha’ mengatakan,“Barangsiapa menekan dirinya untuk mengamalkan etika-etika syari’at maka Allah Ta’aala akan menerangi hatinya dengan cahaya ma’rifat dan dianugerahi kedudukan mengikuti al-Habib Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam dalam segala perintah, larangan dan budi pekerti beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam.”
Ia juga mengatakan, “Semua yang ditanyakan kepadaku carilah pada belantara syari’at. Jika engkau tidak menemukannya, carilah di medan hikmah. Jika tidak menemukannya, takarlah dengan tauhid. Dan jika tidak menemukannya di tiga tempat pencarian ini, maka lemparkanlah ia ke wajah setan.”
Abu Hamzah al-Baghdadi al-Bazzar mengatakan, “Siapapun yang mengetahui jalan Allah Ta’aala maka Dia akan memudahkan untuk menempuhnya. Dan tidak ada petunjuk jalan menuju Allah Ta’aala kecuali mengikuti Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam dalam sikap, tindakan dan ucapan beliau.”
 
Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud ar-Ruqi mengatakan, “ Indikator cinta kepada Allah Ta’aala adalah dengan memprioritaskan ketaatan kepada Allah Ta’aala dan mengikuti NabiNya Shollallah ‘alaih wa sallam”
Mumsyad ad-Dainuri berkata, “Etika murid adalah selalu dalam keadaan menghormati masyayikh (guru), membantu kawan-kawan, terlepas dari faktor-faktor penyebab, dan menjaga etika syari’at untuk dirinya.”
Abu Muhammad Abdullah ibn Munazil berkata, “Tidak ada seseorangpun yang menelantarkan salah satu kefardhuan Allah Ta’aala kecuali Allah Ta’aala akan menimpakan musibah dengan menyia-nyiakan sunnah. Dan Allah Ta’aala tidak menimpakan musibah seseorang dengan menelantarkan sunnah kecuali ia hendak diberi musibah dengan bid’ah.”


Sufi adalah orang yang beramal ibadah dengan ihlas dengan berdasarkan ilmu

C.     Ajaran dan  Cirikhas ASWAJA

AJARAN-AJARAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

Diantara ajaran Ahlussunnah adalah:
1. Megimani dan mengamalkan semuaq yang datang dari Rosulillah saw. Baik yang tercantum di al-Qur’an ataupun di Hadits sebagai bukti dari sikap ‘ubudiyyah pada Allah SWT.
2. Tidak mencaci makai para Sahabat Nabi, tetapi menghormati dan memintakan ampunan untuk mereka.
3. Bersedia untuk taqlid pada Ijtihad para Ulama’ Madzahib dalam berbagai masa’il diniyah fiqhiyyah, disamping mempelajari dalil-dalilnya.
4. Mengimani ayat-ayat mutasyabihat tanpa berusaha untuk mena’wil yang sampai pada batas mentasybihan maupun penta’thilan (menafikan sifat-sifat Allah)
5. Meyakini bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah al-Qadim, tidak makhluk dan tidak mengalami perubahan.
6. Tidak beranggapan bahwa Imamah adalah rukum Iman, namun sebagai kewajiban / dlarurah ‘aammah demi kemashlahatan ummat untuk menjalankan syari’at Islam.
7. Mengakui kekhilafan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali).
8. Mencintai ahlul bait Rasulullah SAWdengan tanpa lewat jalur Syi’ah (dibatasi pada 12 imam dan mengkafir-kafirkan sahabat).
9. Mempercayai bahwa besok di Akhirat orang mu’min dapat melihat Allah SWT sebagaimana dalam firman-firmanNya.
10. Tidak mengingkari pada bolehnya tawassul dan adanya karomah Auliya’.
11. Tidak membenarkan ajaran taqiyyah, yakni melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan nurani hanya untuk menipu ummat Islam.
12. Percaya bahwa sebaik kurun / periode adalah masa Rasulullah SAW setelah itu adalah Sahabatnya, setelahnya adalah Tabi’in…Tabi’it Tabi’in … dan seterusnya.
Dan masih banyak beberapa ajaran Ahlussunnah yang tercantum dalam kitab-kitab salaf. Untuk itu, bagi kalangan pesantren (khususnya) dan warga nahdliyyin (umumnya), kamu mohon untuk mengkaji kitab Sulam Taufiq, ‘Aqidatul Awwam, al-Jawahirul Kalamiyyah, Jauharotul Tauhid, al-Hushunul Hamidiyyah, al-Aqidah at Thohawiyyah, an-Nashaa’ihud Diiniyyah, Riyadlus Sholihin, Ibnu Abi Jamroh, Adzkaarun Nawaawi, Tasiirul Jalalain, dan lain sebagainya. Dan sebagai permohonan, kami persilahkan para tokoh masyarakat untuk menelaah kitab Syawahidul Haq dan kitab al-Asaaliib al-Badi’ah, Addurul Fariid Syarah Jauharotut Taukhid dan juga kitab hadits tafsir yang kesemuanya menutur jelas akan fadloilus Shohabah. Rodliyallahu ‘anhum ajma’in.

Budaya yang merupakan ciri khas Ahlussunnah adalah:

1.
Meramaikan bulan suci Romadlon dengan pengkajian kitab-kitab Hadits, Tafsir maupun lainnya serta bertadarus al-Qur’an dan sholat Tarawih.
2.
Menjalankan qunut subuh biarpun terdapat khilafiyyah antara para Ulama’ dalam masalah tersebut.
3.
Menempatkan putra-putri sunniyyin di pondok-pondok pesantren maupun madrasah diniyyah untuk mengkaji dan menghidupkan ilmu agama.
4.
Adanya beberapa thoriqoh demi taqorrub ilalloh, namun dengan syarat tidak terjadi ikhtilath antara lelaki dan perempuan atau fanatik berlebihan.
5.
Memperhatikan jama’ah sholat fardlu di Masjid dan surau-surau pada awwal waktu, dan harus ikhlas serta khusyu’ didalam menjalankanya.
6.
Ziarah kubur Auliya’ untuk bertawassul dengan tanpa adanya hal-hal munkar, Tahlilan, Berzanjenan dan manaqiban, namun dengan syarat tidak berlebihan dalam I’tiqodnya pada syekh Abdul Qodir, seperti membaca dengan serentak “Syekh Abdul Qodir Waliyulloh” setelah membaca dua kalimat Syahadat. Dan amalan-amalan di atas tidaklah budaya Syi’ah, sebab ziarahnya orang syi’ah tidak memakai bacaan ayat-ayat al-Qur’an, juga tidak membaca tahlil tasbih tahmid, bisanya cuma memberi kata-kata pujaan berlebihan pada Imam-imam mereke. Dan dalam berzanji maupun diba’ disebutkan pujian terhadap sahabat Nabi SAW. Di samping itu, Syekh ad-Dziba’I mempunyai kitab hadits bernama Taisirul Wushul yang di dalamnya disebutkan fadloilus shohabat, dan shohabat Abu Bakar ditempatkan pada peringkat pertama. Sedangkan Qoshidah نحن جيران بذا الحرم إلخ  itu adalah milik al-Habib Abdulloh al-Haddad yang telah kami nukilkan aqidahnya yang berhaluan ahlussunnah wal jama’ah.
7.
Menyantuni anak yatim, faqir miskin maupun para janda yang punya anak banyak, serta melindungi mereka dari penindasan.
8.
Bagi alumni pesantren hendaknya sering sowan kepada gurunya untuk konsultasi dengan memohon petunjuk di dalam menjalankan da’wahnya. Demikian pula bagi para kiainya hendaknya mengunjungi / mengecek mereka; apakah benar-benar sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.
9.
Takbiran pada malam hari raya dengan tanpa diikuti penabuhan beduk. Sebab mengiringi dzikrulloh dengan tabuhan adalah  bid’ah. Apalagi aalatul malaahi.
10.
Mempermudah urusan Haji dan Umroh sehingga tidak menimbulkan keresahan dikalangan kaum Muslimin.
11.
Mengadakan bahtsul masa’il dengan dihadiri tokoh yang benar-benar ahli dalam bidang agama. Mengamalkan ru’yatul hilal untuk mengetahui awwal Romadlon dan Syawwal.
12.
Mendirikan paguyuban keluarga demi mempererat persaudaraan.
13.
Menghafalkan al-Qur’an dengan memperhatikan tajwidnya, dan lain sebagainya.

BAB II    DASAR-DASAR AMALIYAH NAHDLIYAH (TRADISI NU)
A.      Pengertian Bid’ah




A. PENGERTIAN BID’AH

Bid’ah secara bahasa adalah setiap perbuatan yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. (Abu al-Baqa’ al-Kafawi, al-Kulliyyat, hal. 226).
وقال النووي في تهذيب الأسماء واللغات: البدعة بكسر الباء، في الشرع، هي إحداث ما لم يكن في عهد
الرسول صلى الله عليه وسلم، وهي منقسمه إلى حسنة وقبيحة
Bid’ah menurut istilah syari’at: melakukan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah . (al-Imam al-Nawawi, Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat).
Al-Imam  al-Nawawi: Hadits  وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ “Semua bid’ah adalah sesat”, adalah teks general, yang jangkauan hukumnya dibatasi (عام مخصوص ), yakni maksudnya sebagian besar bid’ah itu sesat. (Al-Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 6, hal. 154).
Al-Imam al-Nawawi: Hadits الحديث   مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا “Barang siapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam ...”, adalah mentahsis atau membatasi terhadap jangkauan hukum hadits yang berbunyi : وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة “setiap perkara baru adalah bid’ah , dan setiap bid’ah adalah sesat”. (Al-Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 7, hal. 104).
Jadi dapat disimpulkan bahwa arti hadis tersebut adalah :Sebagian besar bid’ah “yang tidak baik saja” itu adalah sesat.Adapun yang baik tidaklah sesat.Karena lafadz bid’ah pada hadis tadi adalah menurut pengertian  lughowi/bahasa ,yaitu  setiap perbuatan yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Bukan arti yang menurut syari’at .

Ulama’-ulama’ yang berpendapat adanya pembagian bid’ah antara lain :
-Al-Imam al-Syafi’i: Bid’ah terbagi dua, 1) bi’ah mahmudah, yaitu bid’ah yang seesuai dengan sunnah dan 2) bid’ah madzmmah, yaitu bid’ah yang menyalahi sunnah. (Abu -Nu’aim al-Ashfihai, Hilyah al-Auliya’, 9/113)
-Al-Imam al-Syafi’i: Muhdatsat (bid’ah) ada dua macam, 1) bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, atsar atau ijma’, maka disebut bid’ah dhalalah (tersesat), dan 2) bid’ah dalam kebaikan yang tidak menyalai hal tersebut, maka  disebut bid’ah yang tidak tercela. (al-Baihaqi, Manaqib al-Syai’i, juz 2 hal. 469).
-Al-Imam al-Syafi’i: Muhdatsat (bid’ah) ada dua macam, 1) bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, atsar atau ijma’, maka disebut bid’ah dhalalah (tersesat), dan 2) bid’ah dalam kebaikan yang tidak menyalai hal tersebut, maka  disebut bid’ah yang tidak tercela. (al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, juz 10 hal. 70).
-Al-Imam al-Syafi’i: Muhdatsat (bid’ah) ada dua macam, 1) bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, atsar atau ijma’, maka disebut bid’ah dhalalah (tersesat), dan 2) bid’ah dalam kebaikan yang tidak menyalai hal tersebut, maka  disebut bid’ah yang tidak tercela. (al-Hafizh Ibn Hajar, Fath al-Bari, juz 17 hal. 134-135).
-Al-Shan’ani: “Bid’ah terbagi lima, wajib, mandub, mubah, haram dan makruh.” (Subul al-Salam, juz 2, hal. 148).
-Al-Syaukani: “Bid’ah ada dua, hasanah dan qabihah. Lalu bid’ah terbagi menjadi lima.” (Nail al-Authar).
-Ibn Taimiyah: “Bid’ah ada dua, bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah.” (Ibn Taimiyah, Majmu’ Fatawa Saikh al-Islam Ibn Taimiyah, juz 20, hal. 163)
dan masih banyak lagi lainnya.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa para Ulama telah ittifaq /sepakat pada pembagian bid’ah menjadi mahmudah (terpuji) dan mazmumah (tercela).Hanya Imam Syatibi dalam kitab I’tishamnya yang menolak pembagian bid’ah tersebut.Tetapi beliau tetap mengakui bahwa dalam bid’ah ada yang wajib dan sunah .Hanya saja beliau menyebutnya sebagai “maslahah mursalah”.Jadi khilaf disini sebenarnya hanya lafadznya /sebutannya saja.Bahwa bid’ah yang wajib bukanlah bid’ah hasanah,tetapi disebutnya sebagai “al maslahah” .Jadi ,intinya tidak ada perbedaan.

Dalam surat al-Hadid, 27, Allah tidak mencela Bani Israil karena membuat-buat tradisi rahbaniyah dengan tujan mencari ridha Allah. Bani Israil dicela karena meninggalkan tradisi rahbaniyah yang telah mereka tetapkan. (Al-Hafizh al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, juz  3, hal. 339).Firman Allah :
§NèO $uZøŠ¤ÿs% #n?tã NÏd̍»rO#uä $oYÎ=ßãÎ/ $uZøŠ¤ÿs%ur |¤ŠÏèÎ/ Èûøó$# zOtƒötB çm»oY÷s?#uäur Ÿ@ÅgUM}$# $oYù=yèy_ur Îû É>qè=è% šúïÏ%©!$# çnqãèt7¨?$# Zpsùù&u ZpuH÷quur ºp§ÏR$t6÷duur $ydqããytGö/$# $tB $yg»uZö;tGx. óOÎgøŠn=tæ žwÎ) uä!$tóÏGö/$# ÈbºuqôÊÍ «!$# $yJsù $ydöqtãu ¨,ym $ygÏFtƒ$tãÍ ( $oY÷s?$t«sù tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä öNåk÷]ÏB óOèdtô_r& ( ׎ÏWx.ur öNåk÷]ÏiB tbqà)Å¡»sù ÇËÐÈ  
27. kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan Rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah[1460] Padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.

[1460] Yang dimaksud dengan Rahbaniyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara.

Contoh yang lain pada masa Sahabat ataupun salaf antara lain adalah :
-Mu’adz bin Jabal membuat cara baru dalam shalat bagi makmum masbuq, dan Rasulullah saw membenarkannya. (Al-Hafizh al-Thabarani, al-Mu’jam al-Kabir, juz 20, hal. 134).
-Sahabat Bilal menentukan waktu ibadah berdasarkan ijtihadnya, tanpa ada tuntunan sebelumnya dari Nabi saw, ternyata Nabi saw  membenarkannya. (Shahih al-Bukhari, 1122).
-Sahabat Ibn Abbas ra, mundur dari shaf yang ditentukan oleh Nabi saw, dengan alasan etika, tanpa ada tuntunan sebelumnya dari Nabi saw, dan ternyata Nabi saw membenarkannya, bahkan mendoakannya. (Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, juz 9, hal. 462).
-Seorang sahabat ra membuat bacaan baru ketika bangun menuju i’tidal dalam shalat, tanpa ada tuntunan sebelumnya dari Nabi saw, dan ternyata Nabi saw membenarkannya. (Shahih al-Bukhari, juz 3, hal. 14).
-Seorang Sahabat  ra membaca surat al-Ikhlash dalam shalat secara berulang-ulang, tanpa ada tuntunan dari Nabi saw, ternyata Nabi saw membenarkannya. (Al-Hafizh Ibn Hajar, Fath al-Bari, juz 2, hal. 687).
-Para Sahabat menghimpun al-Qur’an dalam satu mushhaf, atas inisiatif Umar, Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit ra, tanpa ada tuntunan dari Nabi saw.
-Sayidina Umar ra menggagas shalat tarawih pada seorang imam, dan beliau anggap sebagai bid’ah paling hasanah. (Al-Hafizh Ibn Hajar, Fath al-Bari, juz 5, hal. 448).
-Sayidina Utsman ra menambah adzan dalam shalat Jum’at dan disetujui oleh para sahabat. (Al-Imam al-Qasthalani, Irsyad al-Sari li-Syarh Shahih al-Bukhari, juz 2, hal. 178).
-Sahabat Abdullah bin Umar ra menambah bacaan talbiyah dalam ibadah haji dengan doa yang belum diajarkan oleh Rasulullah saw. (Shahih Muslim, 1184).
-Sahabat Abdullah bin Mas’ud ra menyusun redaksi bacaan shalawat Nabi saw. (Sunan -Ibn Majah, 906, dan bn Qayyim al-Jauziyyah, Jila’ al-Afham).
-Sahabat Ibn Abbas ra menyusun redaksi bacaan shalawat Nabi saw. (Ibn Qayyim al-Jauziyah, Jila’ al-Afham, hal. 138).
-Redaksi bacaan shalawat Nabi saw yang disusun oleh al-Imam al-Syafi’i  dan dibenarkan oleh panutan kaum Wahhabi. (Ibn Qayyim al-Jauziyah, Jila’ al-Afham, hal. 489).
-Al-Imam Ahmad bin Hanbal ra menambah bacaan doa dalam sujudnya setiap menunaikan shalat dengan doa untuk kedua orang tua dan gurunya, al-Imam al-Syafi’i . (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, juz 2, hal. 254).

1.BID’AH HASANAH

      Bid’ah hasanah adalah persoalan yang tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini di samping karena banyak inovasi amaliah kaum Muslimin yang tercover dalam bingkai bid’ah hasanah, juga karena adanya kelompok minoritas umat Islam yang sangat kencang menyuarakan tidak adanya bid’ah hasanah dalam Islam. Akhirnya kontroversi bid’ah hasanah ini selalu menjadi aktual untuk dikaji dan dibicarakan. Toh walaupun sebenarnya khilafiyah tentang pembagian bid’ah menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, tidak perlu terjadi. Karena di samping dalil-dalil Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah cukup banyak dan sangat kuat, juga karena konsep bid’ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin. Namun apa boleh dikata, kelompok yang anti bid’ah hasanah tidak pernah bosan dan lelah untuk membicarakannya.
Perlu diketahui, bahwa pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keharusan dan keniscayaan dari pengamalan sekian banyak hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar). Karena meskipun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رضي الله عنه قَالَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَالْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ

(رواه مسلم)

“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim [867]).
Ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ رضي الله عنه  قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم  مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

رواه مسلم

“Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).
Dalam hadits pertama, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Di sisi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini:

عَنْ عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى قَالَ: (كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ  صلى الله عليه وسلم إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنَ الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوْا إِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ  صلى الله عليه وسلم ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ  صلى الله عليه وسلم «سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ».وَفِيْ رِوَايَةِ سَيِّدِنَا مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ: (إِنَّهُ قَدْ سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ فَهَكَذَا فَاصْنَعُوْا). رواه أبو داود وأحمد ، وابن أبي شيبة، وغيرهم، وقد صححه الحافظ ابن دقيق العيد والحافظ ابن حزم

“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam. Dalam hadits lain diriwayatkan:

وَعَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ  رضي الله عنه قَالَ : كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ  صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ : أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا»

رواه البخاري

“Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu anhu berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).
Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu menambah bacaan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain. Seandainya hadits “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup.
Selanjutnya pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ  رضي الله عنه  لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلى الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ t: إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ

رواه البخاري

“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar radhiyallahu anhu berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari [2010]).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu. Kemudian Umar radhiyallahu anhu mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

وَعَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ  رضي الله عنه  قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ  صلى الله عليه وسلم  وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ  رضي الله عنه  وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلىَ الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌ فِيْ سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ

رواه البخاري

“Al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu anhu berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari [916]).
Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.
Selanjutnya, beragam inovasi dalam amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh para sahabat secara individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, al-Hasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah-nya ketika menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafizh al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ al-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan al-Hasan al-Bashri melakukan shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat idul fitri dan idul adhha.
Berangkat dari sekian banyak hadits-hadits shahih di atas, serta perilaku para sahabat, para ulama akhirnya berkesimpulan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Al-Imam al-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab al-Syafi’i berkata:

اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ

الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩

“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Pernyataan al-Imam al-Syafi’i ini juga disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (juz. 20, hal. 163).”

Jika dipertanyakan :

 firman Allah :

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ د ِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ

“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”

Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”

Jawabnya adalah : “Ayat 3 dalam surat al-Maidah disebutkan tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama tafsir, adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan kaedah-kaedah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi. Jadi, ayat yang disebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah hasanah masuk dalam kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan perilaku para sahabat.” Kemudian jika dipertanyakan  kembali , bahwa hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah redaksinya berbunyi, man sanna fil Islaam sunnatan hasanatan. Di samping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang dijadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”
Jawabannya adalah: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut haruslah melalui pemikiran yang jernih dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridhai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir (segala sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.
Selanjutnya, bahwa jika konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut hanya berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita kenal kaedah, al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab, (peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).”

Berikut keterangan dari DR Sayid Muhammad Alawi  Al Maliki dalam kitab Mafahim Yajibu an Tushohhaha :

ANTARA SEBAIK-BAIK BID’AH DAN SEBURUK-BURUK BID’AH


Di antara mereka yang mengklaim memahami substansi permasalahan adalah orang-orang yang menilai diri mereka sebagai salaf shalih. Mereka bangkit mendakwahkan gerakan salafiyah dengan cara biadab dan bodoh, fanatisme buta, akal-akal yang kosong, pemahaman-pemahaman yang dangkal dan tidak toleran dengan memerangi segala hal yang baru dan menolak setiap kreativitas yang berguna dengan anggapan bahwa hal itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat tanpa memilah klasifikasinya padahal spirit syariah Islam mengharuskan kita membedakan bermacam-macam bid’ah dan mengatakan bahwa: “Sebagian bid’ah ada yang baik dan sebagian ada yang buruk”.  Klasifikasi ini adalah tuntutan akal yang cemerlang dan pandangan yang dalam. 
Klasifikasi bid’ah ini adalah hasil kajian mendalam para sarjana ushul fiqh dari generasi klasik kaum muslimin seperti al-Imam al-‘Izz ibn Abdissalam, an-Nawawi, as-Suyuthi, al-Mahalli dan Ibnu Hajar. Hadits-hadits Nabi itu saling menafsirkan dan saling melengkapi. Maka diharuskan menilainya dengan penilaian yang utuh dan komprehensif serta harus menafsirkannya dengan menggunakan spirit dan persepsi syariah dan yang telah mendapat legitimasi dari para pakar.
Karena itu kita menemukan banyak hadits mulia dalam penafsirannya membutuhkan akal yang jernih, fikiran yang dalam, pemahaman yang relevan, dan emosi yang sensitif yang digali dari samudera syariah, yang mampu memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat, dan mampu menyesuaikan kondisi dan kebutuhan tersebut dalam batasan kaidah-kaidah syari’at dan teks-teks al-Qur’an dan hadits yang mengikat. Salah satu contoh dari hadits-hadits di muka adalah hadits:

كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Setiap bid’ah itu sesat.”
Bid’ah dalam hadits ini harus ditafsirkan sebagai bid’ah sayyi’ah (bid’ah tercela) yang tidak termasuk dalam naungan dalil syar’i.
Penafsiran semacam ini terjadi pula dalam hadits lain seperti:

لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ

Tidak ada sholatnya seseorang yang tinggal di dekat masjid kecuali dilakukan di masjid.”
Hadits ini meskipun menunjukkan pengkhususan akan tidak sahnya sholat tetangga masjid kecuali di masjid namun keumuman-keumuman hadits memberikan batasan bahwa sholat tersebut tidak sempurna bukan tidak sah, di samping masih adanya perbedaan dalam kalangan ulama.
Dan seperti halnya  hadits ini:

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ 

“Tidak ada sholat di hadapan makanan”.
Para ulama menafsirkan bahwa sholat tersebut tidak sempurna.
Dan seperti halnya hadits ini:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidak beriman salah satu dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.”
Para ulama’ menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah kurangnya kesempurnaan iman.
Dan demikian juga dengan hadits ini:

واللهِ لا يُؤْمِن والله لا يؤمن والله لا يؤمن قيل: مَن يا رسول الله؟ قال:مَنْ لَمْ يَأْمَنْ جَارُهُ بَوَائِقَهُ  

“Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah wahai Rasulullah”. “Seseorang yang tetangganya merasa terganggu dengannya”.
Para ulama menafsirkan dengan tidak adanya iman yang sempurna.
Dan demikian juga dengan hadits berikut ini:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ….., لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ وعاق لوالديه

“Tidak akan masuk sorga orang yang suka mengadu domba…….tidak akan masuk sorga orang yang memutus hubungan kerabat dan yang durhaka kepada kedua orang tuanya.”
Para ulama menegaskan bahwa yang dimaksud tidak akan masuk surga ialah tidak akan masuk pertama kali atau tidak masuk surga jika menilai perbuatan tercela tersebut halal dilakukan. Alhasil, para ulama tidak memahami hadits di atas secara tekstual tapi menafsirkannya dengan bermacam-macam penafsiran yang sesuai.
Dan hadits di atas yang menjelaskan bid’ah termasuk dalam kategori ini. Keumuman-keumuman hadits dan keadaan-keadaan sahabat memberi kesimpulan bahwa bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah tercela yang tidak berada dalam naungan prinsip umum.
Dalam sebuah hadits dijelaskan:

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَ أَجْر مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Siapapun yang mengawali tradisi yang terpuji maka ia memperoleh pahala darinya dan dari pahala mereka yang mengamalkannya sampai hari kiamat.”
Dan di dalam sebuah hadits:

عليكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدى

“Berpegangteguhlah dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin sesudah wafatku.”
Umar ibn Khaththab berkomentar mengenai sholat tarawih: 

نعمت البدعة هذه

“Sebaik-baik bid’ah adalah ini (sholat tarawih berjama’ah dalam satu masjid dengan seorang imam)”.

2.BAHAYA VONIS BID’AH

Menuduh seseorang berbuat bid’ah, musyrik atau kafir bukanlah suatu perbuatanyang
ringan bahkan berbahaya bagi orang yang melakukannya
.
Nabi SAW bersabda: 

إِنَّمَا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رَجُلاً قَرَأَ الْقُرْآَنَ حَتىَّ رُؤِيَ عَلَيْهِ بَهْجَتُهُ وَكَانَ رِدْءَ اْلإِسْلاَمِ اعْتَزَل َإِلىَ مَا شَاءَ اللهُ  وَخَرَجَ عَلىَ جَارِهِ بَسَيْفِهِ وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ
“Sesungguhnya yang aku takuti dari kalian adalah seorang lelaki yang membaca al-Quran  sehingga tampak kecemerlangan kepada dirinya, dan ia penolong Islam, (kemudian) ia menyendiri sampai waktu yang dikehendaki Allah dan keluar kepada tetangganya dengan pedangnya dan menuduhnya musyrik,”. (HR al-Bazzar dari Hudzaifah dengan sanad yang sahih).
Dalam riwayat Ibnu Marduwaih dan Ibnu Hibban :

أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ ثَلاَثاً، رَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ الْقُرْآَنَ حَتىَّ إِذَا رَأَيَ بَهْجَتَهُ وَتَرَّدَى اْلإِسْلاَمِ اَعَارَهُ اللهُ مَا شَاءَ، اخْتَرَطَ سَفَهٌ وَضَرَبَ جَارَهُ وَرَمَاهُ بِالْكُفْرِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّهُمَا أَوْلىَ بِالْكُفْرِ، الرَّامِي اَوِ الْمُرْمَى بِهِ ؟،  قَالَ: الرَّامِى ..... الحديث
“Perkara yang paling aku takuti pada kalian ada tiga: Seorang lelaki yang  Allah berikan  (anugrah) al-Quran kepadanya sehingga tampak  kecemerlangannya dan menolong  Islam, Allah melepaskannya sampai waktu  yang dikehendaki-Nya, ia bertindak serampangan, memukul (menyakiti) tetangganya dan menuduhnya kafir,”  Para sahabat bertanya: “ Hai Rasulullah, manakah yang paling layak kafir di antara mereka, orang yang menuduh atau yang di tuduh?”, Rasulullah berkata: “Orang yang menuduh”.uh

Rasulullah SAW bersabda :

إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ أَحَدُهُمَ 
“Jika seorang lelaki (Islam) mengkafirkan saudaranya (sesama Islam) , maka kembalilah kekafiran itu pada salah seorang darinya.” (HR Muslim dari Ibnu Abbas)

Dalam riwayat lain :

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ ِلأَخِيْهِ : يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ 

“Siapapun yang mengatakan pada saudaranya : Hai orang kafir, maka  kembalilah kekafiran itu pada salah seorang darinya, jika kekafiran itu ada  pada saudaranya (maka kembalilah kepada saudaranya itu), dan jika kekafiran  itu tidak berada pada saudaranya maka kembalilah kekafiran itu kepadanya”.

وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ : عَدُوُّ اللهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ 

"Barang siapa yang memanggil seorang laki-laki dengan kekafiran, atau  berkata: "Hai musuh Allah", dan orang laki-laki tersebut tidaklah demikian  kecuali kembalilah kekafiran itu pada dirinya."

Perhatikan wahai saudaraku, betapa berat ancaman bagi seseorang yang menuduh  saudaranya berbuat kemusyrikan, kekafiran, atau bid’ah.



B.DOA  UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

TRADISI NGESUR TANAH (NGGEBLAG),SELAMATAN 7 HARI DAN 40 HARI.

Upacara ngesur tanah (nggeblag) merupakan tradisi yang diselenggarakan pada saat hari meninggalnya seseorang.Upacara ini diselenggarakan pada sore hari setelah jenazah dikuburkan.Istilah sur tanah atau ngesur berarti menggeser tanah (membuat lubang untuk penguburan jenazah).Makna tradisi sur tanah adalah memindahkan dari alam fana ke alam baka dan wadag semula yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga.Esensi atau inti dari tradisi ini adalah sedekah pada hari pertama. Hal ini diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan diambil dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:

قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ أبو نعيم فى الحلية: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام

Artinya:
“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallaah ‘anhu di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Hilyah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:

ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول
Artinya:
“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.”

Pendapat Imam Al Suyuthi dalam kitab Al Hawi lil Fatawi :

" المقرر في فن الحديث والأصول أن ما روي مما لا مجال للرأي فيه كأمور البرزخ والآخرة فإن حكمه الرفع لا الوقف ، وإن لم يصرح الراوي بنسبته إلى النبي صلى الله عليه وسلم " انتهى من " الحاوي " (2/217)
“ Telah menjadi pedoman dalam  ilmu hadits dan ushul bahwa suatu hadits ketika berkaitan dengah permasalahan yang tidak bisa dijangkau akal sebagaimana permasalahan alam barzah/kubur dan akhirat,maka hadits tersebut dikategorikan hadits marfu” (Al Hawi :2/217)

Jadi,tradisi ngesur tanah adalah masih  merupakan rangkaian dari acara selamatan 7 hari setelah meninggalnya seseorang sebagaimana  umum dilakukan oleh masyarakat muslim tradisional di Indonesia .Hal tersebut sudah ada landasannya dari kalangan salaf ash-sholih. Dan bukan bid’ah madzmuumah/dholaalah.



Hadits yang dijadikan sandaran bahwa orang yang sudah meninggal berhenti disiksa karena doa orang yang masih hidup :

1. Hadits jaridatain yang diriwayatkan al-Bukhori, Muslim dan Ashabus Sunan yaitu hadits yang menyebutkan Nabi SAW meletakkan 2 pelepah kurma basah di atas 2 kubur yang sedang disiksa agar diringankan siksanya.Hadits ini tidak hanya khusus pada nabi saja, karena al-Bukhori sahabat Baridah bin al-Hasib berwasiat agar saat ia meninggal agar dikuburnya ditaruh 2 pelepah kurma. (Sohih Al-Bukhori Kitab Jenazah)
An-Nawawi dalam Syarh Muslim (juz 1, hal 206) berkata: alasan dipilihnya pelepah kurma yang basah bukan yang kering karena pelepah kurma akan bertasbih selama dalam keadaan basah. Beliau juga berkata: Karena hadis inilah para ulama menganggap baik pembacaan al-Quran di sisi kubur, karena jika siksa kubur dapat diperingan dengan tasbih pelepah kurma, maka dengan pembacaan al-Quran itu lebih utama. 
Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Ibnu Daqiqil 'Id dalam Ihkamul Ahkam (hal 63) , at-Tibiy dalam syarh al-Misykat (juz 1, hal 38) dan al-Qurtubi dalam Tadzkirahnya (hal 100).

2. Hadits Umamah tentang talqin mayyit yang diriwayatkan oleh At-Tabrani dan Abdul 'Aziz al-Hanbali dalam Asy-Syafi, Derajat hadits ini masih diperselisihkan, Ibnu Hajar dalam Talkhisul Khobir berkata: isnadnya baik bahkan dalam Hadyus Sari berpendapat bahwa hadits ini Sohih atau Hasan, tetapi al-Haitsamiy dalam Majmauz Zawaid berkata: dalam sanadnya ada rowi-rowi yang tidak aku kenal.Ibnul Qoyyim dalam ar-Ruh (hal 15) berkata: Hadits ini mesti tidak tsabit (lemah) akan tetapi amal yang terus menerus di seluruh kota dan setiap masa tanpa adanya pengingkaran cukup (sebagai dalil) dalam pemgamalannya. Lalu beliau menyebut beberapa riwayat dari ulama salaf tentang selamatnya beberapa arwah dari siksa kubur karena talqin atau bacaan orang yang masih hidup.

3. Hadits yang diriwayatkan an-Nasai, Ibnu Majah, Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Hibban dari Mi'qal bin Yasir al-Muzani dari Nabi SAW:
. ومما يشهد لنفع الميت بقراءة غيره حديث معقل بن يسار: "اقرءوا يس على موتاكم" رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه وابن حبان وصححه


Dalam hadits ini ada 2 pendapat:
-Pendapat mayoritas ulama diantaranya adalah Imam Ahmad yang mengartikan bacakanlah surat Yasin untuk orang-orang yang telah mati dari kalian. 
-Pendapat kedua yang dipilih Ibnul Qoyyim mengartikan bacakanlah surat Yasin untuk orang-orang yang akan mati dari kalian.Kitab yang dapat dibaca untuk memperjelas masalah ini:
a. Tahqiqul Amal Fiima Yanfa'ul Mayyiti minal A'mal karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.
 b.Ar-Ruh karya Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah


MEMBACA YASIN FADHILAH DAN BACAAN SURAT  ATAU AYAT TERTENTU DALAM AL QU RAN

Mayoritas umat muslim di Indonesia adalah penganut Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka mempercayai keutamaan/Fadhilah membaca surat-surat atau ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an, misalnya yang berupa surat secara utuh-utuh surat al-Baqoroh, surat al-Kahfi, surat Yasin, surat ad-Dukhon, surat al-Waqi’ah, surat al-Ikhlas, surat al-Muawwidzatain dan lain-lain. Sedangkan yang berupa ayat al-Qur’an misalnya: Ayat Kursi, ayat-ayat yang ada di akhir surat al-Baqoroh atau yang ada di akhir surat al-Kahfi dan lain-lain.
Surat-surat atau ayat-ayat tersebut mereka baca secara rutin setiap  hari/ setiap malam atau secara berkala. Keterangan tentang keutamaan membaca beberapa surat/ ayat tersebut bisa diperoleh dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh para muhadditsin antara lain:
1.  Hadits riwayat Imam Baihaqi:
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ تُوِّجَ بِتَاجٍ فِى الْجَنَّةِ. رواه البيهقي
Artinya:
“Barangsiapa yang membaca surat al-Baqoroh, maka akan diberi mahkota beruap mahkota di surga.” (HR. Baihaqi)
2.  Hadits riwayat al-Hakim:
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِيْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ. رواه الحاكم
Artinya:
“Barangsiapa yang membaca surat al-Baqoroh pada hari jum’at, maka akan bersinar baginya seberkas cahaya sampai dua jum’at”. (HR. Al-Hakim)
3.  Hadits riwayat Abu Nu’aim:
مَنْ قَرَأَ يس فِي لَيْلَةٍ  أَصْبَحَ مَغْفُورًا لَهُ. رواه أبو نعيم في الحلية
Artinya:
“Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada waktu malam, maka pada pagi harinya orang itu diampuni dosanya”. (HR. Abu Nu’aim)
4.  Hadits riwayat Ath-Thabrani:
مَنْ قَرَأَ "حم" الدُّخَانَ فِي لَيْلَةِ جُمُعَةٍ أَوْ يَوْمَ جُمُعَةٍ بنى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ. رواه الطبراني
Artinya:
“Barangsiapa yang membaca surat Hamim ad-Dukhon pada malam jum’at atau hari jum’at, maka Allah akan mendirikan bangunan rumah untuk orang itu di surga”. (HR. Ath-Thabrani).
5.  Hadits riwayat Imam Baihaqi:
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْوَاقِعَةِ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ لَمْ تُصِبْهُ فَاقَةٌ أَبَداً. رواه البيهقي
Artinya:
“Barangsiapa yang membaca surat al-Waqi’ah setiap malam, maka tidak akan tetimpa kemiskinan selamanya”. (HR. Baihaqi)
6.  Dan lain-lain.
Di sebagian daerah yang masyarakatnya mayoritas warga NU. Berlaku suatu amalan membaca surat Yasin namun bukan surat Yasin biasa, akan tetapi Yasin Fadhilah (yakni surat Yasin yang di dalamnya disisipi kalimat-kalimat yang berisi do’a atu bacaan tertentu selain al-Qur’an).
Ada tiga maslaah yang dipertanyakan sehubungan dengan amalan tersebut?
Pertama: Bagaimana hukum mencampur penulisan ayat al-Qur’an dengan kalimat-kalimat lain yang bukan al-Qur’an?
Kedua: Bagaimana pula hukum membacanya?
Ketiga: Apakah surat-surat lain yang bukan surat Yasin juga boleh dijadikan sebagaimana Yasin Fadhilah?
Mengenai masalah ini, ada perbedaan humum antara menulis do’a-do’a tertentu di sela-sela ayat atau surat al-Qur’an dan hukum membacanya. Perbedaan itu sebagai berikut :
Hukum menulisnya adalah makruh, karena hal itu akan menimbulkan dugaan bahwa do’a-do’a atau bacaan-bacaan tersebut termasuk ayat/surat Al-Qur’an. Sebagaimana tersebut dalam kitab “al-itqan” juz III hal. 171 :
وَقَالَ الْحَلِيْمِيْ: تُكْرَهُ كِتَابَةُ اْلأَعْشَارِ وَاْلأَخْمَاسِ وَأَسْمَاءِ السُّوَرِ وَعَدَدِ اْلآيَاتِ فِيْهِ لِقَوْلِهِ: جَرِّدُوا الْقُرْآنَ. وَأَمَّا النُّقَطُ فَيَجُوْزُ لَهُ لأَنَّهُ لَيْسَ لَهُ صُوْرَةٌ فَيُتَوَهَّمُ لأَجْلِهَا مَا لَيْسَ بِقُرْآنٍ قُرْآناً. وَإِنَّمَا هِيَ دَلاَلاَتٌ عَلَى هَيْئَةِ الْمَقْرُوْءِ فَلاَ يَضُرُّ إِثْبَاتُهَا لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهَا. وَقَالَ الْبَيْهَقِيْ: مِنْ آدَابِ الْقُرْآنِ أَنْ يُفْخَمَ فَيُكْتَبُ مُفَرَّجاً بِأَحْسَنِ خَطٍّ، فَلاَ يُصَغَّرُ وِلاَ يُقَرْمَطُ حُرُوْفُهُ، وَلاَ يُخْلَطُ بِهِ مَا لَيْسَ مِنْهُ كَعَدَدِ اْلآيَاتِ وَالسَّجَدَاتِ وَالْعَشَرَاتِ وَالْوُقُوْفِ وَاخْتِلاَفِ الْقِرَاءَاتِ وَمَعَانِي اْلآيَاتِ.
Artinya :
“Imam Halimi berkata : makruh hukumnya menulis tanda sepersepuluh, seperlima, nama surat dan bilangan ayat di tengah-tengah surat/ayat Al-Qur’an. Karena sabdanya : bersihkanlah tulisan Al-Qur’an (dari hal yang bukan Al-Qur’an). Adapun memberi titik maka hukmnya boleh, karena tidak merubah bentuk yang sekiranya menimbukan dugaaan bahwa yang bukan Al-Qur’an dianggap Al-Qur’an. Hal itu hanyalah petunjuk atas keberadaan huruf yang dibaca. Imam Baihaqi berkata : Di antara tata krama terhadap Al-Qur’an adalah hendaklah bersikap serius kepada Al-Qur’an, hendaklah menulisnya dengan hitam putih, tulisannya harus yang indah, jangan dibuat terlalu kecil hurufnya, jangan terlalu rapat baris-barisnya jangan mencampurnya degnan tulisan-tulisan yang bukan termasuk Al-Qur’an, seperti bilangan ayat, tanda ayat sajdah, tanda sepersepuluh, tanda waqaf, perbedaan bacaan dan makna kandungan ayat”.
Adapun membaca do’a atau kalimat lainnya di tengah-tengah surat yasin atau surat yang lain, hukumnya sunnat apbila do’a atau kalimat-kalimat tersebut relevan (ada keterkaitan) dengan tuntutan makna ayat/surat yang dibaca itu. Tersebut dalam kitab Ihya’ Ulumiddin juz I hal. 279 :
وَفِيْ أَثْنَاءِ الْقِرَاءَةِ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ تَسْبِيْحٍ سَبَّحَ وَكَبَّرَ، وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ دُعَاءٍ وَاسْتِغْفَارٍ دَعَا وَاسْتَغْفَرَ، وَإِنْ مَرَّ بِمَرْجُوٍّ سَأَلَ، وَإِنْ مَرَّ بِمَخُوْفٍ اسْتَعَاذَ. يَفْعَلُ ذَلِكَ بِلِسَانِهِ أَوْ بِقَلْبِهِ.
Artinya :
“Di tengah-tengah membaca Al-Qur’an, ketika seseorang melewati suatu ayat yang berisi mensucikan Allah, dia bertasbih dan bertabir, ketika melewati ayat yang berisi permohonan dan minta ampunan, dia berdo’a dan beristighfar, ketika melewati ayat yang berisi harapan dia mengajukan permohonan dan ketika melewati ayat yang berisi hal-hal yang menakutkan, dia memohon perlindungan. Itu semua dia lakukan dengan ucapan lisannya atau digerakkan dalam hatinya”.
Berdo’a di tengah bacaan Al-Qur’an juga pernah dilakukan oleh Nabi SAW. sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Imam Nasa’ai :
عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ صَلَّى إِلَى جَنْبِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَرَأَ فَكَانَ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ عَذَابٍ وَقَفَ وَتَعَوَّذَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ وَقَفَ فَدَعَا وَكَانَ يَقُولُ فِى رُكُوعِهِ: سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ. وَفِى سُجُودِهِ: سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى.
Artinya :
“Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah ra. bahwa dia melakukan shalat malam di samping Rasulullah SAW. beliau membaca surat ketika sampai pada ayat yang menerangkan adzab, beliau berhenti dan meminta perlindungan dan ketika sampai pada ayat yang menerangkan rahmat beliau berhenti dan berdo’a meminta rahmat, ketika ruku’ beliau membaca Subhana Rabbiyal Adzimi, dan ketika sujud beliau membaca Subhana Rabbiyal A’la”. (HR. Nasa’i)

HAUL

Pengertian Haul 
Haul dalam pembahasan ini diartikan dengan makna setahun. Jadi peringatan haul maksudnya ialah suatu peringatan yang diadakan setahun sekali bertepatan dengan wafatnya seseorang yang ditokohkan oleh masyarakat, baik tokoh perjuangan atau tokoh agama/ulama kenamaan.

Tujuan Diadakannya Peringatan Haul
Peringatan haul ini diadakan karena adanya tujuan yang penting yaitu mengenang jasa dan hasil perjuangan para tokoh terhadap tanah air, bangsa serta umat dan kemajuan agama Allah, seperti peringatan haul wali songo, para haba'ib dan ulama besar lainnya, untuk dijadikan suri tauladan oleh generasi penerus.


Rangkaian Kegiatan yang dilaksanakan dalam Acara Haul
a.    Ziarah ke makam sang tokoh dan membaca dzikir, tahlil, kalimah thayyibah serta membaca Al-Qur’an secara berjama’ah dan do’a bersama di makam;
b.    Diadakan majlis ta'lim, mau'idzoh hasanah dan pernbacaan biografi sang tokoh/manaqib seorang wali/ulama atau haba’ib;
c.    Dihidangkan sekedar makanan dan minuman dengan niat selamatan/shodaqoh‘anil mayit.

Hukum Mengadakan Peringatan Haul
Selama dalam peringatan haul itu tidak ada hal yang menyimpang dari tujuan sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi atau yang difatwakan oleh para ulama, maka haul hukumnya jawaz (boleh). Jadi, salah besar jika ada orang yang mengatakan bahwa secara mutlak peringatan haul itu hukumnya haram atau mendekati syirik.

Dalil diperbolehkannya Peringatan Haul
Berikut ini ada beberapa dalil syar’i yang berkaitan dengan masalah peringatan haul dengan serangkaian mata acaranya.
a.    Hadits riwayat Imam Waqidi sebagaimana yang tersebut dalam kitab Nahjul Balaghoh hal. 399
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزور قتلى أحد في كل حول، وإذا لقاهم بالشعب رفع صوته يقول : السلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار. وكان أبو بكر يفعل مثل ذلك وكذلك عمر بن الخطاب ثم عثمان بن عفان رضي الله عنهم. [رواه الواقدي]
Artinya:
Adalah Rasulullah SAW. berziara ke makam syuhada’ Uhud pada setiap tahun. Dan ketika beliau sampai di lereng gunung Uhud beliau mengucapkan dengan suara keras “semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kamu berkat kesabaranmu, maka alngkah baiknya tempat kesudahan”. Kemudian Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Utsman bin ‘Affan juga melakukan seperti tindakan Nabi tersebut”.

b.    Hadits riwayat Imam Thabrani dan Imam Baihaqi :
ما جلس قوم يذكرون الله تعالى فيقومون حتى يقال لهم قوموا قد غفر الله لكم ذنوبكم وبدلت سيئاتكم حسنات. [رواه الطبراني والبيهقي]

Artinya :
“Tiada suat kaum yang berkumpul dalam satu majelis untuk berdzikir kepada Allah kemudian mereka bubar sehingga diundangkan kepada mereka “bubarlah kamu”, sungguh Allah telah mengampuni dosa-dosamu dan kejahatan-kejahatanmu telah diganti dengan kebaikan-kebaikan”. (HR. Thabarani dan Baihaqi)
c.    Hadits riwayat Imam Dailami :
ذكر الأنبياء من العبادة وذكر الصالحين كفارة، وذكر الموت صدقة، وذكر القبر يقربكم إلى الجنة. [رواه الديلمي] اهـ الجامع الصغير : 158
Artinya :
“Menyebut-nyebut para Nabi itu termasuk ibadah, menyebut-nyebut para shalihin itu bisa menghapus dosa, mengingat kematian itu pahalanya seperti bersedekah dan mengingat alam kuburitu bisa mendekatkan kamu dari surga”. (HR. Dailami)
d.    Fatwa Ulama (Syaikh Abdur Rahman al-Jaziri) dalam kitabnya al-fiqih ala madzahibil arba’ah :
وينبغي للزائرالاشتغال بالدعاء والتضرع والاعتبار بالموتى وقراءة القرآن للميت، فإن ذلك ينفع الميت على الأصح. اهـ [الفقه على مذاهب الأربعة 1/540]
Artinya :
“Sangat dianjurkan bagi orang yang berziarah kubur untuk bersungguh-sungguh mendo’akan kepada mayit dan membaca Al-Qur’an untuk mayit, karena semua itu pahalanya akam bermanfaat bagi mayit. Demikian itu menurut pendapat ulama yang paling shahih”.
Memang begitulah doktrin Ahlussunnah wal Jamaah tentang ziarah kubur dan haul. Kedua-keduanya merupakan salah satu dari sekian banyak cabang amalan qurbah yang dianjurkan dalam agama. Namun dibalik itu ada hal yang patut disayangkan karena di dalam pelaksanaannya sering terjadi kemaksiatan yang sangat mencolok yang dilakukan oleh warga kita sewaktu menghadiri acara tadi, yakni berbaurnya kaum laki-laki dan perempuan dalam satu tempat : di sarean sewaktu mereka berziarah kubur, berjubel-jubel dalam satu ruangan sewaku hadir pada acara haul atau berjejal-jejal dalam satu kendaraan (truk) yang mengangkat sewaktu mereka berangkat dan pulang dari tempat acra dll.
Maka alangkah bijaknya jika masing-masing oknum, baik panitian atau warga yang hadir mau memperhatikan fatwa ulama klasik yang menaruh rasa sayang kepada umat dengan maksud agar amaliyah mereka ini tidak tercemar dengan noda-noda kemaksiatan.
Tersebut dalam kitab Al-Fatawil Kubro juz II hal 24 :
(وسئل) رضي الله عنه عن زيارة قبور الأولياء في زمن معين مع الرحلة إليها هل يجوز مع أنه يجتمع عند تلك القبور مفاسد كثيرة كاختلاط النساء بالرجال وإسراج السرج الكثيرة وغير ذلك (فأجاب) بقوله : زيارة قبور الأولياء قربة مستحبة ... إلى أن قال : وما أشار إليه السائل من تلك البدع أوالمحرمات، القربات لا تترك لمثل ذلك بل على الإنسان فعلها وإنكار البدع بل وإزالتها إن أمكنه. وقد ذكر الفقهاء في الطواف المندوب فضلا عن الواجب أنه يفعل ولو مع وجود النساء وكذا الرمل، لكن أمروه بالبعد عنهن وينهى عما يراه محرما، بل ويزيله إن قدر كما مر. اهـ
Artinya :
“Syaikh Ibnu Hajar ditanya tentang ziarah kubur para wali pada saat tertentu dan menuju ke kuburan itu, apakah itu diperbolehkan, sedangkan di situ terjadi banyak mafsadah/kemaksiatan, seperti berbaurnya kaum laki-laki dan perempuan, menyalakan lampu dalam jumlah yang banyak dan lain sebaigainya. Beliau menjawab : ziarah kubur para wali adalah suatu amal kebaikan yang dianjurkan ….. sampai kata-kata kiyai mushonnif : apa yang diisyaratkan oleh si penanya berupa tindakan bid’ah atau hal-hal yang diharamkan, jangan menjadi sebab ditinggalkannya kebaikan tersebut. Bagi seseorang tetaplah melakukannya dan ingkar/benci terhadap pelanggaran dan menghilangkannya, kalau memang memungkinkan. Para fuqaha’ menyebutkan mengenai thawaf sunat apalagi thawaf wajib agar dilakukan walaupun di situ ada banyak perempuan demikian pula lari-lari kecil. Namun mereka memerintahkan agar menjauh dari para perempauan tersebut. Demikian pula ziarah kubur tetap dilakukan akan tetapi jauhilah (berdesak-desakan dengan) kaum wanita dan cegahlah dan kalau bisa hilangkanlah hal-hal yang diharamkan seperti keterangan yang telah lewat.

ZIARAH KUBUR

Di antara masalah furu’iyah yang diungkit-ungkit oleh kaum Wahabi adalah masalah ziarah kubur. Memang amaliyah warga kita yang satu ini mereka gunakan untuk menyerang kaum Ahlussunnah wal Jamaah dengan tuduhan-tuduhan yang lain. Itu dulu, adapun sekarang apa yang mereka tuduhkan sudah berbalik arah, artinya umat memahami bahwa ziarah kubur itu bukan bid’ah dlalalah karena mereka (umat) telah benar-benar mendapat tuntunan dalam beragama sehingga mereka yakin bahwa amaliyahnya itu baik dan benar.

Pengertian Ziarah Kubur
Ziarah kubur ialah berkunjung ke makam/pesarean orang Islam yang sudah wafat, baik orang muslim biasa, orang shalih, ulama, wali atau Nabi.

Hukum Ziarah Kubur
Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa hukum ziarah kubur bagi kaum laki-laki itu hukumnya sunat secara mutlak, baik yang diziarahi itu kuburnya orang Islam biasa, kuburnya para wali, orang shalih atau kuburnya Nabi.
Sedangkan hukum ziarah kubur bagi kaum perempuan yang telah mendapat izin dari suaminya atau walinya, para ulama mantafsil sebagai berikut :
1.     Jika ziarahnya tidak menimbulkan hal yang terlarang dan yang diziarahi itu kuburnya Nabi, wali, ulama dan orang shalih, maka hukumnya sunat;
2.    Jika ziarahnya tidak menimbulkan hal yang terlarang dan yang diziarahi itu kuburnya orang biasa, maka sebagian ulama mengatakan boleh, sebagian lagi mengatakan makruh.
3.   Jika ziarahnya menimbulkan hal yang terlarang, maka hukumnya haram.

Dasar Hukum Ziarah Kubur
a.    Had its Nabi SAW.
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزورها فإنها ترق القلب وتدمع العين وتذكر الآخرة، ولا تقولوا هجرا. [رواه الحاكم]
Artinya :
“Aku (Nabi) dulu melarang kamu ziarah kubur, maka sekarang berziarahkuburlah kamu, karena ziarah kubur itu bisa melunakkan hati, bisa menjadikan air mata bercucuran dan mengingatkan adanya alam akhirat, dan janganlah kamu berkata buruk”. (HR. Hakim)
b.    Hadits Nabi SAW.
عن عائشة رضي الله عنها قالت : كان النبي صلى الله عليه وسلم كلما كانت ليلتها يخرج من آخر الليل إلى البقيع فيقول : السلام عليكم دار قوم مؤمنين وأتاكم ما توعدون غدا مؤجلون وإنا إن شاء الله بكم لاحقون، اللهم اغفر لأهل بقيع الغقد. [رواه مسلم]
Artinya :
“Dari A’isyah ra. ia berkata : “adalah Nabi SAW. ketika sampai giliran beliau padanya (A’isyah) beliau keluar pada akhir malam hari itu ke kuburan Baqi’ seraya berkata :“Assalamu’alaikum hai tempat bersemayam kaum mukminin. Akan datang kepada kamu janji Tuhan yang ditangguhkan itu besok, dan kami Insya Allah akan menyusul kamu. Hai Tuhan ampunilah ahli Baqi’ al-Gharqad”. (HR. Muslim)

c.    Fatwa Syaikh Amin al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub :
تسن زيارة قبور المسلمين للرجال لأجل تذكر الموت والآخرة وإصلاح فساد القلب ونفع الميت بما يتلى عنده من القرآن لخبر مسلم : كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزورها. ولقوله عليه الصلاة والسلام : اطلع في القبور واعتبر في النشور. رواه البيهقي خصوصا قبور الأنبياء والأولياء وأهل الصلاح. وتكره من النساء لجزعنهن وقلة صبرهن، ومحل الكراهة إن لم يشتمل اجتماعهن على محرم وإلا حرم، ويندب لهن زيارة قبره صلى الله عليه وسلم وكذا سائر الأنبياء والعلماء والأولياء. اهـ [تنوير القلوب : 216]
Artinya :
“Disunatkan bagi kaum laki-laki berziarah kuburnya orang-orang Islam untuk mengingat datangnya kematian dan adanya alam akhirat, serta memperbaiki hati yang buruk dan memberi manfaat kepada mayit dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an di tempat yang dekat dengannya, karena ada hadits riwayat Muslim yang artinya : “Aku (Nabi) dulu melarang kamu berziarahkubur, maka sekarang berziarahkuburlah kamu”. Dan juga sabda Nabi yang artinya : “Berziarahlah kubur kamu dan ambillah tauladan tentang adanya hari kebangkitan”. (HR. Muslism). Khususnya kuburan para Nabi, para wali dan orang-orang shalih. Sedangkan bagi kamu wanita ziarah kubur hukumnya makruh, karena mereka mudah meratap dan sedikit yang sabar. Makruh bagi wanita tersebut apabila ziarah mereka itu tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, kalau mengandung hal-hal yang diharamkan, maka ziarah mereka hukumnya haram. Bagi wanita berziarah kubur ke makam Nabi Muhammad SAW. dan juga nabi-nabi yang lain demikian pula makam para ulama dan para wali hukumnya sunat”.

d.   Fatwa Syaikh Ali Ma’shum dalam kitabnya “Hujjatu Ahlissunnah” bab ziarah kubur :
واختلف في زيارة النساء للقبور، فقال جماعة من أهل العلم بكراهيتها كراهة تحريم أو تنزيه لحديث أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لعن زوارات القبور. رواه أحمد وابن ماجه والترمذي. وذهب الأكثرون إلى الجواز إذا أمنت الفتنة، واستدلوا بما رواه مسلم عن عائشة قالت : كيف أقول يا رسول الله إذا زرت القبور؟ قولي : السلام عليكم أهل ديار المسلمين. اهـ [حجة أهل السنة للشيخ على معصوم : 58]
Artinya:
"Para ulama berselisih pendapat mengenai kaum wanita berziarah kubur, Segolongan ulama mengatakan makruh tahrim atau tanzih, karena ada Hadits riwayat Abu Hurairah bahwa Rusulullah SAW. mengutuk wanita-wanita yang berziarah kubur. (HR. Ibun Majah dan Tirmidzi). Sementara mayoritas ulama mengatakan boleh, apabila terjamin keamanannya dari fitnah, Dalilnya yaitu hadits riwayat Muslim dari Siti A’isyah ra dia berkata : apa yang say abaca ketika ziarah kubur, hai rasul? Rasul bersabda : bacalah Assalamu’alaikum Ahla Diyaril Muslimin”.
Hikmah Ziarah Kubur
Ada sebagian orang mengatakan “buat apa kita susah-susah datang ke kuburan untuk menziarahi makam seseorang, toh ! berdo’a di rumah saja sudah cukup, sehingga saat-saat yang penting tidak kita tinggalkan untuk berziarah saja.
Perkataan ini sepintas kilas memang seakan-akann benar,  tapi orang yang borkata tadi rupa-rupanya lupa bahwa ziarah kubur itu mengandung banyak hikmah bagi orang yang berziarah dan mayit yang diziarahi. Hikma-hikmah itu antara lain:
a.    Mengingatkan orang yang masih hidup di dunia ini akan datangnya kematian yang sewaktu-waktu pasti tiba pada saatnya;
b.    Mernpertebal keimanan terhadap adanya alam akhirat, sehingga orang itu meningkat ketaqwaannya kepada Allah SWT.;
c.    Memperba'iki hati yang buruk/mental yang rusak, sehingga pada akhirnya nanti orang itu sadar akan perlunya mempererat hablum 
minallah 
dan hablum minannas.
d.    Memberi manfaat kepada mayit secara khusus dan ahli kubur secara umum berupa pahala dari bacaan Al-Qur’an, kalimah Thoyyibah, Istighfar, shalawat Nabi dan lain-lain.

Adab Kesopanan Berziarah Kubur
Pada saat berziarah kubur, sebaiknya kita melakukan adab kesopanan sebagai berikut:
a.    Pilihlah saat-saat yang afdlol, misalnya pada hari Jum’at, pada hari raya dan lain-lain;
b.    Bacalah salam ketika masuk pintu pekuburan untuk para ahli kubur secara umum dan untuk mayit yang diziarahi secara khusus;
c.    Bacalah surat Yasin atau ayat Al-Qur’an yang lain, kalimah thoyyibah serta do’a semoga Allah SWT. menerima amal shalih si mayit dan mengampuni dosa-dosanya;
d.    Mengambil pelajaran, bahwa kita akan mengalami seperti apa yang dialami oleh mayit yang kita ziarahi (masuk ke dalam liang kubur, berada di alam barzah sampai datang hari kiamat nanti).

BERSHODAQOH DAN TAHLIL UNTUK MAYIT

Pengertian Shodaqoh untuk Mayit 
Shodaqoh untuk mayit adalah suatu istilah yang disebut juga oleh orang jawaselametan’, yaitu dengan cara menghidangkan makanan dan minuman dengan niat bersedekah yang lazimnya dikaitkan dengan pembacaan tahlil setelah wafatnya seseorang.

Pengertian Bertahlil/Tahlilan
Bertahlil atau dalam bahasa Iawa disebut tahlilan, pada hakekatnya adalah pembacaan kalimat thayyibah, tasbih, tahmid, istighfar, sebagian ayat-ayat Al-Qur'an dan shalawat Nabi yang           kemudian       diakhiri dengan do’a/permohonan ke hadirat Allah SWT. agar semua amalan/bacaan kita tersebut diterima di 
sisiN
ya, kemudian Allah berkenan melimpahkan pahala dari amalan-amalan tersebut kepada mayit yang kita tahlilkan.

Bermanfaatkah Pahala Sedekah atau Tahlil/ Do'a bagi Si Mayit?
Jika ada orang bertanya : Mungkinkah sedekah dan bacaan tahlil/do’a itu bermanfaat untuk mayit? padahal Allah telah berfirman :

br&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ  
Artinya:
“Dan bahwasanya manusia tidak akan mendapatkan pahala melainkan dari usaha yang telah dikerjakan”. (QS. An-Najm : 39)
Kalau sudah jelas demikian masalahnya, mengapa kita masih juga bersedekah atau bertahlil untuk orang yang mati? toh ... hanya sia-sia amalan kita tersebut?

Maka untuk menjawab pertanyaan itu, mari bersama-sama kita kaji keterangan di bawah ini, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, al-Hadits atau fatwa ulama.
a.    Firman Allah SWT.
šúïÏ%©!$#ur râä!%y` .`ÏB öNÏdÏ÷èt/ šcqä9qà)tƒ $uZ­/u öÏÿøî$# $oYs9 $oYÏRºuq÷z\}ur šúïÏ%©!$# $tRqà)t7y Ç`»yJƒM}$$Î/

Artinya :
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka berkata : “Hai Tuhan kami, beri ampulah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami”.  (QS. Al-Hasyr : 10)
b.        Firman Allah SWT.

öÏÿøótGó$#ur šÎ7/Rs%Î! tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ öNä3t7¯=s)tGãB ö/ä31uq÷WtBur ÇÊÒÈ  

Artinya :
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. (QS. Muhammad : 19)
c.         Firman Allah SWT.

Éb>§ öÏÿøî$# Í< £t$Î!ºuqÏ9ur `yJÏ9ur Ÿ@yzyŠ š_ÉLøŠt/ $YZÏB÷sãB tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur Ÿwur ÏŠÌs? tûüÏHÍ>»©à9$# žwÎ) #I$t7s? ÇËÑÈ  

Artinya :
“Ya Tuhanku! ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan”. (QS. Nuh : 28)
Ketiga ayat di atas, jelas menunjukkan bahwa do'a dan istighfar dari seorang yang masih hidup dapat berguna untuk orang yang telah mati dari kalangan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.
d.   Hadits Nabi SAW.
عن عائشة رضي الله عنها قالت أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم : إن أمي أقتتلت نفسها وأراها لو تكلمت تصدقت، فهل لها من أجر إن تصدقت عنها؟ قال : نعم. [متفق عليه]
Artinya :
“Dari A’isyah ra. bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW. bahwasanya ibuku telah mati secara mendadak, dan saya mengira andaikan dia sempai berbicara (sebelum mati) pasti dia bersedekah. Adakah dia memperoleh pahala andaikan saya bcrsedekahuntuknya? Jawab beliau : ya”. (Muttafaq Alaih)
e.    Syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’roni memberikan keterangan dalam kitabnya Mizan Kubra :
واتفقوا على أن الاستغفار للميت والدعاء له والصدقة والعتق والحج عنه ينفعه. فهذا ما وجدته من مسائل الاجتماع واتفاق الأئمة الأربعة. اهـ [الميزان الكبرى 1/218]
Artinya:
“Dan teluh sepakat para ulama bahwa bacaan istighfar dan do’a untuk mayit, sedekah, memerdekakan budak, menghajikannya, semua dapat bermanfaat untuknya. Demikianlah yang saya temukan di antara masalah-masalah hukum yang telah disepakati oleh para imam madzhab yang empat”.
Dalil seperti di atas itulah yang dijadikan rujukan/referensi oleh kaum Ahlussunnah wal Jamaah untuk keyakinan mereka bahwa menghadiahkan paha bacaan Al-Qur’an, dzikir, shalawat, atau sedekah itu bisa sampai dan bermanfaat bagi mayit. Dan semua hal tersebut sudah barang tentu atas izin Allah SWT.
Adapun ketentuan hukum yang ada pada ayat 39 An-Najm tersebut adalah berlaku bagi umat Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Sedangkan bagi umat Muhammad, mereka bisa mendapat pahala dari amalnya sendiri dan bisa juga mendapat pahala dari amal orang lain. Hal ini sesuai dengan bunyi ayat sebelumnya :
÷Pr& öNs9 ù'¬6t^ム$yJÎ/ Îû É#ßsß¹ 4ÓyqãB ÇÌÏÈ   zOŠÏdºtö/Î)ur Ï%©!$# #®ûur ÇÌÐÈ   žwr& âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& ÇÌÑÈ   br&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ  


Artinya :
“Apakah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa? Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,  Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS. An-Najm : 36-39)
Pemahaman yang demikian ini sesuai dengan keterangan dalam kitab tafsir Khozin juz IV hal. 268 :
كان ذلك لقوم إبراهيم وموسى، فأما هذه الأمة فلهم ما سعوا وما سعى لهم غيرهم. اهـ [تفسير خازن 6/268]
Artinya :
“Adapun yang demikian itu adalah bagi kaum Ibrahim dan kaum Musa. Sedangkan untuk umat ini (umat Muhammad SAW), maka mereka dapat memperoleh pahala dari perbuatannya sendiri dan pahala dari amal kebajikan orang lain”.
Ada juga penafsiran versi lain mengenai ayat 39 surat an-Najm tadi, yaitu menurut as-Syaikh Ibnul Qoyyim al-Jauziyah yang dikutip dan diterjemahkan oleh al-Mukarrom KH. Muhyiddin Abd. Shomad dalam bukunya Hujjah NU hal 85, sebagai berikut :
“Jawaban yang baik tentang ayat ini, bahwa menusia dengan amalnya sendiri dan juga karena pergaulannya sendiri dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta menyintai sesama. Maka semua teman, keturunannya dan keluarganya tentu akan menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika telah meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri”.
Berdasarkan keterangan yang akurat dari beberapa dalil syar’i di atas, warga kita pasti bisa menjawab pertanyaan dari si penanya dengan jawaban tegas bahwa :
1.    Menghadiahkan pahala amal kebaikan kepada ahli kubur yang sama-sama muslim, baik ada hubungan kekerabatan atau tidak antara yang menghadiahkan dengan si mayit yang di hadiahi, itu menurut doktrin Ahlussunnah wal Jamaah bisa sampai pada mayit tadi;
2.    Ukhuwwah Islamiyah itu tidak terputus karena kematian. Oleh karenanya menolong ahli kubur dengan do’a yang diwujudkan dalam bentuk tahlilan dan sebagainya itu akan manfaat bagi mereka.

TALQIN MAYIT

Sebetulnya masalah TALQIN dengan segala macam persoalannya itu sudah dikupas oleh para ulama mutaqaddimin atau ulama mutaakhirin dalam berberapa kitab/karya tulisnya dan selalu diamalkan oleh kaum Ahlussunnah wal Jamaah secara turun temurun.
Akan tetapi amaliyah warga kita tadi menjadi terancam kelangsungannya sejak munculnya gerakan yang dimotori oleh kaum wahabi yang sangat berlebihan dalam usaha memurnikan ajaran Islam, sampai-sampai mereka itu melarang amalan-amalan umat Islam yang bersifatfuru’iyah, misalnya : tahlilan, bancakan, dan talqin untuk mayit.
Di bawah ini uraian yang sebenarnya tentang Talqin menurut Ahlussunnah wal Jamaah.


Pengertian Talqin
Menurut bahasa, talqin artinya : mengajar, memahamkan secara lisan.
Sedangkan menurut istilah, talqin adalah : mengajar dan mengingatkan kembali kepada orang yang sedang naza’ atau kepada mayit yang baru saja dikubur dengan kalimah-kalimah tertentu.
Hukum Talqin
Orang dewasa atau anak yang sudah mumayyiz yang sedang naza’ (mendekati kematian) itu sunat ditalqin dengan kalimat syahadat, yakni kalimat laa ilaaha illallah. Dan sunat pula mentalqin mayit yang baru dikubur, walaupun orang itu mati syahid,apabila meninggalnya sudah baligh, atau orang gila yang sudah pernah mukallaf sebelum dia gila.
Mungkinkah Mayit yang Sudah dikubur Bisa Mendengar Ucapan Orang yang Mentalqin?
Di Indonesia memang ada sebagian umat Islam yang tidak setuju mayit ditalqin. Alasan mereka, menurut akal kita mayit yang sudah ada di kuburan itu tidak mampu lagi mendengarkan ucapan orang yang ada di alam dunia. Mereka mengemumakan dalil dari Al-Qur'an :

y7¨RÎ) Ÿw ßìÏJó¡è@ 4tAöqyJø9$# Ÿwur ßìÏJó¡è@ §MÁ9$# uä!%tæ$!$# #sŒÎ) (#öq©9ur tûï̍Î/ôãB ÇÑÉÈ  

 “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar” (QS. An-Naml : 80)

$tBur ÈqtGó¡o âä!$uômF{$# Ÿwur ÝVºuqøBF{$# 4 ¨bÎ) ©!$# ßìÏJó¡ç `tB âä!$t±o ( !$tBur |MRr& 8ìÏJó¡ßJÎ/ `¨B Îû Íqç7à)ø9$# ÇËËÈ  



Artinya :
“Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar”(QS. Fathir : 22)
Kepada mereka perlu kita beri pengertian mengenai hal yang berkenaan dengan masalah Talqin.
a.    Di dalam ajaran Islam itu ada hal-hal yang berdasarkan tauqifi (petunjuk dari Nabi). Artinya walau pun secara rasional hal itu tidak mungkin terjadi, namun karena Nabi SAW. memberi petunjuk bahwa hal tersebut bisa terjadi, maka kita wajib menerimanya.
وكل ما أتى به الرسول    فحقه التسليم والقبول
[عقيدة العوام للشيخ أحمد المرزوقي]
Artinya :
“Semua hal/ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. maka hal itu harus dibenarkan dan diterima”.
b.    Kedua ayat yang meraka kemukakan, itu tidak menerangkan tentang larangan talqin mayit, akan tetapi berisi keterangan bahwa orang kafir itu telinga hatinya sudah mati, berpaling/tidak menerima apa-apa yang didakwahkan oleh Nabi kepada mereka.
Uraian ini sesuai dengan keterangan yang ada dalam kitab Tafsir Munir :
قوله تعالى : إنك لا تسمع الموتى ولا تسمع الصم الدعاء إذا ولوا مدبرين أي أنهم لفرط إعراضهم عما يدعون إليه كالميت الذي لا سبيل إلى إسماعه. اهـ [تفسير منير 2/133]
Artinya :
“Firman Allah yang artinya : “sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikam orang-orang yang mati mendengar dan tidak pula menjadikan orang yang tuli mendenganr panggilan, apabila mereka telah berpaling” jelasnya karena kaum kuffar sudah berpaling dari apa yang didakwahkan kepada mereka, maka mereka itu seperti orang yang sudah mati”.

قوله : وما أنت بمسمع من في القبور أي وما أنت يا أشرف الخلق بمفهم من هو مثل الميت الذي في القبور. اهـ [تفسير منير 2/202]
Artinya:
Firman Allah yang artinya : dan kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikau orang yang di alam kubur dapat mendengar” jelasnya : hai Muhanunad, makhluk yang paling mulia, kamu tidak bisa memberi pengertian kepada orang yang seperti mayit yang ada dalam kubur”.
Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW. tidak dapat memberi petunjuk kepada orang-orang musyrikin yang telah mati hatinya.

Dalil-Dalil Tentang Disunatkannya Talqin
a.    Dalil tentang disunatkannya mentalqin kepada seseorang yang sedang naza’ adalah hadits Nabi SAW. seperti yang ditulis oleh sayyid Bakri dalam kitab I’anatut Thalibin juz II hal. 138 :
ويندب أن يلقن محتضر ولو مميزا على الأوجه الشهادة أي لا إله إلا الله فقط لخبر مسلم : لقنوا موتاكم أي من حضره الموت لا إله إلا الله، مع الخبر الصحيح : من كان أخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة أي مع الفائزين. اهـ
Artinya :  
“Disunatkan mentalqin orang yang akan meninggal walaupun masih mumayyiz menurut pendapat yang kuat dengan kalimat syahadat, karena ada hadits Nabi riwayat Imam Muslim “talqinlah orang Islam di antara kamu yang akan meninggal dunia dengan kalimah La Ilaha Illallah” dan hadits shahih “Barang siapa yang paling akhir pembicaraannya itu La Ilaha Illallah, maka dia masuk surga”, yakni bersama orang-orang yang beruntung”.
b.    Sedangkan dalil disunatkannya talqin mayit yang baru dikubur adalah :
      Firman Allah, seperti keterangan dalam kitab I’anatut Thalibin juz II hal. 140
وتلقين بالغ ولو شهيدا بعد تمام دفن (قوله وتلقين بالغ) وذلك لقوله تعالى وذكر فإن الذكرى تنفنع المؤمنين [الذاريات : 55] وأحوج ما يكون العبد إلى التذكير في هذه الحالة. اهـ

Artinya:
“Disunatkan mentalqin mayit yang sudah dewasa walaupun mati syahid setelah sempurna penguburannya. Hal yang demikian ini karena firman Allah : “dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Ad-Dzariyat : 55). Dan seorang hamba sangat membutuhkan peringatan adalah saat-saat seperti ini”.
     Hadits riwayat Thabarani :
إذا مات أحد من إخوانكم فسويتم التراب على قبره فليقم أحد على رأس قبره ثم ليقل يا فلان ابن فلانة فإنه يسمعه ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يستوي قاعدا ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يقول أرشدنا يرحمك الله ولكن لا تشعرون. فليقل اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله وإنك رضيت بالله وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا وبالقرآن إماما. فإن منكرا ونكيرا ياخذ كل واحد منهما بيد صاحبه. اهـ
Artinya :
“Apabila salah seorang  di antara saudaramu telah meninggal dan penguburannya telah kamu sempurnakan (ditutup dengan tanah), maka berdirilah salah seorang di penghujung kuburnya, dan berkatalah : “hai fulan bin fulanah” maka dia bisa mendengarnya. Kemudian berkatalah “hai fulan bin fulanah” maka dia duduk dengan tegak. Berkatalah lagi “hai fulan bin fulanah” maka dia berkata “berilah saya petunjuk, semoga Allah memberi rahmat kepadamu”. Akan tetapi kamu sekalian tidak mengerti. Seterusnya katakanlah kepadanya “ingatlah apa yang kamu pegangi sewaktu keluar dari alam dunia, yakni bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, dan bahwa kamu rela Allah sebagai Tuhan kamu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabi mu dan Al-Qur’an sebagai imam mu. Maka sesungguhnya malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan mereka berdua”.

Hadits riwayat Thabarani seandainya  sanadnya dho’if ,tetapi  menurut ittifaqnya ulama’ ahli hadits masih ditolerir sekedar dipakai untuk melakukan kebaikan (fadhoilul a’mal) karena secara umum tidak ada larangan.

      Hadits Nabi sebagaimana yang diterangkan dalam kitab I’anatut Thalibin :
يندب التلقين بعد تمام دفنه لخبر : العبد إذا وضع في قبره وتولى وذهب أصحابه حتى أنه يسمع قرع نعالهم أتاه ملكان. الحديث اهـ [إعانة الطالبين 2/140]
Artinya :
“Disunatkan mentalqin mayit setelah sempurna penguburannya, karena ada hadits : “Ketika mayit telah ditempatkan di kuburnya dan teman-temannya sudah pergi meninggalkannya sehingga dia mendengar suara sepatu mereka, maka datanglah dua malaikat kepadanya”.
Dari keterangan ayat dan hadits Nabi tersebut, kita bisa menyimpulkan :
1.    Talqin setelah mayit dikubur itu bermanfaat 
bagi si mayit.
2.    Mayit yang ada dalam kubur bisa mendengar ucapan orang atau suara-suara yang ada di alam dunia ini.
3.    Karena jelas ada dalil yang menganjurkan, maka hukum talqin adalah sunat tidak bid’ah dan tidak dilarang seperti apa yang dituduhkan oleh kaum wahabi.

KH. Ali Maksum dalam kitabnya Hujjah Ahli Sunnah hal 20 menukil fatwa Ibnu Taimiyah: Talkin ini (talkin mayit setelah dikubur) telah teriwayatkan dari sebagian sahabat, bahwa mereka memerintahkan talkin, seperti Abi Umamah al-Bahili dan lainnya. dan dalam hal ini diriwayatkan hadis dari Nabi Muhmmad Saw akan tetapi tidak mencapai derajat sahih dan tidak banyak sahabat yang melakukannya. Imam Ahmad bin Hanbal dan ulama lain berkata: “talkin tidaklah mengapa di lakukan.” Maka dalam hal ini para ulama memaklumi adanya dan tidak memerintahkannya, sebagian ulama mengkategorikan sunnah yakni dari mazhab Syafii dan Hanbali, sebagian ulama memakruhkannya yakni dari mazhab Maliki.
Hadis tersebut adalah: Abu Umamah berkata: “jika aku mati maka lakukanlah untukku sebagaimana Rasulullah Saw melakukan terhadap orang-orang mati. Rasulullah Saw memerintahkan sembari bersabda: “ketika salah satu diantara kamu meninggal maka ratakanlah makamnya, dan salah satu diantara kalian berdirilah diujung kuburnya dan ucapkan: ya fulan bin fulanah, sesungguhnya ia mendengar namun tidak menjawab. Kemudian ucapkanlah, ya Fulan bin bin fulanah sesungguhnya ia duduk............. (sampai akhir hadis).
Imam As-Syaukani berkata: Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya At-Talhis: hadis ini sanadnya bagus.
KH. Ali Maksum menambahkan: talkin hanyalah polemik (khilafiyah) fikhiyyah yang tidak perlu dipanjang lebarkan perdebatannya.

C.TAWASUL

Prof. DR Sayyid Muhammad Alawi menguraikan hakikat Tasawul dalam kitab beliau Mafahim Yajib an-Tusahah sebagai berikut:
Pertama: Tawasul adalah salah satu sarana dalam berdoa dan pendekatan diri kepada Allah, dan hanya sebatas sarana dan perantara karena tujuan berdoa hanya satu yaitu Allah.
Kedua: Seorang yang bertawasul tidaklah melakukan tawasul kecuali sebatas cinta kepada figur yang digunakan sebagai wasilah, dan keyainannya bahwa Allah mencintai figur tersebut (Nabi, Wali, Ulama).
Ketiga: Seorang yang bertawasul jika sampai meyakini bahwa figur yang dijadikan wasilah (Nabi, Wali, Ulama) adalah yang memberi manfaat dan madharat maka ia telah terjerumus dalam kemusyrikan.
Keempat: Tawasul bukanlah sebuah kelaziman atau “syarat wajib berdoa”dan terkabulnya doa tidaklah tergantung pada tawasul, namun doalah yang memiliki kekuatan terkabul dan tidaknya sebagaimana firman Allah :
#sŒÎ)ur y7s9r'y ÏŠ$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=ƒÌs% ( Ü=Å_é& nouqôãyŠ Æí#¤$!$# #sŒÎ) Èb$tãyŠ ( (#qç6ÉftGó¡uŠù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 šcrßä©ötƒ ÇÊÑÏÈ  

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al-Baqarah 186)
Adapun tawasul dengan amal kebaikan seperti puasa, shalat maka tidaklah ada pertentangan (baik sunni maupun wahabi) sebagaimana hadis yang meriwayatkan 3 orang terjebak dalam gua yang pertama tawasul dengan birulwalidain, kedua dengan menjauhi zina ketiga dengan amanah menjaga harta orang lain.
Namun pertentangan timbul mengenai tawasul dengan seseorang, sebagian golongan (wahabi) melarang kita bertawasul kepada figur, namun jika kita kaji lebih dalam maka akan kita temukan titik persamaan antara tawasul dengan amal dan tawasul dengan figur dengan logika demikian:
Ketika kita tawasul kepada Syaikh Abdul Qadir, pendorong untuk tawasul adalah kecintaan kita kepada Syaikh Abdul Qadir dan keyakinan kita terhadap keilmuan, kewalian dan kecintaannya kepada Allah, dan kecintaan Allah kepadanya. Dan cinta kita kepada Syaikh Abdul Qadir adalah “amal saleh” karena cinta kepada ulama adalah diperintahkan, yang berhak kita jadikan wasilah. Sehingga dalam bertawasul hakikatnya kita mengucapkan: Ya Allah, hamba mencintai Syaikh Abdul Qadir, hamba meyakini ia mencintai-Mu dengan ikhlas, dan hamba yakin Engkau mencintainya, maka hamba bertawasul kepada-Mu dengan cinta hamba pada Syaikh Abdul Qadir agar Engkau mengabulkan hajat hamba......”  
Allah berfirman:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#þqäótGö/$#ur Ïmøs9Î) s's#Åuqø9$# (#rßÎg»y_ur Îû ¾Ï&Î#Î6y öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÎÈ  

 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah 35).
Kata wasilah (jalan mendekatkan diri) adalah kata umum yang mencakup amal saleh, figur Nabi, ulama, wali baik masih hidup ataupun sudah wafat.
Imam Hakim dalam Al-Mustadrak meriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari Kakeknya Umar berkata: “Nabi bersabda: ketika Adam mengakui kesalahannya, ia berkata: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu demi nama Muhammad agar Engkau mengampuniku. Allah menjawab: hai Adam, bagaimana engkau tahu Muhammad sedang aku belum menciptanya. Adam berkata: ya Allah, ketika Engkau menciptakkanku dengan kekuasaan-Mu dan kau meniupkan padaku ruh, maka aku menengadahkan kepalaku dan aku melihat tertulis pada tiang-tiang Arsy: tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, maka aku tahu bahwa tidaklah engkau sandarkan pada Asma-Mu kecuali makhluk yang paling engkau cintai. Allah menjawab: benar kau Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling aku cintai, berdoalah atas namanya sungguh aku memaafkanmu, jika tidak karena Muhammad tidaklah aku menciptakanmu.”
Diriwayatkan dari Usman bin Hanif berkata: “aku mendengar Nabi bersabda, ketika seorang laki-laki buta mengeluhkan hilangnya penglihatannya dan berkata: wahai Rasulullah aku tidak memiliki seorang yang menuntunku dan aku merasa kepayahan. Nabi bersabda: “pergilah ketempat wudhu dan berwudhulah, kemudian pergilah ke masjid dan shalatlah dua rakaat kemudian ucapkan: ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan aku menghadap-Mu dengan nama Nabi-Mu Muhammad Saw, Nabi Rahmat, wahai Muhammad aku menghadap atas namamu kepada Tuhanmu agar Allah mengembalikan penglihatanku, ya Allah limpahkanlah syafaat kepada Muhammad untuk ku, dan syafatilah aku.” Usman berkata: demi Allah kami tidak berpisah dan tidak memanjangkan percakapan sampai laki-laki itu masuk seolah tidak lagi buta.

D.TABARUK
Berkah secara bahasa berarti “penambahan kebaikan,” sebagaimana tawasul, tabaruk hanyalah sebuah sarana. Berkah dari nabi, wali, ulama, tempat suci, benda-benda suci tertentu adalah sebatas keyakinan kita bahwa nabi, wali dan ulama adalah orang yang dipilih Allah sebagai makhluk yang dekat dengan Allah, bukan dengan meyakini bahwa mereka pemberi manfaat dan madharat, sebagaimana hajar aswad yang kita disunnahkan menciumnya, bukan berarti kita menyembah hajar aswad dan meminta kepadanya namun Allah telah memerintahkan kita menciumnya sebagai mana yang dicontohkan nabi, sebagai bukti kepatuhan kita kepada Allah.
Argumen kita adalah bahwa figur, tempat, waktu, tulisan, nama dan apapun yang dipilih Allah adalah memiliki keistimewaan khusus dan kedekatan kepada Allah. Contoh jasad nabi Muhammad secara umum tentu sama dengan kita, namun karena beliau adalah yang dipilih Allah maka jasad beliaupun tentu bukan sembarang jasad, namun memiliki keistimewaan (Barokah) tersendiri. Begitu pula Ka’bah yang merupakan batu yang sama dengan batu disekitar kita namun karena dipilih Allah maka batu Ka’bah tersebut memiliki hukum dan konsekwensi beda dengan lainnya.
Para sahabat ber-tabaruk:
At-Thabarani meriwayatkan dari Sufainah ra budak Nabi Saw berkata: Nabi berbekam, kemudian berkata: “ambilah darah (bekam) ini, dan kuburlah darah ini dari hewan, burung dan manusia.” Kemudian aku bersembunyi dan meminumnya, kemudian aku meceritakan kepada Nabi dan Nabipun tersenyum.
Al-Bukhari meriwayatkan dalam bab al-Adab 144 dari Ibnu Jad’an berkata: Tsabit bertanya kepada Anas ra: “apakah engkau menyentuh nabi dengan tanganmu?,” Anas menjawab: “ya” maka Tsabit mencium tangan Anas.

E.HIZIB/IJAZAH
Hizib merupakan doa-doa yang dirangkai dan diajarkan oleh para sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah guna terkabulkannya sebuah maksud dan tujuan tertentu. Doa-doa tersebut biasanya diambil dari Al-Quran, asma-asma Allah atau lainya yang secara khusus tidak ditemukan dalam riwayat hadis Nabi.
Namun secara umum hizib tidaklah lain dari doa dengan bertabaruk melalui ayat atau asma yang dimuliakan Allah sebagai media perantara, dan ini tidaklah menyimpang dari apa yang diperintahkan Allah:
اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Berdoalah kamu, niscya Aku akan mengabulkannya untukmu. (QS al-Mu’min: 60)
Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini. Di antaranya adalah:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:” كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ”Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan.”
(HR Muslim [4079]).
Al-Marruzi berkata, ”Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu’awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas).” Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Ahmad bin Hanbal yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muthammad Rasulullah, QS. al-Anbiya: 69-70, Allahumma rabbi jibrila dst. Abu Dawud menceritakan, “Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih kecil.” Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis QS Hud: 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dati hidungnya), dst.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah wal Minah al-Mar’iyyah, juz II hal 307-310).

F. AZIMAT
Sebagaimana yang kita kenal azimat adalah benda atau tulisan yang diyakini memiliki kekuatan supranatural (secara sunnatullah) dapat mengatasi berbagai macam masalah dan untuk mencapai sebuah tujuan. Azimat tidaklah lebih dari sebuah perantara, yang tidak memiliki kekuatan memberi manfaat dan madharat sebagai sebuah benda, namun kekuatan tersebut timbul dari fadhilah-fadhilah benda suci atau tulisan yang dimulaikan Allah seperti Al-Quran.
Dalam hal ini Ibnu Hajar menjelaskan kreteria azimat dalam Fatawi al-Hadisiah hal 88: “Mazhab kita dalam masalah (azimat) berpendapat bahwa segala macam azimat yang dibaca atau ditulis apabila ada asma yang tidak diketahui maknanya maka haram menulis dan membacanya, baik untuk orang yang kerasukan jin atau lainnya. Apabila azimat atau ruqya mengandung asma-asma Allah, ayat-ayat-Nya, asma Nabi dan malaikat maka boleh membacanya baik untuk orang kerasukan jin atau lainnya begitupula menulisnya.”
Diriwayatkan dari Ja’far bin Abdillah bin Al-Hakam, sesungguhnya Khalid bin Walid kehilangan kopyahnya pada perang Yarmuk, ia berkata (kepada sahabat lain): carillah kopiahku!, namun mereka tidak menemukan...kemudian berkata lagi: carilah!, maka ketika mereka menemukannya ternyata hanyalah kopyah usang. Khalidpun berkata: “ketika Rasulullah Saw melakukan umrah, kemudian memotong rambut maka orang-orang berebut potongan rambut beliau.....namun aku berhasil mendapatkan rambut ubun-Nya, lalu aku selipkan dikopyah ini, maka aku tidaklah berperang kecuali aku diberi kemenangan.”
Ada riwayat hadis yang selalu digunakan hujjah penolakan hizib dan azimat oleh sebagian golongan. Adalah sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ
Dari Abdullah, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “’Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.” (HR Ahmad [3385]).
Mengomentari hadits ini, kami nukilkan komentar pakar hadis Ibnu Hajar yang dijelaskan oleh Al-Manawi dalam karyanya Faidhul Qadir:
“Keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung Al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan Nama Allah SWT, atau dzikir kepada-Nya.” (Faidhul Qadir, juz 6 hal 180-181).


G.QUNUT

Ibnu Rusyd dalam Bidayah Al-Mujtahid menjelaskan hilaf ulama dalam qunut subuh: Imam Malik berpendapat qunut subuh adalah mustahab, Imam as-Syafi’i mengatakan sunnah, Abu Hanifah berpendapat bahwa qunut tidak boleh dilakukan pada shalat subuh, namun qunut adalah pada shalat witir.
Dalam kitab Al-Hawi, menjelaskan bahwa As-Syafi’i meriwayatkan dari Yazid bin Abi Maryam dari Abi Haura’ berkata: Hasan bin Ali berkata: “Rasulullah Saw mengajarkanku kalimat yang aku baca dalam qunut..............”
Diriwayatkan dari Abu Ja’far Ar-Razi dari Anas bin Malik berkata:
مازال رسول الله عليه واله وسلم يقنت في الصبح حتى فارق الدني
Hadis ini disahihkan oleh Muhammad bin Ali al-Balkhi dan Al-Hakim. Namun hadis ini ditentang oleh Al-Jauzi dan lainnya.
Yang jelas qunut merupakan bagian dari polemik furu’iyah yang tidak perlu dikembangkan menjadi konflik. Cukup kiranya teladan toleransi ketika Imam Syafi’i berunjung di kediaman Abu Yusuf murid Abu Hanifah dimana As-Syafi’i tidak melakukan qunut dalam shalat subuhnya sebagai penghormatan atas pendapat guru sang tuan rumah.
  
H. ADZAN MAYIT

Dalam kitab I’antutholibin juz 1 hal 230, Sayid Bakri menerangkan:
“ketahuilah bahwa tidak disunnahkan azan ketika memasukan mayat dalam kubur, berbeda dengan beberapa pendapat ulama yang berpendapat sunnah dengan meng-qiyas-kan keluarnya dari dunia dengan hadirnya (lahir) manusia di dunia, Ibnu Hajar berpendapat dalam syarh Al-Ubab: namun ketika memasukkan mayat dalam kubur bersamaan dengan waktu azan maka mayat mendapat keringanan ketika menerima pertanyaan (Munkar-Nakir).
Al-Bajuri juz I hal 240:
“Tidak disunnahkan azan ketika memasukkan mayit dalam kubur, hal ini bertentangan dengan ulama yang mengatakan sunnah karena mengkiaskan keluarnya seseorang dari dunia dengan masuknya kedalam dunia (ketika lahir diazani maka mati diazani).”
            Dalam kitab Al-Fatawi Al-Kubro juz 2 hal 17 Ibnu Hajar ditanya masalah ini, maka beliau menjawab: itu adalah bid’ah yang tidak ada dalil sahihnya.
            Walhasil, azan dalam kubur bukan lah ajaran Rasulullah Saw, dan bukan salah satu fatwa dari ulama Syafi’iyyah. Namun, meskipun demikian azan dalam kubur bukanlah perkara yang diharam, karena haram pun membutuhkan dalil yang kuat. Sedang dalam hal ini tidak ada dalil perintah maupun larangan.
Syaikh Ismail Zain berfatwa dalam hal ini: bahwa azan tersebut memiliki dua sisi yakni umum dan khusus, secara umum azan adalah zikir pujian kepada Allah maka pahala bagi pengumandangnya.
Berangkat dari fatwa ini maka jika azan adalah zikir yang menghasilkan pahala maka tidak ada salahnya jika kita mengumandangkannya kemudian pahalanya kita hadiahkan kepada mayit. Namun jika kita tidak melakukannya maka itu yang lebih dekat dengan sunnah.

I. ADZAN 2 JUMAT

Hadis tentang dua adzan Jumat:
“Bahwasanya adzan yang telah Allah sebutkan di dalam al-Qur`an pada mulanya dikumandangan ketika imam duduk di atas mimbar dan ketika sholat akan ditegakkan pada hari jum'at di depan pintu masjid pada masa Nabi -shollallahu alaihi wa sallam-, Abu Bakar dan Umar. Kemudian ketika tiba khilafah Utsman dan orang-orang semakin bertambah banyak serta rumah-rumah saling berjauhan, Utsman memerintahkan pada hari jum'at untuk dikumandangkan adzan yang ketiga (pada sebuah riwayat disebutkan: pertama. Dan di riwayat lainnya disebutkan: adzan kedua) di atas sebuah rumah miliknya di sebuah pasar yang bernama az-Zaura`. Lalu adzan dikumandangkan di az-Zaura` sebelum beliau keluar untuk memberitahukan kepada orang-orang bahwa waktu jum'at telah tiba. Maka demikianlah seterusnya hal tersebut berlangsung, dan orang-orang tidak mencela beliau atas hal itu, akan tetapi mereka pernah mencela beliau lantaran menyempurkana shalat (tidak mengqasharnya) ketika berada di Mina.”
[HR. al-Bukhari, jilid 2, hlm. 314, 316, 317, Abu Dawud, jilid 1, hlm. 171, an-Nasa`i, jilid 1, hlm. 297, at-Tirmidzi, jilid 2, hlm. 392 dan Ibnu Majah, jilid 1, hlm. 228. Juga diriwayatkan oleh asy-Syafi'i, Ibnul Jarud, al-Baihaqi, Ahmad, Ishaq, Ibnu Khuzaimah, ath-Thabrani, Ibnul Munzdir, dll.]
Hadis sahih di atas cukuplah sebagai dalil amaliyah shalat Jumat di masyarakat kita. Namun demikian dibawah ini akan kita kaji beberapa poin penting sebagai jawaban polemik ditengah masyarakat:
Ada dua Alasan mengapa Utsman -radhiallohu anhu- berfatwa mengumandangkan adzan Dua Kali:
1). Semakin banyaknya pemeluk muslim pada waktu itu, dan
2). Rumah-rumah mereka yang saling berjauhan.
Jika dua alasan tersebut tidak ada, niscaya Usman tidaklah menfatwakan dua adzan tersebut, dan pasti adzan akan dikumandangkan satu kali saja seperti pada masa Nabi, Abu Bakar dan Umar.
Jika kita melihat kondisi pada masa sekarang maka hampir dipastikan dua alasan tersebut tidak wujud, masjid ditiap desa telah ada dan dengan kemudahan tekhnologi pengeras suara kita akan dengan mudah memperdengarkan adzan keseluruh penjuru desa.
Jadi secara nalar fikih, adzan yang paling tepat pada saat ini adalah satu kali adzan. Namun demikian ada alasan lain yang dipegang para ulama kita sehingga tetap pada dua adzan tanpa mempertimbangan alasan kondisi, yaitu: agar masyarakat awam tidak dibingungkan dengan perbedaan dan perubahan hukum, menginggat dua adzan tanpa alasan diatas pun tidak diharamkan.



J. PERINGATAN HARI BESAR ISLAM

Sebagian golongan dalam Islam terlalu sempit membaca kearifan lokal sebagai kekayaan budaya. Peringatan maulid, isra’mi’raj, nisfu’ Syaban, nuzulul Al-Quran mereka sebut sebagai “Hari Raya” yang tidak disyariatkan dan bid’ah yang diharamkan dengan dalih “tidak ada tuntunan dari Nabi.” Dengan tegas mereka menyatakan bahwa hari raya hanyalah dua dan tidak ada lainnya.
Menyikapi pandangan sempit, kolot dan fanatisme buta ini, kita memiliki beberapa argumen sebagai berikut:
Pertama: Peringatan tersebut adalah Adat dan bukan Ibadat yang disyariatkan. Tidak ada dalil khusus yang memerintahkan peringatan tersebut. Jadi berkumpul untuk maulud, isra’ mi’raj dll tidalah beda dengan kita mengadakan kumpulan rt/rw atau kumpulan keluarga. Jika berkumpul untuk membaca maulid diharamkan maka kumpulan rt pun harus diharamkan.
Kedua:  Keyakinan kita akan pahala dari peringatan tersebut, bukanlah dari “peringatan itu sendiri” namun dari isi acara tersebut. Kita beribadah bukan dengan “berkumpulnya sebagai peringatan” namun kita beribadaah dengan isi acara didalamnya yang ada doa, ada pembacaan sejarah Nabi, sejarah Isra’ mi’raj dan turunnya al-Quran. Bukankah jika kita mengadakan kumpulan rt kemudian didalamnya kita membaca sejarah Nabi kita akan mendapat pahala?.
Peringatan ini bukanlah “Hari Raya” hasil modifikasi agama namun hanyalah media untuk dakwah, mengumpulkan masyarakat dengan semangat persatuan, bersedekah dengan makanan dan minuman, mengundang orang saleh bersama berdoa, dan yang terpenting adalah thalabul ilmi dengan membaca sejarah Nabi Muhammad Saw.
kami nukilkan komentar Prof. Dr Sayid Muhammad Alawi dalam karangan beliau Mafahim Yajib An-Tushahah: “adat kita dalam berkumpul untuk menghidupkan acara-acara peringatan historis, seperti Maulud, Isra’mi’raj, nisfu sya’ban, hijrah Nabi, nuzulul Quran, dan peringatan perang Badr, dalam pandangan kita adalah sebatas adat yang tidak ada dasar dalam agama, maka tidaklah bisa disebut sunnah atau disyariatkan...” lebih lanjut beliau menjelaskan: “saya berkeyakinan dengan seyakin-yakinnya bahwa peringatan-peringatan tersebut selama semata karena Allah dan dalam ajaran-Nya (tidak maksiat) maka akan diterima oleh Allah walaupun tidak tepat pada waktunya.”

K. JABAT TANGAN SETELAH SHALAT

Dalam kitab Bugyah al-Mustarsyidin hal 50-51:
فائدة : المصافحة المعتادة بعد صلاتي الصبح والعصر لا أصل لها ، وذكر ابن عبد السلام أنها من البدع المباحة ، واستحسنه النووي ، وينبغي التفصيل بين من كان معه قبل الصلاة فمباحة ، ومن لم يكن معه فمستحبة ، إذ هي سنة عند اللقاء إجماعاً. وقال بعضهم : إن المصلي كالغائب فعليه تستحب عقيب الخمس مطلقاً اهـ شرح التنبيه للريمي. ويسنّ تقبيل يد نفسه بعد المصافحة قاله ابن حجر.
Faidah: berjabat tangan seperti yang dibiasakan setelah shalat subuh dan asar tidak ada dalil sama sekali. Ibnu Abissalam meyebutnya dengan bid’ah yang mubah. Dan an-Nawawi mennyabutnya bid’ah hasanah. Dan seyogyanya di perinci sebagai berikut: jika sebeum shalat sudah bertemu maka mubah, jika belum maka sunnah, karena berjabat tangan adalah sunnah ketika bertemu secara ijma’. Sebagian ulama berpendapat: bahwa jamaah shalat itu seperti orang yang telah pergi maka disunnahkan berjabat tangan setelah shalat secara mutlak. (selesai keterangan dari at-Tanbih karya ar-Rimy).
Pendapat yang tepat untuk konteks disekitar kita adalah perincian seperti ibarat diatas: bahwa mubah (boleh) jika kita telah bertemu sebelum shalat dan sunnah jika belum ketemu sebelumnya.

ORGANISASI ISLAM DI INDONESIA

A.      Nahdlatul Ulama
1.    Pengertian
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan (jam’iyah diniyah islamiah) yang berhaluan Ahli Sunnah wal-Jamaah (Aswaja). Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1334 H oleh K.H. Hasyim Asy’ari beserta para tokoh ulama tradisional dan usahawan di Surabaya Jawa Timur.

2.    Sejarah Berdiri[1]
Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924, Syarif Husain, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud (Ibnu Saud) yang beraliran Wahabi. Dalam kekuasaan Ibnu Saud, semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni seperti tawasul, ziarah kubur, maulid Nabi, dan lain sebagainya, yang sudah berjalan puluhan tahun di Tanah Arab akan dihilangkan dan digantikan dengan amaliah yang sesuai dengan paham Wahabi.

Raja Ibnu Saud berniat melebarkan pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia Islam, dengan cara menyelenggarakan Muktamar Khilafah di Kota Suci Makkah dan seluruh negara Islam di dunia akan diundang untuk menghadiri muktamar tersebut, termasuk Indonesia. Atas dasar kenyataan ini, maka Jam’iyyah Nahdlatul Ulama didirikan.

Pendiri resminya adalah Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang.


3.    Paham/Ideologi[2]
Nahdlatul Ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah,al-Ijma’, dan al-Qiyas. Dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumber-sumber tersebut, NU mengikuti paham Ahlussunnah Waljama’ah dan menggunakan jalan pendekatan mazhab :
1.    Dalam bidang aqidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah Waljama’ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
2.    Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (madzhab) salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal.
3.    Dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali, serta imam-imam lain.
NU mengikuti pendirian bahwa Islam adalah agama fitri yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Paham keagamaan yang dianut NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai kebaikan yang sudah ada dan menjadi milik serta cirri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tradisi tersebut.
4.    Ciri Khas[3]
Dalam pendekatan dakwahnya, NU lebih banyak mengikuti metode dakwah Walisongo, yaitu menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat dan tidak mengandalkan kekerasan. Budaya yang berada di suatau daerah-bila tidak bertentangan dengan ajaran agama- akan terus dilestarikan, sementara budaya yang jelas bertentangan dengan agama dan mengakibatkan kerusakan maka harus ditinggalkan.

Secara garis besar, cirikhas NU adalah :
1.    Tawassuth dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan dengan tatharruf (ekstrim).
2.    Tasamuh, yaitu sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat.
3.    Tawazun, yaitu sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan antara sesame umat manusia dan antara manusia dengan Allah Swt.
4.    Amar ma;ruf nahi munkar, yaitu memiliki kepekaan mendukung perbuatan baik dan mencegah hal yang dapat merendahkan nilai kehidupan.
Karena prinsip dakwahnya yang moderat dan toleran tersebut, kehadiran NU dapat diterima oleh sebagian besar kelompok masyarakat, sehingga menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia. Bahkan dalam perjalanannya terbukti mampu menjadi organisasi pelopor dalam ukhuwah wathoniyah (persatuan bangsa).



B.      Muhammadiyah[4]
1.    Pengertian
Muhammadiyah adalah organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia yang melaksanakan dakwah dan tajdid untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah mengajak umat manusia untuk memeluk agama Islam (da’wah ila al-Khair), menyuruh pada yang ma’ruf (al-amr bi al-ma’ruf), dan mencegah dari yang munkar (al-nahy ‘an al-munkar) {QS. Ali Imran/3: 104}, sehingga hidup manusia selamat, bahagia, dan sejahtera di dunia dan akhirat. Karena itu seluruh warga, pimpinan, hingga berbagai komponen yang terdapat dalam Muhammadiyah, termasuk amal usaha dan orang-orang yang berada di dalamnya, haruslah memahami Muhammadiyah serta mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata.

2.    Sejarah Berdiri
Muhammadiyah didirikan pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 M, atas prakarsa KH. Ahmad Dahlan (lahir di Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abu Bakar). Dia adalah imam dan khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta.

3.    Paham/Ideologi
Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Bab II Pasal 4 dijelaskan bahwa identitas dan asas bahwa : 
1)    Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah.
2)    Muhammadiyah berasas Islam.
Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Bab III pasal 6 tentang Maksud dan Tujuan Organisasi Muhammadiyah adalah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
4.    Cirikhas

1)    Sebagai gerakan Islam
2)    Sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar
3)    Sebagai gerakan tajdid (pembaharu)




C.      Ahmadiyah
1.    Pengertian
Aliran Ahmadiyah adalah aliran Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani yang lahir di Qodyan India tahun 1839 M. wafat tahun 1908 M. Dia menyebarkan ajarannya dengan berbagai cara, ceramah, karya tulis dan  lainnya.

2.    Sejarah Berdiri[5]

Ahmadiyah didirikan di kota Qodian, India oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tanggal 23 Maret 1889. Dalam perkembangannya, Ahmadiyah terbagi menjadi dua aliran, Ahmadiyah Qodian dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Qodian berkeyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi, sedangkan Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalahs ebagai pembaharu.

Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1925 dan terbentuk dalam 2 organisasi, yaitu Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) sebagai organisasi pengikut Ahmadiyah Lahore, dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai organisasi pengikut Ahmadiyah Qodian.         

3.    Paham/Ideologi[6]
1)    Meyakini bahwa ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW;
2)    Meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi, Masih Mau’ud, dan Imam Mahdi;
3)    Meyakini isi buku Tadzkirah tentang kewahyuan dan kebenarannya, termasuk klaim tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad di dalamnya;
4)    Menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan Buku Tadzkirah;
5)    Tidak bersedia menjadi bermakmum dalam shalat kepada orang Islam non-Jama’ah Ahmadiyah karena dianggap kufur (ingkar) kepada kenabian Mirza Ghulam Ahmad.


D.      Negara Islam Indonesia (NII)
1.    Pengertian
NII adalah kependekan dari Negara Islam Indonesia. Selanjutnya NII ini menjadi sebuah organisasi gerakan Islam yang hingga saat ini masih beroperasi. Tujuan gerakan ini adalah menjadikan Indonesia negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara.
NII dikabarkan dikabarkan berpusat di Pondok Pesantren Al-Zaytun seluas 1.200 hektare di Indramayu yang didirikan Abu Toto alias Syekh Abdus Salam Panji Gumilang. NII ini dikenal dengan gerakan Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9 (NII KW9).

2.    Sejarah Berdiri
NII dulu dikenal dengan nama Darul Islam atau DI bermula dari gerakan politik yang diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Tasikmalaya, Jawa Barat pada 7 Agustus 1949.
Dalam perkembangannya, NII kemudian menyebar di beberapa wilayah, sementara sang pemimpin Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962. Gerakan ini kemudian terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam hingga dianggap sebagai organisasi ilegal oleh Pemerintah.

3.    Paham/Ideologi
NII menghalalkan segala cara mulai dari merampok, mencuri, menipu, memeras, merampas atau melacur demi kepentingan negara atau madinah. Hal tersebut disandarkan pada filosofi sesat atas kepemilikan wilayah teritori Indonesia oleh NII, atas dasar proklamasi NII dan kekhalifahan Kartosoewirjo. Selain itu, konsep ini juga untuk mempraktekkan ayat “Sesungguhnya bumi ini diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang Shalih.”
NII berani menunjukkan eksistensinya dengan aksi cuci otak para mahasiswa. Bahkan, Kepolisian RI berusaha mengungkap gerakan ini dengan mengejar sejumlah nama yang ditengarai jadi otak perekrut dan pemberi materi doktrin kepada mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Mantan pengikut NII sekaligus pendiri situs NII Crisis Center, Ken Setiawan menjelaskan metode perekrutan mereka mulai dari pertemanan, lewat teman-teman dekat. “NII punya identifikasi korban, siapa dia, apakah anak orang kaya, sudah diincar,” kata Ken.
Mantan anggota NII lainnya, Tikno, menjelaskan hal yang sama bahwa mahasiswa yang berhasil digiring masuk jaringan akan didoktrin untuk menghalalkan segala cara dalam mewujudkan negara Islam di Indonesia. Selain itu, Tikno mengaku didoktrin bahwa semua pimpinan di Indonesia adalah kafir.

4.    Cirikhas
1)    Pengajian tertutup, dan dalam tempo singkat, terkesan pemaksaan.
2)    Calon Pengikutnya Diajak Ke Suatu Tempat Tertentu Untuk Di Bai'at
3)    Mata Sang Calon Ditutup Rapat Dan Penutup Baru Dibuka Ketika Mereka Sampai Di Tempat Tujuan
4)    Mereka Berdakwah Dengan Menjual Ayat-Ayat Al Qur'an Dan Dienul Islam, Tetapi Dalam Pelaksanaannya Sangat Jauh Dari Dienul Islam Yang Diungkapkan
5)    Mereka Suka Melakukan Penyedotan Dana Jamaahnya, Sedikit-Sedikit Bayar Uang
6)    Tidak Berkewajiban Menutup Aurot Bagi Perempuan
7)    Tidak Mewajibkan Shalat Dengan Alasan Belum Futuh Mekkah, Padahal Nabi Muhammad Saw Wafat Setelah Terjadi Futuh Mekkah
8)    Tidak Mampu Membayar Infaq Dianggap Berhutang
9)    Mengkafirkan Orang Diluar Kelompoknya
10) Menghalalkan Bentuk Pencurian
11) Isra' Mi'raj, Ketika Nabi Naik Langit Ke Tujuh Mereka Artikan Tentang Tingkatan Struktur Pemerintahan, Yaitu Rt, Rw, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur Dan Presiden
12) Mengatasnamakan Nii Untuk Menjaring Aktivis Muslim, Tetapi Disisi Lain Menghalalkan Darah Muslimin.


E.       Lembaga Da’wah Islam Indonesia (LDII)
1.    Pengertian
LDII adalah kelompok atau aliran Islam di Indonesia yang pendiriaannya diprakarsai oleh Nurhasan Ubaidah Lubis Amir. Adapun kata Lubis menurut dia sendiri adalah “Luar Biasa” atau “Superman”. Sedangkan nama kecilnya adalah Madekal atau Madigol. Dia asli pribumi Jawa Timur, lahir pada tahun 1915 di desa Bangi Kecamatan Purwo Asri Kabupaten Kediri.

2.    Sejarah Berdiri[7]
LDII didirikan pada tanggal 3 Januari 1972 di Surabaya, Jawa Timur dengan nama Yayasan Karyawan Islam (YAKARI). Pada Musyawarah Besar (MUBES) YAKARI tahun 1981, nama YAKARI diganti menjadi Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI). Pada MUBES LEMKARI tahun 1990, sesuai dengan arahan jenderal Rudini sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri), nama LEMKARI yang sama dengan akronim Lembaga Karate-Do Indonesia, diubah menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Pada awalnya, organisasi YAKARI itu dinilai kelanjutan dari Islam Jamaah karena pimpinannya memang tokoh Islam Jamaah, yaitu almarhum KH. Nurhasan Al Ubaidah, pendiri Pondok Pesantren LDII, Banjaran, Burengan, Kediri, Jawa Timur, seorang ulama yang selama 11 tahun belajar ilmu agam di Makkah dan Madinah.   

3.    Paham/Ideologi
1)    Wajib Beramir
Yang dimaksud dengan beramir adalah amir dan imam mereka sendiri yakni Nurhasan Ubaidah. Kedudukan amir dalam kalangan mereka sangat istimewa, meskipun ucapan amir mereka itu bertentangan dengan al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam masalah wajib beramir mereka mengambil hujjah kalimat Ulil ‘Amri pada surat Annisa’ ayat 59 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)

2)    Wajib Bai’at
Yang dimaksud Bai’at menurut mereka adalah Bai’at kepada amir mereka sendiri yakni Nurhasan ubaidah. Dalam keyakinan mereka, semua orang yang belum berbai’at kepadanya dianggap belum beriman, masih kafir. Dan Bai’at harus diucapkan di depan amir.


Dalil yang mereka gunakan adalah :

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa mati dalam keadaan tidak terdapat pada lehernya bai’at, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah.

3)    Wajib Manqul
Manqul menurut mereka ialah barangsiapa yang memepelajari al-Qur’an dan Hadits tidak dengan cara manqul, artinya bersambung dari murid ke guru sampai kepada amir, maka belajarnya tidak sah. Menurut mereka belajar agama wajib dengan cara manqul serta harus dalam kalangan dan lingkaran sendiri, sebab di luar itu masih kafir.
Jadi, ilmu itu harus mempunyai sandaran yang disebut sanad, dan sanad itu harus muttashil (bersambung) sampai ke rasulullah. Sehingga manqul musnad muttashil diartikan belajar / mengaji al-qur’an dan hadits dari guru, dan gurunya bersambung terus sampai Rasulullah. Akan tetapi dalam wajib manqul itu adalah ke Nurhasan Ubaidah. Jika tidak kepadanya, namanya bukan manqul, maka ilmunnya tidak sah, ibadahnya ditolak, dan masuk neraka. Alasannya karena hanya dia yang mempunyai sanad manqul musnad muttashil.
مَنْ قَالَ فِى كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
Hadits tersebut mereka artikan dengan :
Barang siapa yang mengucapkan kitab Allah Yang Maha Mulia dengan pendapatnya (secara tidak manqul) walau benar, maka sungguh ia telah salah. (HR. Abu Dawud)


4)    Wajib Jama’ah
Perkataan jama’ah artinya himpunan, perkumpulan atau organisasi. Menurut mereka yang dimaksud dengan jama’ah adalah jama’ah mereka sendiri, bukan yang lain, di luar mereka adalah kafir.
Dalil yang digunakan adalah :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) allah. (QS. Ali Imran 103).




F.    Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)
1.    Sejarah[8]
MMI didirikan pada saat Kongres Majelis Mujahidin Indonesia I  tanggal 5-7 Agustus tahun 2000 di Yogyakarta. Organisasi ini berkantor pusat di Yogyakarta dan kelahirannya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor :

1)    Obsesi kalangan muda terhadap terwujudnya Negara Islam (Daulah Islamiyah), baik dalam pengertian nasional maupun internasional.
2)    Adanya stigma buruk yang dilabelkan kepada gerakan Islam Indonesia yang ingin membentuk Daulah Islamiyah yang melahirkan Islam phobia dan selalu dihubungkan dengan DI/TII Kartosuwiryo.
3)    Penialian pemnggiran Islam baik dalam pengertian hokum (syariat) maupun perilaku penganutnya.
4)    Krisisi multidimensi yang menimpa Indonesia yang tidak bias dieslesaikan oleh pemerintah .

2.    Paham/Ideologi[9]

1)    Keharusan mendirikan Daulah Islamiyah (Negara Islam)
2)    Pelaksanaan hukum Islam harus komprehensif termasuk pidananya, karena Islam mengurus dunia dan akhirat. Dan secara historis Daulah ISlamiyah dari masa Nabi, Khulafaur Rasyidin, hingga Daulah Utsmaniyah telah terbukti mampu mengawal supremasi syariat secara komprehensif.

3.    Cirikhas[10] 

1)    Struktur organisasinya terbagi atas Ahl al-Hall wa al-‘Aqd (lenbaga legislative, yang diketuai oleh Ustazd Abu Bakar Ba’asyir), dan Lajnah Tanfidziyah (lembaga eksekutif, yang diketuai Irfan Suryahadi Awwas).
2)    Metode gerakannya dilakukan dengan dua cara (manhaj), yaitu pertama, dengan dakwah (nasyr al-din), yaitu usaha untuk menyebarkan ajaran Islam dan hikmahnya. Kedua, dengan jihad (perang) untuk tamkin al-din (pemantapan agama). Dalam hal ini MMI diberitakan telah mengirimkan lascar Mujahidin ke daerah-daerah konflik seperti Ambon dan Poso.








G.   Front Pembela Islam (FPI)
1.    Sejarah Berdiri [11]
FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 (atau 24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, di Selatan Jakarta oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek. Tokoh yang memelopori berdirinya FPI adalah Habib Muhammad Rizieq Shihab. 
Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan. Hal-hal yang melatar belakangi pendirian FPI sebagaimana diklaim oleh organisasi tersebut antara lain:
1.    Adanya penderitaan panjang ummat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa.
2.    Adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan.
3.    Adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta ummat Islam.
2.    Paham/Ideologi[12]
Berdasarkan dokumen Risalah historis dan garis perjuangan FPI, asas FPI adalah Islam ala Ahlussunah wal Jama’ah. Menurut para pemimpin FPI, Aswaja yang dipahami oleh FPI tidak sama dengan yang dipahami oleh NU dan Muhammadiyah. Aswaja dalam pemahaman FPI lebih mendekati pemahaman Aswaja kelompok Salafi yang dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib di Yogyakarta.
Menurut kelompok ini, Aswaja adalah mereka yang telah sepakat untuk berpegang dengan kebenaran yang pasti sebagaimana tertera dalam Al Qur’an dan al hadits. Bagi FPI, mengikuti jejak salafus shalih harus dilakukan secara total, baik dalam bidang akidah, hokum, dan tingkang laku keseharian, seperti cara berpakaian, makan, minum, dan shalat. Dalam pemahaman mereka, tidak ada pembagian antara yang ushul (pokok) dan yang furu’ (cabang), antara yang substantive dan yang simbolik. Pandangan seperti ini bagi mereka adalah bid’ah.


H.   Majelis Terjemah Al Qur’an (MTA)
1.    Pengertian dan Sejarah Berdiri
Majlis Terjemah Al-Quran atau disingkat MTA adalah lembaga dakwah dalam bentuk yayasan yang didirikan oleh Al-Ustadz Abdullah Thufail Saputra pada tanggal 19 September 1972. Pendirian Yayasan MTA ini selanjutnya dikukuhkan dengan akte notaris R. Soegondo Notodisoerjo, nomor 23, tanggal 23 Januari 1974 di Surakarta.

2.    Perkembangan dan Paham
Ketua Umum sekaligus pendiri MTA itu wafat pada tanggal 15 September 1992, setelah 20 tahun menumbuhkan dan mengembangkan MTA. Kepemimpinan selanjutnya diteruskan oleh murid beliau Al-Ustadz Drs Ahmad Sukina. MTA berkembang dengan pesat ke seluruh pelosok tanah air dan saat ini telah memiliki lebih dari 50 perwakilan dan lebih dari 170 cabang.

MTA berkembang dari bawah, yakni atas permintaan warga masyarakat untuk mengadakan pengajian rutin, lalu setelah mekar dan merasa mantap akan kebenaran ajaran yang dikaji mereka mengajukan permohonan untuk menjadi bagian dari keluarga besar MTA. Permohonan ini baru dikabulkan kalau para siswa setempat telah dinilai oleh Pimpinan Pusat membuktikan kesungguhan mereka dalam mengamalkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam kehidupan sehari-hari.

Seluruh kegiatan MTA didanai oleh warga MTA sendiri. Tidak ada sama sekali bantuan dari Pemerintah atau lembaga lain dari dalam maupun luar negeri. Kesadaran warga MTA berinfak fii sabilillah cukup tinggi demi pengamalan Islam. Al-Ustadz sering menjelaskan secara diplomatis : MTA bukan partai politik atau organisasi masa yang berada dibawah kendali sebuah partai politik. Namun lembaga dakwah islamiyyah terbuka yang bersifat independen. Ketua Umum MTA pernah menyampaikan bahwa MTA bukan partai politik dan tidak akan pernah menjadi partai politik.

Ahlussunnah Wal Jama’ah Dan Tantangannya

Pandangan Hidup atau Isme-isme Ciptaan Manusia

         Pandangan hidup buatan manusia yang berpangkal kepada materi pada prosesnya menuju kepada Atheisme terutama faham-faham yang telah datang sedang berkembang di dunia dewasa ini.
         Faham-faham ini mula pertama muncul karena reaksi terhadap ketidak beresan sistem agama di Barat (gereja) yang membantai segala kemajuan dan kecerahan berfikir manusia.Yang akhirnya agama menjadi sandaran utamanya walaupun agama yang dimusuhinya itu sendiri telah lepas dari dasar fundamennya,namun semua agama apa saja (termasuk Islam) disamaratakan sebagai penghambat dan penghalang.

         Faham-faham yang bersumber Materialisme antara lain :

1)      Humanisme

         Humanisme merupakan salah satu falsafah hidup buatan manusia “man made”,maka ia bersifat nisbi atau relatif.Yang paling menyolok dari watak humanisme ialah bahwa manusia adalah otonom.Karena itu masalah benar atau salah ,baik atau buruk,terserah kepada penilaian manusia masing-masing,dengan demikian akan terjadi bahwa kebenaran waktu yang lalu bisa relatif salah dimasa sekarang.Lebih sempitnya ,kebenaran menurut A bisa salah menurut B,walaupun sama-sama humanis.
         Demikianlah humanisme modern dimana Renaissance dianggap sebagai landasannya telah mendasarkan dirinya kepada kepercayaan penuh akan kemampuan manusia yang tak terbatas,yang tujuannya seorang yang berkepribadian .Disini nilai perikemanusiaan tetap diakui tetapi lepas dari kehendak Allah.
         Maka tidak heranlah suatu saat Humanisme bisa menerima ajaran Kristen ,bisa suatu saat menerima Hindu,bisa juga Islam.Kalau ajaran-ajaran itu bisa diterima ,adalah karena itu sesuai bagi kemanusiaan baginya,bukan dari Allah.Namun yang terang Humanisme adalah Ateis dan banyak juga yang berpendapat bahwa Allah itu ada atau tidak (agnosticisme) dan banyak pula yang mengaku bahwa Allah sebagai hakekat yang transenden,tetapi yang terang tidak mengakui bahwa Allah telah mengutus nabi ataupun menurunkan kitab.
         Karena Humanisme tidak ada pedoman yang jelas baik sejak munculnya abad V SM di Hellos,Yunani,Romawi yang dalam perkembangannya terdapat bermacam-macam aliran Humanis,maka yang jelas bahwa Humanis menitik beratkan kepada kemampuan manusiawi.

2)      Sekularisme          

Semua isme-isme atau faham hidu ciptaan manusia adalah mengarah kepada sekularisme,dimana sekularisme telah menjalar ke seluruh dunia yang menandai kebudayaan di abad ini.

Sekularisme berasal dari perkataan Yunani “saeculum” yang berarti zaman atau abad.Saeculum itu sendiri adalah lawan dari “aeternum” yang berarti kekal.Dalam perkembangannya saeculum berarti dunia,duniawi dengan pengertian “hidup tanpa Allah”,dunia tanpa Allah. Menurut DR J Verkuyl sekularisme mempunyai pengertian :

1.                        Sekularisme adalah aliran dalam kultur dalam mana seluruh perhatian dituntut untuk dunia ini dan untuk zaman ini dengan mengucilkan Allah dan kerajaan-Nya.
2.                        Sekularisme adalah cara hidup ,bekerja dan berfikir dalam mana perihal Allah tidak disentuh-sentuh,dalam mana doa itu dihentikan,dalam mana nisbahmanusia dan dunia terhadap Allah dilupakan.
3.                        Sekularisme adalah cara hidup dalam mana secara praktis dan teoritis dikatakan,”Diamilah rumah dunia ini tanpa memikir kepada Arsiteknya.”

        Semboyan kaum sekularis :-manusia adalah bebas ,manusia adalah sebagai pencipta bagi kehidupannya,tidak kenal apa itu yang dikatakan  hidayah,apa itu kitab Allah.Ia mencampakkan agama dan penghargaannya terhadap agama.Agama adalah untuk pencipta agama ,sedangkan negara/tanah air adalah urusan kita semua.
 Jelaslah dari pendapat-pendapat tersebut bahwa sekularisme telah mamsuki di dalam segala aspek kehidupan manusia yang melepaskan antara hidup ber agama dengan hidup menurut kehendak manusia sendiri.


[1] Penjelasan tentang sejarah berdirinya NU ini diambil dari buku Antologi NU, Sejarah Istilah Amaliah Uswah, Buku I, H. Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, S.Sos, Khalista dan LTN NU Jawa Timur, Surabaya, 2010, hlm. 1-3
[2] Ibid, hlm. 12
[3] Ibid, hlm. 12-13
[4] Profil oraganisasi Muhammadiyah ini diambil dari situs resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, www.muhammadiyah.com
[5] Penjelasan tentang sejarah berdirinya NU ini diambil dari tulisan H.M. Atho Mudzhar berjudul Mengkritisi Lingkungan Sosial Keagamaan Pengikut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam buku Kumpulan Naskah Ceramah Tahun Baru Hijriyah, Direktorat Penerangan Agama Islam Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia 2010, hlm. 91.
[6] Ibid, hlm. 99
[7] Penjelasan tentang sejarah berdirinya NU ini diambil dari tulisan H.M. Atho Mudzhar berjudul Mengkritisi Lingkungan Sosial Keagamaan Pengikut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam buku Kumpulan Naskah Ceramah Tahun Baru Hijriyah, Direktorat Penerangan Agama Islam Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia 2010, hlm. 86-87.
[8] Ibid, hlm. 70-71
[9] Ibid, hlm.71
[10] Ibid, hlm. 71-72
[12] Ulasan tentang paham/ideology FPI ini diambil dari buku Gerakan Islam Simbolik, Politik Kepentingan FPI, Al Zastrouw Ng, LKis, Yogyakarta, 2006, hlm. 96-97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar